Perjuangan Kartini Dalam Memperjuangkan Hak dan Kesetaraan Perempuan

Jepara — 1miliarsantri.net : Raden Ajeng Kartini atau yang lebih dikenal sebagai RA Kartini merupakan seorang tokoh Jawa atau Pahlawan Nasional Indonesia karena dia memperjuangkan hak emansipasi bagi kaum perempuan. Berkat perjuanganannya, kini perempuan bisa bersekolah dan bekerja dengan sama/setara dengan laki-laki.

Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara. Kartini merupakan seorang putri keturunan bangsawan yang lahir dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah. Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara.

Kartini dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan karena perjuangan yang telah beliau lakukan walau tidak secara langsung. Surat-surat yang Kartini kirimkan kepada teman-temannya di Belanda kemudian dijadikan buku yang berjudul Door Duisternis tot Licht yang artinya Dari Kegelapan menuju Cahaya yang diterbitkan oleh Mr. JH Abendanon (Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia-Belanda). Buku tersebut banyak memberikan implementasi dalam cara berpikir masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi Jawa. Kemudian tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini.

Kartini bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) mulai dari tahun 1885, sekolah yang diperuntukan untuk orang Belanda dan orang Jawa yang kaya. Di ELS, Kartini belajar dan menguasai bahasa Belanda. Tetapi, Kartini hanya dapat bersekolah hingga umurnya yang ke-12 tahun, karena beliau sudah memasuki masa pingitan.

Pingitan merupakan sebuah tradisi ketika perempuan Jawa harus dikurung dan tinggal di rumah. Namun, dipingit tidak menjadi halangan bagi Kartini. Berbekal pengetahuan bahasa Belanda yang cukup beliau kuasai karena bersekolah di ESL, beliau bertukar surat dengan teman-temannya dari Belanda.

Kartini juga banyak membaca buku selain bertukar surat dengan teman-temannya yang lain. Karena banyaknya buku yang dibaca Kartini, beliau jadi mengetahui cara berpikir perempuan Eropa yang lebih modern dan bebas dibandingkan perempuan Jawa pribumi kala itu.

Kartini yang hobi membaca mulai dari buku, surat kabar, hingga majalah menimbulkan ketertarikannya untuk memajukan perempuan pribumi. Karena pada saat itu, perempuan pribumi memiliki kedudukan atau stratifikasi sosial yang terbilang rendah. Menurut Kartini, perempuan pribumi harus mendapatkan kesetaraan, persamaan, dan kebebasan.

Kartini yang pada saat itu sedang dipingit, tidak banyak hal yang dapat ia lakukan tetapi surat yang Kartini tulis menjadi salah satu bentuk perjuangannya. Beliau menuliskan gagasan-gagasannya mengenai emansipasi perempuan. Beliau menjelaskan penderitaan yang dirasakan perempuan Jawa yang tidak bebas menuntut ilmu dan harus dipingit sehingga hal tersebut mengekang kebebasan perempuan.

Kemudian di tahun 1903, Kartini akhirnya menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Sedikit yang kita ketahui, rupanya Kartini memiliki jarak usia yang cukup jauh dengan suaminya. Kartini yang pada saat itu sudah berusia 24 tahun, dipaksa menerima perjodohan dari ayahnya. Sebab pada saat itu, usia 24 tahun dianggap perawan tua apabila belum menikah. Kartini akhirnya menerima perjodohan tersebut karena beliau menghormati dan ingin berbakti kepada ayahnya.

Hanya saja Kartini memberi syarat bahwa beliau tidak ingin melakukan prosesi adat pernikahan dengan berjalan jongkok, berlutut dan mencium kaki suami. Dengan Kartini tidak melakukan prosesi adat tersebut, kita dapat melihat bahwa ini adalah bentuk keputusan Kartini yang menginginkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Kartini juga menegaskan bahwa dirinya ingin membuka sekolah Hindia-Belanda untuk para perempuan agar mereka bisa belajar.

Akhirnya setelah menikah pun, Kartini tetap melanjutkan perjuangannya untuk kesetaraan perempuan dan beliau juga menjadi seorang guru. Kegigihan Kartini akan pendidikan wanita ini dilihat tokoh Politik Etis, Van Deventer yang kemudian membantu mendirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini didukung oleh suami Kartini juga.

Sekolah tersebut dinamakan “Sekolah Kartini” yang didirikan pada tahun 1912 yang berlokasi di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang (sekarang Gedung Pramuka). Sekolah ini pun berkembang hingga ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan banyak daerah lainnya.

Setahun setelah menikah yakni 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat Namun sayang, perjuangan Kartini berakhir 4 hari setelah beliau melahirkan. Kartini meninggal di usianya yang 25 tahun kemudian beliau dimakamkan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang.

Perjuangan Kartini memang tidak secara langsung, hanya bermodalkan surat-surat yang beliau kirimkan kepada teman-temannya. Namun hal itulah yang membuat Kartini istimewa, karena beliau membuat kita, para perempuan jadi bisa bersekolah dan bebas dan nyaman, setara dengan laki-laki.

Perjuangan Kartini harus kita hargai karena berkat beliau, para perempuan masa kini tidak perlu dipingit, dapat belajar dan mengejar pendidikan dengan bebas dan mengeksplorasi bakat serta minat kita tanpa dibatasi gender. Kita para perempuan pun jadi bisa jatuh cinta dan menikah dengan orang yang benar-benar kita sayang, tanpa perlu dipingit dan dijodohkan.

Perjuangan Kartini tidaklah sia-sia karena hingga saat ini para wanita dapat mengenyam pendidikan dan memiliki kesetaraan yang sama dengan laki-laki. Kita dapat melihat bahwa perjuangan tidak harus selalu besar atau maju ke medan perang. Kartini melakukan perjuangannya hanya bermodalan surat yang beliau tulis selama beliau dipingit. (yuk)

Baca juga :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *