Ancaman Tarif AS Guncang Pasar, Tapi Raksasa Chip Malah Naik

Surabaya – 1miliarsantri.net: Pasar Asia kembali terguncang setelah mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump melontarkan ancaman tarif 100 persen terhadap produk impor strategis, termasuk semikonduktor dan farmasi. Kebijakan ini menargetkan khususnya produk dari Tiongkok, dan memunculkan ketidakpastian di pasar global. Namun, reaksi pasar tidak sepenuhnya negatif. Saham raksasa teknologi seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), Samsung Electronics, dan SK Hynix justru melonjak dalam dua hari terakhir. Lonjakan ini terjadi setelah beredar laporan bahwa perusahaan yang memiliki pabrik di Amerika Serikat kemungkinan akan dikecualikan dari tarif tersebut. Investor melihat peluang besar bagi perusahaan yang telah lebih dahulu berinvestasi di manufaktur domestik AS. TSMC saat ini tengah membangun pabrik chip miliaran dolar di Arizona, sementara Samsung dan SK Hynix memperluas fasilitas di Texas. Langkah ini memberi keuntungan strategis karena mereka dapat memenuhi permintaan pasar AS tanpa terhalang tarif tinggi. Proteksionisme vs Realitas Rantai Pasok Global Meski narasi “America First” telah menjadi ciri khas Trump sejak 2016, kenyataannya memutus rantai pasok global bukan perkara mudah. Satu unit chip modern bisa melibatkan desain di AS, fabrikasi di Taiwan atau Korea Selatan, dan perakitan di Malaysia atau Tiongkok. Struktur produksi yang telah melebur dalam ekosistem lintas negara membuat pemisahan total menjadi tantangan besar. Perusahaan semikonduktor Tiongkok seperti SMIC menegaskan bahwa dampak tarif era Trump sebelumnya tidak sedramatis yang diperkirakan. Dukungan permintaan domestik serta program substitusi impor justru memperkuat posisi mereka. Bagi Beijing, tekanan eksternal menjadi pemicu untuk mempercepat kemandirian teknologi dan memperluas kapasitas produksi dalam negeri. Menurut laporan Brookings Institution, relokasi pabrik ke AS memang meningkatkan nilai tambah domestik, tetapi tidak menghapus ketergantungan pada pemasok global, terutama untuk bahan baku dan peralatan produksi. Kebijakan tarif lebih bersifat menggeser lokasi produksi daripada merevolusi rantai pasok. Di sisi lain, pemerintah Tiongkok secara terbuka menolak langkah tarif tambahan ini, menyebutnya berpotensi merusak stabilitas perdagangan global. Sikap serupa disuarakan oleh negara-negara Asia lain seperti Singapura, Malaysia, dan Jepang yang ekonominya bergantung pada ekspor elektronik dan komponen teknologi. Dampak Pasar dan Risiko bagi Industri AS Sendiri Ancaman tarif ini langsung terasa di pasar mata uang dan saham. Indeks dolar AS menguat karena investor memburu aset aman, sementara yen Jepang dan won Korea Selatan melemah. Bursa Tokyo dan Seoul mencatat penurunan akibat aksi ambil untung dan kekhawatiran akan volatilitas perdagangan. Namun, proteksionisme tidak serta merta menguntungkan industri chip dalam negeri AS. Produsen seperti Intel dan AMD masih mengandalkan komponen dan teknologi dari luar negeri untuk menjaga efisiensi biaya dan kecepatan inovasi. Jika tarif diberlakukan secara luas, biaya produksi bisa meningkat signifikan. Center for Strategic and International Studies (CSIS) memperingatkan bahwa kebijakan tarif yang terlalu agresif dapat menghambat proyek infrastruktur teknologi besar, termasuk pengembangan