Konsep Ekonomi Berbagi dan Solusi Masa Depan Kepemilikan di Perkotaan

Dengarkan Artikel Ini

Surabaya – 1miliarsantri.net : Di kota-kota besar, ruang semakin sempit dan biaya hidup kian tinggi. Harga rumah terus melambung, kendaraan pribadi memicu kemacetan, sementara kepemilikan barang-barang tertentu sering kali tidak lagi sebanding dengan beban biaya yang harus ditanggung. Dalam situasi ini, lahirlah sebuah konsep yang perlahan mengubah cara pandang dan jadi solusi masa depan masyarakat terhadap kepemilikan: ekonomi berbagi.

Konsep ini awalnya mudah dikenali melalui layanan transportasi daring atau penyewaan sepeda dan skuter listrik. Namun cakupannya jauh lebih luas: berbagi ruang kerja bersama, berbagi hunian sementara, hingga berbagi barang rumah tangga sederhana. Semua ini tumbuh sebagai respons atas meningkatnya kebutuhan hidup urban yang menuntut efisiensi.

Dari Kepemilikan ke Akses: Gaya Hidup Baru Kaum Urban

Ambil contoh Fulan, seorang pekerja di Jakarta. Tinggal di apartemen mungil tak jauh dari kantornya, ia dulu merasa harus memiliki motor pribadi demi mobilitas lancar. Namun setelah menghitung cicilan, bensin, parkir, dan biaya perawatan, ia sadar biaya itu lebih tinggi dibanding ongkos transportasi daring. Perlahan, ia memilih “akses” ketimbang “kepemilikan penuh”.

Fenomena serupa terlihat pada hunian. Fulanah, seorang desainer grafis, memutuskan tinggal di co-living, ruang tinggal bersama dengan kamar privat kecil, tetapi dilengkapi fasilitas dapur dan ruang kerja komunal. Biayanya lebih terjangkau dan fasilitasnya lebih lengkap daripada jika ia harus menanggung semua sendirian. Dari sini terlihat, rumah bukan lagi sekadar aset pribadi, melainkan ruang hidup yang bisa dibagi sesuai kebutuhan.

Pergeseran pola ini mencerminkan nilai baru di kota besar. Generasi muda semakin terbiasa dengan konsep berbagi karena lebih realistis secara finansial. Akses terhadap barang atau jasa kini lebih dihargai daripada kepemilikan itu sendiri.

Dimensi Sosial dan Tantangan Ekonomi Berbagi

Di balik efisiensi, ekonomi berbagi juga menumbuhkan lapisan sosial baru. Ruang kerja bersama menciptakan interaksi dan pertukaran ide antar pengguna, penghuni co-living sering kali saling menolong, bahkan penyewa sepeda listrik merasa menjadi bagian dari komunitas tertentu. Dengan cara ini, ekonomi berbagi bukan hanya soal menghemat biaya, tetapi juga membangun kebersamaan di tengah kota yang cenderung individualis.

Namun, praktiknya tidak selalu seindah yang dibayangkan. Banyak tantangan yang muncul, mulai dari regulasi hingga keamanan. Misalnya, rumah-rumah yang dialihfungsikan menjadi homestay daring dalam jumlah besar dapat mendorong kenaikan harga sewa lokal. Di sisi lain, pekerja transportasi daring kerap terjebak dalam tarik ulur status: apakah mereka pekerja bebas atau karyawan tetap dengan hak penuh?

Konsekuensinya, ekonomi berbagi kadang justru memperlihatkan sisi eksploitatif. Layanan yang awalnya dimaksudkan untuk inklusi berisiko menciptakan kesenjangan baru. Mereka yang memiliki akses digital akan lebih mudah memanfaatkan peluang, sementara kelompok yang tertinggal secara teknologi justru makin terpinggirkan. Kesenjangan ini bukan sekadar kaya dan miskin, tetapi antara mereka yang bisa masuk ke ekosistem digital dengan mereka yang tidak.

Masa Depan Kepemilikan di Kota: Regulasi Jadi Penentu

Arah perubahan tampak jelas: di kota dengan populasi padat, kepemilikan bukan lagi standar utama kesejahteraan. Yang lebih dihargai adalah akses. Bagi generasi muda, kepemilikan penuh atas rumah besar atau kendaraan pribadi tidak lagi menjadi prioritas. Mereka lebih rela membayar layanan sewa mobil sesekali daripada membeli, atau memilih co-living fleksibel daripada memaksakan kredit rumah besar.

Mungkin inilah wajah baru perkotaan: masa depan di mana kata “akses” lebih akrab dibanding “milik”. Namun, pergeseran besar ini membutuhkan regulasi yang bijak. Pemerintah kota dan negara perlu hadir, bukan untuk menghambat inovasi, tetapi memastikan perlindungan konsumen dan pekerja, serta mencegah monopoli oleh segelintir perusahaan teknologi.

Tanpa regulasi adil, ekonomi berbagi bisa menjadi bumerang: merugikan masyarakat, menekan pekerja, dan memperlebar kesenjangan sosial. Sebaliknya, dengan kebijakan tepat, ekonomi berbagi dapat menjadi jalan keluar atas mahalnya biaya hidup di kota besar.

Pada akhirnya, ekonomi berbagi bukan sekadar tren sesaat, melainkan refleksi perubahan mendasar dalam cara hidup di perkotaan. Mungkin suatu hari, generasi berikutnya akan lebih akrab dengan berbagi akses ketimbang kepemilikan penuh. Dan di situlah wajah baru kota akan terbentuk, kota yang bertahan bukan karena siapa memiliki paling banyak, tetapi siapa yang paling cerdas memanfaatkan akses bersama. (**)

Penulis: Faruq Ansori

Editor: Toto Budiman dan Glancy Verona

Ilustrasi by AI


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca