Mengkritik Pemimpin dalam Islam: Antara Amar Ma’ruf dan Etika Berbicara

Bondowoso – 1miliarsantri.net : Dalam kehidupan bermasyarakat, pembahasan tentang hukum mengkritik pemimpin sering kali menimbulkan perdebatan. Sebagian orang berpendapat bahwa kritik adalah bentuk kepedulian terhadap jalannya pemerintahan, sementara yang lain menganggapnya sebagai tindakan yang bisa mengganggu kehormatan pemimpin. Dalam Islam, segala hal memiliki aturan dan batasan, termasuk dalam hal menyampaikan kritik. Islam mendorong umatnya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar termasuk kepada pemimpin. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bagaimana Islam memandang kritik terhadap pemimpin, agar niat baik tidak berubah menjadi ‘dosa sejarah’ karena cara yang keliru. Mengkritik Pemimpin dalam Perspektif Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam ajaran Islam, setiap umat memiliki tanggung jawab untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Prinsip ini menjadi dasar bagi hukum mengkritik pemimpin. Kritik dalam Islam memiliki adab dan etika tertentu, agar tidak menimbulkan fitnah dan perpecahan. Kritik bukanlah sesuatu yang dilarang, selama disampaikan dengan niat memperbaiki dan dengan cara yang santun. Namun, Islam juga sangat menekankan cara dalam menyampaikan kritik. Tidak semua bentuk kritik bisa diterima, terutama jika disampaikan dengan nada kasar, terbuka di depan umum tanpa tujuan yang jelas, atau justru menimbulkan fitnah. Ulama seperti Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa menasihati pemimpin sebaiknya dilakukan dengan cara lembut dan pribadi. Hal ini agar tidak menimbulkan permusuhan atau mempermalukan pemimpin di hadapan rakyatnya. Jadi, hukum mengkritik pemimpin sebenarnya bukan sekadar boleh atau tidak boleh, tetapi lebih pada bagaimana kritik itu disampaikan sesuai syariat dan niat yang tulus. Berkaitan dengan ini Allah SWT pernah meminta Nabi Musa untuk menasehati Fir’aun yang mana merupakan pemimpin paling zalim sepanjang sejarah umat manusia, Allah berfirman agar berbicara dengan lemah lembut kepada Fir’aun sebagaimana dalam Qur’an Surat At-Taha ayat 43-44 yang berbunyi: “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas” “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. Baca juga : Al Qur’an Memberikan Ciri Pemimpin yang Diridhai Allah SWT Etika dan Batasan dalam Mengkritik Pemimpin Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk berbicara dengan sopan, menggunakan kata-kata yang menyejukkan, dan menghindari penghinaan. Etika berbicara ini juga berlaku dalam konteks hukum mengkritik pemimpin. Kritik yang disampaikan tanpa adab bisa berubah menjadi dosa ghibah, fitnah, atau bahkan pemberontakan jika sampai menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, sebelum melontarkan kritik, kita perlu menimbang apakah ucapan kita membawa maslahat atau justru mudarat. Dalam sejarah Islam, para sahabat Rasulullah SAW juga pernah menyampaikan pendapat kepada pemimpin mereka, namun selalu dengan sikap hormat. Misalnya, Umar bin Khattab yang dikenal tegas pun tidak menolak nasihat rakyatnya, tetapi rakyat pun tahu batasnya dalam berbicara. “Tidak ada kebaikan pada kalian, bila tidak menegurku”, ujar Umar bin Khattab. Inilah keseimbangan yang diajarkan Islam, keberanian menyampaikan kebenaran, namun tetap dengan kelembutan dan rasa hormat. Karena sejatinya, hukum mengkritik pemimpin tidak melarang umat untuk menegur, tetapi melarang cara yang merendahkan dan menimbulkan kerusuhan. Amar ma’ruf bukan hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga dengan cara yang ma’ruf. Sebagaimana Al-Qur’an memerintahkan untuk menasehati dalam kebenaran dan kesabaran (QS. Al-Asr:3).  Kritik yang benar adalah yang disertai dengan solusi. Islam tidak mengajarkan kita hanya sekadar menunjuk kesalahan tanpa memberi jalan keluar. Jika kita melihat pemimpin berbuat salah, maka sampaikan dengan niat memperbaiki, bukan menjatuhkan. Baca juga : Pemimpin Yang Menginspirasi Pada akhirnya, hukum mengkritik pemimpin dalam Islam berakar pada prinsip amar ma’ruf nahi munkar dan etika berbicara yang baik. Mengkritik bukanlah tindakan tercela selama dilakukan dengan adab, niat tulus, dan tujuan memperbaiki keadaan. Sebaliknya, jika kritik dilakukan dengan amarah, hinaan, atau menyebarkan kebencian, maka hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Kritik tidak boleh menjatuhkan legitimasi kepemimpinan secara zalim. Tidak semua kesalahan pemimpin wajib diumbar. Ada ruang maaf dan pertimbangan maslahat umat. Para ulama salaf lebih memilih nasihat langsung, daripada mengkritik di mimbar. Sebagai masyarakat yang beriman, kita perlu bijak dalam menyikapi kebijakan dan perilaku pemimpin. Jika ada kekeliruan, sampaikanlah dengan cara yang baik, penuh rasa hormat, dan berlandaskan ilmu. Jangan jadikan kritik sebagai ajang menunjukkan kehebatan diri, melainkan sebagai bentuk cinta terhadap keadilan dan kebenaran. Semoga kita semua mampu memahami dan mengamalkan hukum mengkritik pemimpin dengan bijak, sehingga niat baik untuk memperbaiki negeri tidak berubah menjadi’ ‘dosa sejarah’ karena cara yang salah.(**) Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Editor : Toto Budiman Foto Ilustrasi AI

Read More