kecerdasan buatan (AI), layanan cloud, dan pusat data. Gangguan pasokan chip dapat memperlambat miliaran dolar investasi yang sedang berjalan di sektor digital. Selain itu, beberapa analis menilai ancaman tarif ini mungkin lebih merupakan strategi negosiasi Trump jika ia kembali berkuasa pada 2025. Taktik serupa digunakan saat renegosiasi NAFTA menjadi USMCA pada 2018, di mana ancaman tarif digunakan untuk mendorong kesepakatan yang lebih menguntungkan bagi AS. Politik, Ekonomi, dan Masa Depan Industri Teknologi Hingga kini, Gedung Putih belum merilis rincian resmi soal rencana tarif 100 persen ini. Tanpa kejelasan aturan, pelaku industri dan mitra dagang AS harus berspekulasi dan menyiapkan strategi cadangan. Banyak pihak menilai bahwa upaya membatasi perdagangan teknologi lintas negara pada akhirnya akan bertabrakan dengan kebutuhan industri itu sendiri. Teknologi modern lahir dari kolaborasi global, dan memisahkan komponen dalam rantai pasok justru berisiko memperlambat inovasi. Pasar masih menunggu langkah lanjutan Trump dan respon negara-negara yang terdampak. Apakah kebijakan ini akan menjadi awal dari perang dagang babak baru atau hanya bagian dari strategi diplomasi ekonomi, jawabannya akan menentukan arah industri teknologi global dalam beberapa tahun mendatang. Yang jelas, ancaman tarif ini kembali menegaskan bahwa teknologi dan politik tidak bisa dipisahkan di era globalisasi. Di satu sisi, proteksionisme berusaha membangun batas; di sisi lain, realitas industri modern justru menuntut keterhubungan tanpa sekat. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI

Read More

Prabowo Negosiasi Tarif Impor Dengan Trump: Demi Rakyat, Bukan Segelintir Elit!

Jakarta – 1miliarsantri.net : Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, kembali menegaskan komitmennya dalam melindungi kepentingan rakyat lewat pendekatan diplomasi dan negosiasi. Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah bernegosiasi dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menurunkan tarif impor negara Paman Sam ke Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen. Inilah bentuk tanggung jawabnya sebagai pemimpin negara, ujarnya. Negosiasi dilakukan Presiden Prabowo pada 15–16 Juli 2025, melalui sambungan telepon dengan Presiden Trump. Hasilnya, tarif impor AS untuk produk Indonesia berhasil diturunkan. Negosiasi akan melibatkan tiga bulan dialog teknis antara Indonesia dan AS, serta komitmen impor Indonesia sejumlah US$15 miliar energi, US$4,5 miliar produk pertanian, dan pembelian 50 pesawat Boeing sebagai imbalannya . “Negara lain pun menghadapi tekanan dari Amerika Serikat yang punya kebijakan alot. Tapi inilah kenyataan global. Tugas saya sebagai Presiden adalah melindungi rakyat Indonesia,” ujar Prabowo dalam pidatonya pada acara Hari Lahir ke-27 PKB di Jakarta (23/07). Langkah ini bukan sekadar soal angka, tapi menyangkut nasib industri lokal, tenaga kerja, dan investasi di Tanah Air. Jika tidak segera diatasi, tarif tinggi bisa membuat banyak perusahaan dalam negeri tumbang dan memicu gelombang PHK besar-besaran. Baca juga : Indonesia ‘Gagap’ Memasuki Perang Dagang Global Amerika Serikat Kritik dan Nyinyiran di Tengah Perjuangan Negosiasi Meski negosiasi tersebut membuahkan hasil konkret, Prabowo menyayangkan masih banyak suara nyinyir dan sinis terhadap usahanya. Menurutnya, kritik