
Ancaman Tarif AS Guncang Pasar, Tapi Raksasa Chip Malah Naik
Surabaya – 1miliarsantri.net: Pasar Asia kembali terguncang setelah mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump melontarkan ancaman tarif 100 persen terhadap produk impor strategis, termasuk semikonduktor dan farmasi. Kebijakan ini menargetkan khususnya produk dari Tiongkok, dan memunculkan ketidakpastian di pasar global. Namun, reaksi pasar tidak sepenuhnya negatif. Saham raksasa teknologi seperti Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC), Samsung Electronics, dan SK Hynix justru melonjak dalam dua hari terakhir. Lonjakan ini terjadi setelah beredar laporan bahwa perusahaan yang memiliki pabrik di Amerika Serikat kemungkinan akan dikecualikan dari tarif tersebut. Investor melihat peluang besar bagi perusahaan yang telah lebih dahulu berinvestasi di manufaktur domestik AS. TSMC saat ini tengah membangun pabrik chip miliaran dolar di Arizona, sementara Samsung dan SK Hynix memperluas fasilitas di Texas. Langkah ini memberi keuntungan strategis karena mereka dapat memenuhi permintaan pasar AS tanpa terhalang tarif tinggi. Proteksionisme vs Realitas Rantai Pasok Global Meski narasi “America First” telah menjadi ciri khas Trump sejak 2016, kenyataannya memutus rantai pasok global bukan perkara mudah. Satu unit chip modern bisa melibatkan desain di AS, fabrikasi di Taiwan atau Korea Selatan, dan perakitan di Malaysia atau Tiongkok. Struktur produksi yang telah melebur dalam ekosistem lintas negara membuat pemisahan total menjadi tantangan besar. Perusahaan semikonduktor Tiongkok seperti SMIC menegaskan bahwa dampak tarif era Trump sebelumnya tidak sedramatis yang diperkirakan. Dukungan permintaan domestik serta program substitusi impor justru memperkuat posisi mereka. Bagi Beijing, tekanan eksternal menjadi pemicu untuk mempercepat kemandirian teknologi dan memperluas kapasitas produksi dalam negeri. Menurut laporan Brookings Institution, relokasi pabrik ke AS memang meningkatkan nilai tambah domestik, tetapi tidak menghapus ketergantungan pada pemasok global, terutama untuk bahan baku dan peralatan produksi. Kebijakan tarif lebih bersifat menggeser lokasi produksi daripada merevolusi rantai pasok. Di sisi lain, pemerintah Tiongkok secara terbuka menolak langkah tarif tambahan ini, menyebutnya berpotensi merusak stabilitas perdagangan global. Sikap serupa disuarakan oleh negara-negara Asia lain seperti Singapura, Malaysia, dan Jepang yang ekonominya bergantung pada ekspor elektronik dan komponen teknologi. Dampak Pasar dan Risiko bagi Industri AS Sendiri Ancaman tarif ini langsung terasa di pasar mata uang dan saham. Indeks dolar AS menguat karena investor memburu aset aman, sementara yen Jepang dan won Korea Selatan melemah. Bursa Tokyo dan Seoul mencatat penurunan akibat aksi ambil untung dan kekhawatiran akan volatilitas perdagangan. Namun, proteksionisme tidak serta merta menguntungkan industri chip dalam negeri AS. Produsen seperti Intel dan AMD masih mengandalkan komponen dan teknologi dari luar negeri untuk menjaga efisiensi biaya dan kecepatan inovasi. Jika tarif diberlakukan secara luas, biaya produksi bisa meningkat signifikan. Center for Strategic and International Studies (CSIS) memperingatkan bahwa kebijakan tarif yang terlalu agresif dapat menghambat proyek infrastruktur teknologi besar, termasuk pengembangan kecerdasan buatan (AI), layanan cloud, dan pusat data. Gangguan pasokan chip dapat memperlambat miliaran dolar investasi yang sedang berjalan di sektor digital. Selain itu, beberapa analis menilai ancaman tarif ini mungkin lebih merupakan strategi negosiasi Trump jika ia kembali berkuasa pada 2025. Taktik serupa digunakan saat renegosiasi NAFTA menjadi USMCA pada 2018, di mana ancaman tarif digunakan untuk mendorong kesepakatan yang lebih menguntungkan bagi AS. Politik, Ekonomi, dan Masa Depan Industri Teknologi Hingga kini, Gedung Putih belum merilis rincian resmi soal rencana tarif 100 persen ini. Tanpa kejelasan aturan, pelaku industri dan mitra dagang AS harus berspekulasi dan menyiapkan strategi cadangan. Banyak pihak menilai bahwa upaya membatasi perdagangan teknologi lintas negara pada akhirnya akan bertabrakan dengan kebutuhan industri itu sendiri. Teknologi modern lahir dari kolaborasi global, dan memisahkan komponen dalam rantai pasok justru berisiko memperlambat inovasi. Pasar masih menunggu langkah lanjutan Trump dan respon negara-negara yang terdampak. Apakah kebijakan ini akan menjadi awal dari perang dagang babak baru atau hanya bagian dari strategi diplomasi ekonomi, jawabannya akan menentukan arah industri teknologi global dalam beberapa tahun mendatang. Yang jelas, ancaman tarif ini kembali menegaskan bahwa teknologi dan politik tidak bisa dipisahkan di era globalisasi. Di satu sisi, proteksionisme berusaha membangun batas; di sisi lain, realitas industri modern justru menuntut keterhubungan tanpa sekat. Penulis: Faruq Ansori Editor: Glancy Verona Foto by AI