Sejarah Parfum: Mesir Kuno Hingga Persia

Jakarta — 1miliarsantri.net : Memakai wangi-wangian adalah hal yang dianjurkan menurut ajaran Islam. Salah satu bentuk wewangian yang populer digunakan adalah parfum.
Bangsa Mesopotamia yang menghuni daerah aliran Sungai Eufrat dan Tigris–kini Irak–diyakini sebagai pembuat parfum pertama, yakni pada masa sekira tiga ribu tahun sebelum Masehi (SM). Dari sana, pengetahuan tentang pembuatan wewangian ini terus menyebar, termasuk ke Mesir Kuno.
Semula, parfum hanya dikenal dalam bentuk padat, bukan cairan. Wujudnya menyerupai dupa dan dipakai hanya untuk melengkapi ritual-ritual keagamaan. Namun, sejak penemuan kaca pada 1500 SM, parfum hadir sebagai cairan, bukan lagi padatan. Itu pun menjadi barang incaran individual, bukan hanya monopoli kaum pendeta.
Wewangian lama kelamaan menjadi kebutuhan kaum bangsawan Mesir Kuno. Para raja dan ratu Mesir seperti berlomba-lomba mendapatkan parfum terbaik dengan wangi yang memanjakan hidung. Cairan beraroma itu lantas disimpan dalam wadah-wadah kaca, yang kadangkala dihargai lebih tinggi ketimbang permata.
Para tetua adat Mesir Kuno memiliki pengetahuan mendasar tentang wewangian sebagai pelengkap ritual. Mereka terbiasa merendam kayu gaharu ke dalam air atau minyak. Aroma yang dihasilkan lantas ditambahi dengan madu atau bunga-bunga untuk meningkatkan keharuman. Air atau minyak itu lantas dioleskan ke dinding-dinding kuil atau proses pembalseman mumi.
Kaum elite Mesir Kuno lantas mengadopsi tradisi ini. Bedanya, mereka menuangkan air atau minyak hasil rendaman kayu, bunga, dan bahan-bahan lain itu ke dalam bak mandi. Di sanalah, mereka berendam dan membersihkan badan. Untuk melindungi kulit dari terik matahari, krim pelembab pun dibuat dari bahan yang sama.
Orang-orang Yunani dan Romawi Kuno juga menyenangi wewangian. Tak jauh berbeda dengan bangsa Mesir, mereka mengenal parfum. Kebanyakan pewangi itu dalam bentuk padat atau dupa, meskipun ada pula yang cairan. Khusus yang berupa minyak, masyarakat tersebut juga menyimpannya dalam botol-botol kaca. Bahkan, bangsa Yunani Kuno diyakini boros dalam menggunakan minyak wangi.
Para pemikir setempat membuat beragam hipotesis mengenai indra penciuman. Seorang di antaranya, Theophrastus (371-287 SM), secara khusus meneliti berbagai aspek tentang parfum. Ia mengaitkan efeknya terhadap suasana hati dan proses berpikir manusia.
Masyarakat Romawi, khususnya yang berasal dari kalangan elite, mencintai wewangian. Mereka biasa memakai minyak wangi minimal tiga kali sehari. Di pemandian-pemandian umum, biasanya terdapat ruangan yang disebut sebagai unctuarium. Di sana, para pengunjung dapat memanjakan diri dengan pelbagai minyak esensial dan aromatik sebelum mereka pulang.
Kecintaan bangsa Romawi terhadap parfum, itulah antara lain yang menghubungkannya dengan dunia Islam. Kelak ketika Perang Salib berlangsung, para pemeluk Kristen itu mendapati bahwa Muslimin pun memakai parfum dan bahkan mengembangkan dengan amat baik industri minyak wangi.
Di Asia pada masa kuno, parfum—baik yang berupa dupa maupun cairan—dikenal luas setidaknya sejak abad pertama SM. Ia sudah menjadi komoditas yang marak diperdagangkan di Jalur Sutra, yang menghubungkan antara Cina, India, Asia Tengah, Asia Barat, dan Eropa.
Salah satu penyulingan minyak wangi—disebut sebagai ittar atau attar—yang paling awal diketahui ada di daerah sekitar aliran Sungai Indus. Keberadaannya tercatat dalam teks Ayurveda Hindu Charaka Samhita dan Sushruta Samhita. Pada 1975, arkeolog Dr Paolo Rovesti menemukan alat penyulingan di lembah Indus.
Artefak yang berbahan dasar tanah liat itu diperkirakan berasal dari masa 3.000 SM. Penulis buku In Search of Perfumes Lost itu juga melaporkan cara masyarakat India Kuno membuat parfum dari alat tersebut. Pertama-tama, bejana tanah liat diisi dengan larutan bunga serta berbagai bahan lainnya. Tuangkan air mendidih secukupnya ke dalam bejana itu, lalu tutup dengan kain tenun. Uapnya akan meresap pada bahan tersebut. Terakhir, kain itu diperas untuk mengisolasi minyak wangi.
Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah dikenal sebagai pedagang di jalur maritim Samudra Hindia. Mereka terbiasa menjadi perantara berbagai komoditas dari Cina, Nusantara, dan India, ke wilayah-wilayah di Bulan Sabit Subur dan Eropa. Di antara barang-barang yang diperniagakannya ialah bahan-bahan parfum, semisal kamper, kasturi, dan rempah-rempah.
Para pelaut Arab membawa kapur barus dari lokasi asalnya, Barus, Sumatra, ke Mediterania. Kapur barus merupakan salah satu primadona dalam dunia perdagangan sejak ratusan tahun silam. Di antara kegunaannya ialah sebagai campuran pewangi. Bahkan, inilah salah satu unsur yang ada dalam pembalseman mumi-mumi firaun di Mesir Kuno.
Bangsa Persia pun menggemari parfum. Attar, yakni teknik penyulingan minyak wangi, terus dikembangkan, termasuk ketika Persia menjadi bagian dari kedaulatan Islam. Wewangian merupakan salah satu sumber inspirasi para penyair dan salik setempat. Seorang sastrawan-sufi, Fariduddin Attar, dahulunya merupakan penjual minyak wangi. Nama belakangnya menunjukkan hal itu. (jeha)
Baca juga :
- Santri Ponpes Al Imam Berlaga Hingga Grand Final Olimpiade Sains Pelajar 2025 Kabupaten Kediri
- Arab Saudi Perketat Aturan Haji Terkait Larangan Visa Selain Visa Haji, Ini Penjelasan Kemenag
- 212.242 Jamaah Reguler Lunasi Biaya Haji Jelang Penutupan
- Pemerintah Arab Saudi Larang Jamaah Tanpa Visa Haji Masuk Makkah, Simak 4 Aturan Terbaru
- Arab Saudi Terapkan Aturan Baru Jelang Persiapan Haji 2025, Travel Umroh Wajib Tahu