itu perlu, tapi kalau isinya hanya mencela tanpa solusi, tentu tidak membangun. “Setiap upaya yang saya lakukan demi rakyat selalu ada saja yang mencibir. Padahal, yang kita lakukan itu nyata. Seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), dulu dicibir, sekarang sudah menjangkau lebih dari 6,7 juta orang,” tegas Prabowo. Ini menjadi pelajaran penting buat kita semua untuk perubahan dan terobosan besar selalu menghadirkan pro-kontra. Tapi selama tujuannya jelas, yaitu demi kesejahteraan rakyat Indonesia, maka kerja keras itu layak dijalankan dan didukung. Misi Besar untuk Jaga Lapangan Kerja dan Iklim Investasi Prabowo juga menyebut bahwa perundingan dengan Trump tidak semata soal angka tarif, tapi soal penyelamatan iklim usaha di dalam negeri. Saat ekonomi global sedang goyah, daya tahan usaha kecil hingga menengah harus dijaga. “Tujuan saya jelas, jangan sampai ada usaha yang gulung tikar, jangan sampai ada PHK. Saya rela berdialog, bernegosiasi, agar rakyat tidak menderita. Itu janji saya sejak awal,” ungkapnya. Langkah ini patut diapresiasi. Di tengah kompetisi global dan tekanan geopolitik, Indonesia butuh pemimpin yang berani bicara di meja perundingan, bukan hanya menonton dari pinggir lapangan. Negosiasi yang berani dan strategis adalah bentuk nyata diplomasi ekonomi. Baca juga : Tarif Dagang Adalah Daya Tawar Negara, Catatan Kritis Kesepakatan Indonesia Dan Amerika Serikat Tarif Impor Turun, ‘oleh-oleh’ dari Eropa Revisi tarif impor AS terhadap produk Indonesia resmi turun terjadi, saat kunjungan Prabowo ke Eropa. Percakapan via telepon selama 17 menit itu disebut berlangsung dalam suasana serius namun akrab. Kalangan DPR dan pelaku industri nasional menyambut hasil tersebut sebagai kemenangan diplomasi, yang menunjukkan kepemimpinan Prabowo kuat dan kredibel di kancah global . Tarif yang lebih rendah memberikan ruang bagi ekspor sektor padat karya, terutama tekstil dan furnitur untuk tetap kompetitif di pasar global. Sekaligus sebagai upaya pemerintah menghindari risiko PHK massal di dalam negeri. Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya, menyatakan bahwa hasil ini adalah buah dari proses panjang dan alot. Penurunan tarif ini membuka peluang lebih besar bagi produk Indonesia di pasar Amerika. Langkah ini secara langsung berdampak positif pada ekspor dan potensi pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih kompetitif di pasar global. Isu Transfer Data Pribadi Namun, kesepakatan ini tidak lepas dari kontroversi. Salah satu poin dalam kesepakatan antara Indonesia dan AS menyangkut pemindahan data pribadi WNI ke Amerika Serikat. Disebutkan bahwa Indonesia akan memberi akses transfer data ke AS, asalkan Amerika diakui sebagai negara yang memiliki perlindungan data memadai. Banyak pihak mempertanyakan keamanan dan kedaulatan data digital bangsa. Prabowo sendiri menyatakan bahwa negosiasi soal ini masih berjalan dan belum final. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, memastikan bahwa transfer data akan dilakukan secara bertanggung jawab. Namun, tetap saja, rakyat perlu mengawal isu ini dengan seksama. Jangan sampai urusan ekonomi membuat kita abai terhadap privasi dan keamanan data nasional. Hasil negosisasi lainnya yang menjadi sorotan pengamat kebijakan karena  AS tidak dikenakan tarif saat mengekspor ke Indonesia, sementara Indonesia harus menerima 19% beban tarif. Beberapa pengamat menyebut ini asimetris dan kurang menguntungkan Indonesia secara bilateral. Kesepakatan dagang tersebut berpotensi menjadi ancaman bagi petani dan industri lokal. Masuknya impor produk pertanian AS dengan harga lebih murah berpotensi menggoyang pasar lokal seperti jagung. Hal ini memerlukan kebijakan selektif agar petani tidak dirugikan. Baca juga : Tanah Subur, Petani Terkubur : Ironi Sektor Pertanian Indonesia Diplomasi Ekonomi  Dibarengi Transparansi dan Kedaulatan Data Sebagai warga negara, kita harus objektif menilai langkah pemerintah. Di satu sisi, penurunan tarif impor adalah kemenangan diplomatik yang nyata. Tapi di sisi lain, pembukaan akses data pribadi harus ditinjau hati-hati agar tidak menjadi celah kerentanan di masa depan. Negosiasi internasional memang kompleks. Namun, transparansi kepada publik adalah kunci kepercayaan. Jika pemerintah terbuka soal prosesnya dan jelas soal batas-batasnya, rakyat akan lebih mudah mendukung. Percaya pada Proses, Kawal dengan Kritis Prabowo menutup pidatonya dengan seruan kuat, agar rakyat Indonesia tetap percaya, karena ia akan bekerja sekuat tenaga untuk seluruh rakyat, bukan golongan tertentu. “Saya rela jiwa raga saya untuk rakyat Indonesia,” ujarnya tegas. Sebagai warga, kita harus mengapresiasi setiap langkah baik, tetapi juga tetap kritis dan sadar terhadap dampak jangka panjangnya. Diplomasi ekonomi seperti ini bisa menjadi angin segar, selama prinsip kedaulatan nasional tetap dipegang teguh. Pemerintah didesak untuk memperjelas dan transparan menyangkut isi kesepakatan yang dibuat. Agar masyarakat umum mengetahui dampaknya bagi harga lokal, subsidi dan neraca fiskal negara. Penulis : Ainun Maghfiroh Foto Istimewa Editor : Toto Budiman & Thamrin Humris

Read More

Indonesia ‘Gagap’ Memasuki Perang Dagang Global Amerika Serikat

Saguling Kabupaten Bandung Barat – Babak baru klaim Presiden Trump atas keberhasilannya dalam negosiasi dengan Presiden Prabowo Subianto, mendapat reaksi sejumlah pihak yang menilai ini langkah blunder membuat bumi Indonesia diserahkan sepenuhnya untuk dieksploitasi Paman Sam. Sementara Indonesia masih dibebani pajak tinggi 19% saat Neraca Perdagangan Indonesia Surplus. HM Ali Moeslim kembali menyoroti kebijakan tersebut dalam sebuah catatan yang cukup tajam, sekaligus mengingatkan Pemerintahan Prabowo Subianto tentang bentuk penjajahan gaya baru dalam bentuk perang dagang global dengan tema : Indonesia ‘Gagap’ Memasuki Perang Dagang Global Amerika Serikat. Ali Moeslim mengajak kita membandingkannya dengan Politik Perdagangan Luar Negeri Dalam Islam. Tarif Dagang Adalah Daya Tawar Negara, Catatan Kritis Kesepakatan Indonesia Dan Amerika Serikat There Is No Such Free Lunch KAUM MUSLIM terpecah menjadi lebih dari lima puluh negara negara kecil yang terserak membentang luas dari bagian utara Prancis sampai ke bagian selatan yakni Madagaskar, membentang dari bagian barat yakni Maroko sampai bagian timur yakni Merauke. Negeri-negeri muslim tersebut kini sebagian besarnya tidak lagi dijajah secara fisik oleh para penjajah seperti Inggris, Prancis, Belanda, Spanyol, Italia maupun USA, namun saat mereka para penjajah itu pergi, mereka menyimpan atau memelihara para penguasa negeri negeri muslim tersebut untuk “menjamin” kepentingan mereka para penjajah itu tetap berjalan di negeri “jajahan” yang ditinggalkannya, “there is no such free lunch” (tidak ada makan siang gratis). Nampak jelas Indonesia “gagap” memasuki babak perang dagang global yang diinisiasi oleh Donald Trump sejak kembali menjabat sebagain presiden USA mulai januari 2025, kemudian pada april 2025 mengumumkan kebijakan “liberation Day tariff” menyasar 20 negara di dunia termasuk Indonesia. Sungguh mencengangkan di tengah surplusnya perdagangan Indonesia dengan USA pada periode awal tahun ini (Januari – Pebruari 2025) justru tarif dagangnya naik menjadi 32%, walaupun akhirnya diturunkan menjadi 19% tapi dengan syarat syarat. Kado Pahit 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia Sejumlah syarat disebutkan oleh Donald Trump dengan bangga seolah memperlihatkan kemenangannya (Amerika Serikat) atas Indonesia, dia menyebut sebagai bagian dari perjanjian, Indonesia harus membeli energi AS senilai US$15 miliar, produk pertanian Amerika senilai US$4,5 miliar, dan 50 pesawat Boeing. Bukan hanya pelepasan cadangan devisa secara signifikan dalam ratusan trilyun, kesepakatan tarif ini sangat tidak berimbang. Bagi Indonesia, hal ini bak’ kado pahit bagi 80 tahun kemerdekaan Indonesia dari penjajahan fisik, jatuhnya harga diri bangsa ke titik 0. Sementara bagi USA semakin menegaskan watak asli dari sistem ekonomi kapitalis. Negara kaya semakin kaya, negara miskin semakin melarat. Dalam paradigma sistem ekonomi kapitalisme, tarif ekspor/impor adalah bea cukai yang posisinya sama dengan pajak, bahkan sama-sama menjadi sumber utama kas negara (APBN). Keberadaan bea cukai dan pajak tidak ubahnya lahan bisnis penguasa terhadap rakyatnya. Ini menggambarkan hubungan rakyat dengan penguasa benar-benar seperti penjual dan pembeli. Dalam konteks perdagangan luar negeri (antarnegara), keberadaan tarif ekspor/impor bisa digunakan negara yang kuat untuk menekan negara yang lebih lemah. Timbangan Syariah Dalam Perdagangan Global Bagaimana timbangan Syariah Islam dalam perang dagang global? Sebelumnya mesti difahami bahwa ada perbedaan perdagangan dalam negeri dan luar negeri Perdagangan dalam negeri adalah aktivitas jual beli antar individu dalam umat umat yang sama, aktivitas berikut tidak perlu campur-tangan negara, negara memberikan pengarahan umum agar setiap individu terikat dengan hukum syariah, aturan dan sanksi akan diterapkan terhadap pelanggaran sebagaimana sanksi dalam pelanggaran muamalah yang lain. Perdagangan luar negeri adalah aktivitas jual antar bangsa dan umat, baik perdagangan antar dua negara maupun antar dua individu yang masing masing berasal dari negara yang berbeda beda. Negara secara mutlak harus campur tangan terhadap komoditas perdagangan dan pelaku bisnisnya secara rinci. Negara akan mengatur mana komoditas yang boleh “dikeluarkan” dan mana yang dicegah untuk dikeluarkan. Negara juga akan mengatur siapa warga negara asing yang boleh masuk dengan izin, berapa lama dan aktivitas saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Syaikh Taqiyuddin na-Nabhani menjelaskan tentang politik perdagangan luar negeri dalam Islam, termasuk di dalamnya terkait cukai atau usr sebagai berikut; Dalam kitab Muqadimah Ad-Dustur dijelaskan;“Perdagangan luar negeri berlaku menurut kewarganegaraan pedagang, bukan berdasarkan tempat asal barang dagangan. Pedagang yang berasal dari negara yang sedang berperang (at-tujjaar al-harbiyyuun) dilarang mengadakan aktivitas perdagangan di negeri kita, kecuali dengan izin khusus untuk pedagangnya ataupun barang dagangannya. Pedagang yang berasal dari negara yang terikat perjanjian (at-tujjaar al-mu’ahiduun) diperlakukan sesuai dengan teks perjanjian antara kita dan mereka. Para pedagang yang berasal dari warga negara (Khilafah) dilarang mengekspor bahan-bahan yang diperlukan negara (Khilafah), termasuk bahan-bahan yang akan memperkuat militer, industri dan perekonomian musuh. Para pedagang yang berasal dari warga negara (Khilafah) tidak dilarang mengimpor barang yang hendak mereka miliki. Dikecualikan dari hukum-hukum ini, negara yang antara kita dan penduduknya terjadi peperangan secara langsung, seperti Israel, maka ia diperlakukan sebagai negara kafir harbiy f’il[an] pada semua hubungan dengan negara tersebut, baik hubungan perdagangan maupun non perdagangan”. Paradigma perdagangan luar negeri negara Islam (Daulah Islam) itu khas dan berbeda secara prinsip dengan paradigma kapitalisme. Negara Islam akan membangun aktivitas perdagangannya secara mandiri dan berpihak kepada kemaslahatan Islam dan kaum muslimin, tidak sama sekali berpihak pada peningkatan kekayaan nasional sembari melakukan eksploitasi pada negara lain sebagaimana Trump mengeluarkan kebijakan tarif dalam kerangka Make America Great Again. Tapi, demi Islam rahmatan lil aalamiin.** Penulis : HM Ali Moeslim (seorang Penulis dan Pembimbing Haji & Umroh) Foto Istimewa : Kolase ilustrasi Editor : Thamrin Humris

Read More

Tarif Dagang Adalah Daya Tawar Negara, Catatan Kritis Kesepakatan Indonesia Dan Amerika Serikat

Cimahi – 1miliarsantri.net: Kesepakatan perdagangan antara Amerika dan Indonesia yang diklaim oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump melalui media sosial miliknya Truth Social, mengejutkan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. Ada yang memuji diplomasi Presiden RI Prabowo Subianto, namun ada juga yang menyesalkan kesepakatan tersebut yang disinyalir merugikan posisi Indonesia. Berikut, 1miliarsantri.net menyajikan sebuah catatan kritis yang ditulis oleh HM Ali Moeslim dalam perspektfi Islam dengan judul : “Tarif Dagang Adalah Daya Tawar Negara.” Kesepakatan Perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat BENAR sebuah ungkapan “the beggars can’t be chooshers”, pengemis tidak bisa menjadi pemilih, berarti bahwa seseorang yang berada dalam posisi yang dibutuhkan atau meminta sesuatu dari orang lain tidak boleh pilih-pilih atau menuntut tentang apa yang mereka terima. Mereka harus berterima kasih atas apa pun yang ditawarkan kepada mereka. Baca juga : Presiden Prabowo Tegaskan Proyek Giant Sea Wall Akan Tetap dimulai Dengan Kekuatan Nasional Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Selasa (15/7) mengklaim telah mencapai kesepakatan perdagangan dengan Indonesia.Kesepakatan ia klaim tercapai setelah berbicara langsung dengan Presiden Prabowo Subianto. Satu-satunya detail yang diungkapkan Trump tentang kesepakatan tersebut adalah AS hanya akan mengenakan tarif impor atas produk Indonesia sebesar 19%, turun dari 32% sebelumnya. Tarif 19% Tidak Gratis Dinikmati Indonesia Namun, tarif 19 persen itu tidak gratis untuk bisa dinikmati Indonesia. Ada beberapa syarat yang harus dipatuhi Indonesia bila ingin menikmati tarif itu; Di sini kita bisa menilai, betapa lemahnya “daya tawar” Indonesia di mata Amerika Serikat. Daya tawar sebuah negara itu tidak muncul begitu saja, namun lahir dari usaha keras terukur membangun stabilitas dan integritas dalam negeri. Rasulullah Memelihara Dan Menjaga Urusan Kaum Muslimin Bagaimana dulu Rasulullah SAW mendirikan dan membangun stabilitas dan integritas negara Islam Madinah? Kita tahu Beliau berkedudukan sebagai kepala negara, Qadli dan Panglima Militer. Beliau memelihara dan menjaga berbagai urusan kaum Muslim dan penduduk lainnya, menyelesaikan perselisihan-perselisihan di antara mereka. Jadi, sejak tiba di Madinah, Beliau mendirikan Daulah atau Negara Islam. Negara tersebut dijadikan pusat pembangunan masyarakat yang berdiri di atas pondasi yang kokoh yakni aqidah dan syariah, di antaranya dengan membuat Piagam Madinah. Madinah saat itu merupakan pusat persiapan kekuatan yang cukup untuk melindungi negara dan menyebarkan dakwah. Setelah seluruh persoalan stabil dan terkontrol, Beliau mulai menghilangkan rintangan-rintangan fisik yang menghadang di tengah jalan penyebaran Islam. Rasulullah SAW bersabda; إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا، وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ “Sesungguhnya Allah akan memuliakan suatu kaum dengan kitab ini (Al Quran) dan menghinakan yang lain.” Kondisi dalam negeri Madinah menjadi stabil, terutama setelah guncangan hebat yang dirasakan oleh penduduk Madinah atas kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud. Stabilisasi dan integralisasi tercapai “hanya” dalam waktu 5 tahun. Baca juga : Etika Pergaulan dalam Islam: Panduan Bijak di Era Modern Rasulullah SAW Melakukan Hubungan Luar Negeri Tahun ke 6 Rasulullah SAW melakukan hubungan luar negeri yakni dengan mengirim surat kepada para Raja yang besar yang menguasai beberapa belahan dunia, surat-surat tersebut dikirimkan setelah Nabi Muhammad SAW kembali dari Perjanjian Hudaibiyah. Tujuan utama pengiriman surat adalah untuk mengajak para penguasa dan raja-raja untuk memeluk agama Islam. Beberapa tokoh yang menerima surat dari Nabi Muhammad SAW antara lain; Heraclius (Kaisar Romawi Timur), Khosrau II (Kaisar Persia), Najasyi (Raja Habasyah), Muqauqis (Raja Mesir), Al-Harits bin Abi Syimr al-Ghassani (Gubernur Suriah), Munzir bin Sawa al-Tamimi (Penguasa Bahrain), dari sinilah tergambar bahwa hubungan luar negeri negara Islam itu adalah dakwah. Khalifah Umar bin Khatab pernah menanyakan tarif dagang atau cukai kepada para saudagar di madinah yang berdagang (ekspor) yang diterapkan oleh negara luar di luar wilayah kekhalifahan. Khalifah bertanya kepada para saudagar Muslim yang mendatangi negara Etiopia, tentang berapa banyak negara tersebut mengambil pajak dari mereka. Mereka menjawab, “Mereka mengambil 10 dari dagangan kami.” Mendengar jawaban ini, Khalifah Umar menyuruh kepada para pegawainya untuk menarik pajak 10% dari barang dagangannya non-Muslim. Khalifah Umar juga bertanya kepada Utsman bin Hanif, “Berapa banyak orang kafir harbi mengambil dagangan jika kalian sampai ke negara mereka?” Jawab dia, “10%.” Mendengar jawaban ini, Khalifah Umar menginstruksikan kepada para pejabatnya untuk menarik pajak 10% atas barang dagangannya non-Muslim. Pemberlakuan Cukai Untuk Barang-Barang Ekspor dan Impor Diterapkan Khalifah Dalam Buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab, Dr. Muhammad Ash-Shalabi menuturkan bahwa pemberlakuan cukai untuk barang-barang ekspor dan impor zaman Khalifah Umar telah diterapkan. Nama petugas penarik cukai adalah Al-‘Asyir. Pajak model ini belum ada pada masa Nabi Muhammad SAW. dan Khalifah pertama Abu Bakar. Sebab, masa tersebut adalah masa penyebaran dakwah, jihad di jalan Allah dan proses pendirian Negara Islam. Pada masa Umar bin al-Khaththab, wilayah Negara Islam semakin bertambah luas ke arah Barat maupun ke arah Timur. Sehingga pertukaran barang Negara Khilafah dengan yang lain adalah merupakan suatu tuntutan. Hal ini harus dimanfaatkan untuk kepentingan umat. Khalifah Umar bin aI-Khaththab memiliki ide untuk menerapkan pajak atas barang yang masuk ke Negara Islam. Sebagaimana halnya negara-negara non-Islam menerapkan pajak terhadap para pedagang Islam yang datang ke tempat mereka. Tujuan lain dari Khalifah Umar adaIah untuk melakukan perlakuan yang sama, hal ini disampaikan kepada para sahabat, para sahabat setuju, maka cukai dari kaum kafir adalah ijma’.*** Penulis : HM Ali Moeslim (Penulis dan Pembimbing Hajj & Umroh) Foto istimewa Editor : Thamrin Humris

Read More

Chelsea Juara Dunia FIFA 2025, Bungkam Paris Saint-Germain 3-0 Disaksikan Presiden AS

New Jersey, USA – 1miliarsantri.net: Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadi saksi pertandingan Final Perdana FIFA Club World Cup 2025 yang mempertemukan Chelsea FC asal Inggris dengan Paris Saint-Germain, di MetLife Stadium, New Jersey, Amerika Serikat, Minggu 13/7/2025 waktu setempat. Chelsea yang diasuh coach Enzo Maresca langsung tancap gas mengejutkan PSG. Gempuran pasukan London Biru itu menyulitkan pembunuh raksasa Real Madrid di Final perdana Piala Dunia Antar Klub FIFA 2025, yang disaksikan Presiden FIFA dan Presiden AS. Brace Palmer Bukti Solidnya Skuad Chelsea Bermain luar biasa sejak peluit dibunyikan, skuad Chelsea yang dimotori Cole Palmer, didukung Defender: Marc Cucurella, Levi Colwill, Trevoh Chalobah, Rece James dan Malo Gusto. Kemudian Lini Tengah ada Enzo Fernandez dan Moises Caicedo menjadi trio creator mematikan bersama Palmer. Serta Ujung Tombak Pedro Neto dan Joao Pedro yang menyumbang satu gol kemenangan Chelsea. Palmer kejutkan seisi MetLife Stadium dengan 2 gol dalam interval delapan menit, dengan proses dan penempatan yang sama di sudut sempit kanan gawang Paris Saint-Germain, yang sulit dijangkau Gianluigi Donnarumma. Gol-Gol Chelsea Dalam Laga Final 5 Kemenangan Beruntun termasuk laga Final dini hari waktu Indonesia Barat bukti kuatnya karakter bermain The Blues Chelsea, rotasi pemain dan strategi permainan dengan pola 4-2-3-1 menghadapi PSG yang ditukangi Luis Enrique dengan formasi 4-1-2-3, membuahkan 3 gol tanpa balas di babak pertama. Gol Pertama dan Kedua Palmer, gol pertama dicetak Palmer menit ke 22 dan gol keduanya dalam tempo delapan menit menunjukan dia benar-benar menikmati partai final. Dia menggila dengan kedua gol tersebut serta satu assist, dan merebut Golden Ball. Gol Ketiga, Striker dicetak striker Chelsea asal Brasil, Joao Pedro menit ke 43′ menunjukan produktivitas pemain muda The Blues dalam laga final yang disaksikan jutaan penonton dunia. Skuad Chelsea benar-benar luar biasa.*** Penulis dan Editor : Thamrin Humris Foto istimewa tangkapan layar fifa.com | Sumber: berbagai sumber

Read More