Pemikiran Kiai Achmad Shiddiq Untuk Memertahankan Ukhuwah

Surabaya – 1miliarsantri.net : Karakter tawassuth (moderat), tawazun (paralel, keseimbangan), i’tidal (tegak, adil) dan tasamuh (toleran) dalam Ahlussunnah wal Jamaah menjadi sikap yang selalu dibawa Nahdlatul Ulama dalam bermasyarakat. Segala bentuk perpecahan dalam tubuh Islam di Indonesia atau kenegaraan sejatinya menunjukkan kurangnya pemahaman akan sikap dari karakter di atas. Perbedaan para pemimpin sangat bisa dimengerti, namun perpecahan yang timbul darinya adalah bentuk ketiadaan kesadaran akan satunya misi, yakni persatuan umat. Ragam jalan yang ditempuh menuju suatu tujuan haruslah disadari sebagai keniscayaan. Sebagaimana ikhtilaful a’immah rohmatul ummah (perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi ummat). Sikap para pemimpin atau pemuka agama dalam melihat perbedaan kepentingan, ideologi, dan hukum haruslah berdasarkan kebijaksanaan agar umat mendapatkan ketentraman dan tidak kehilangan arah. Belajar dari rentangan sejarah akan ragam segala bentuk konflik, NU selalu hadir di tengah umat sebagai organisasi masyarakat muslim terbesar di Indonesia memanggul tanggung jawab umat yang kompleks. Konflik dalam internal Islam atau antar umat atau antar suku bangsa atau lainnya bukan hal yang terjadi sekali dua kali di Indonesia. Indonesia dalam sejarahnya menyimpan rentetan panjang dan kelam akan hal tersebut. Melihat realitas tersebut terdapat jembatan persaudaraan yang membentang dan menyambungkan lintas entitas. Jembatan tersebut adalah ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa-setanah air), ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia). Ketiga gagasan cemerlang ini adalah sumbangsih besar KH Achmad Siddiq (Rais Aam 1984-1991) yang tercantum dalam makalahnya yang berjudul Ukhuwwah Islamiyyah dan Kesatuan Nasional: Bagaimana Memahami dan Menerapkannya. Makalah ini diperkenalkan beliau dalam pidatonya pada acara Munas NU di Pondok Pesantren Ihya’ Ulumuddin Kesugihan Cilacap Jawa Tengah pada 1987. KH Abdul Muchit Muzadi menyebut bahwa banyak kritik bernada sinis ketika gagasan tersebut dilayangkan Kiai Achmad Siddiq. Ketika pertama kali al-Maghfurlah KH Achmad Shiddiq mencanangkan hal ini, banyak kritik bernada sinis. Bahkan dengan gagasan beliau ini seakan-akan mereka menganggap bahwa beliau terlalu mengada-ngada, melakukan penambahan yang tidak perlu, bahkan ada juga yang menuduh beliau berlebih-lebihan “mendekati” kaum nonmuslim. Kalangan ini cenderung menyatakan bahwa gagasan tersebut “mengurangi” kadar-kadar ukhuwah islamiyyah atau persaudaraan sesama muslim. Meski demikian, setidaknya KH Achmad Shiddiq telah berhasil membuat para kiai NU untuk menyepakati pernyataan tentang fanatisme agama. Bahkan dalam makalahnya itu ia berhasil meletakkan dasar saling pengertian antara umat Islam dan umat agama lain. (Andre Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, [Yogyakarta, LKiS: 2013,], cetakan ke-3, halaman 340-347). Gagasan Trilogi Ukhuwah KH. Achmad Siddiq tentu tidak berangkat dari kehampaan, melainkan dengan tujuan menata hubungan manusia dalam perspektif Islam. Ulama yang produktif tersebut telah melihat dengan kesadaran penuh bahwa ada gejolak yang timbul dengan berbagai bentuk. Sumbangsih besar KH. Achmad Siddiq mendapatkan relevansinya dewasa ini. Relevansi ini semakin menegaskan ketidakberesan hubungan antar individu atau antar kelompok atau antar umat. (yat)

Read More

As Syasi Pembuat Kunci Terkecil Yang Dikucilkan

Jakarta – 1miliarsantri.net : Dahulu ada seorang yang sangat ahli membuat kunci, bernama as-Syasi. Dia sangat terkenal di kota Marwa karena mampu membuat kunci yang sangat kecil hanya seberat satu Daniq. Satu daniq sama dengan 800 miligam. Kunci yang sangat kecil. Berkat karya nya ini, seluruh penduduk kota kagum dan memuji kunci itu. Kabar itu kemudian didengar oleh Abu Bakar, seorang lelaki paruh baya berusia 40 tahun. Lalu Abu Bakar membuat kunci yang yang beratnya empat kali lebih kecil dari kunci yang paling terkenal di kota Marwa itu. Dia pamerkan kunci kecil itu, dan orang-orang hanya memnganggap kunci itu bagus, tapi kabarnya tidak seviral kunci milik as-Syasi. Abu Bakar bergumam: Lihatlah segala sesuatu perlu kepada nasib. As-Syasi membuat kunci yang kecil dan kabar kehebatannya tersebar ke seluruh penjuru kota, aku membuat kunci yang empat kali lebih kecil dari kuncinya, tapi tak seorang pun yang menyebutnya. Lalu seorang menyahut, “Sebutan, reputasi dan kedudukan itu, hanya didapatkan dengan ilmu, bukan dengan kunci.” Kata itu menyadarkan Abu Bakar, lalu ia mencari syaikh di kota Marwa dan menyampaikan maksudnya. Lalu Syaikh itu menyampaikan ilmu pertama, kalimat pertama dalam kitab Mukhtasar Muzani, “Hadza kitabun Ikhtashartuhu”. ‘Ini adalah sebuah kitab yang telah aku ringkas… ‘ Sepulang ke rumah, Abu Bakar naik ke atas loteng rumahnya dan mengulang-ngulang, “Hadza kitabun Ikhtasartuhu” hingga malam suntuk menjelang fajar. Lalu ia tertidur. Ketika terbangun, Abu Bakar lupa apa yang ia hafalkan, ia sedih, dan malu jika bertemu dengan Syaikhnya. Ketika pagi hari, Abu Bakar keluar ingin pergi mengaji, tiba-tiba tetangganya menegur, “Hei Abu Bakar, tadi malam kami tidak bisa tidur karena mendegar kamu selalu mengulang-ulang: “Hadza kitabun Ikhtasartuhu”. Akhirnya Abu Bakar ingat apa yang dia hafal karena teguran tetangganya. Ketika bertemu dengan gurunya, Abu Bakar menceritakan kejadian itu. Lalu gurunya menasehati, “Jangan biarkan kejadian itu menghalangimu untuk menghafal dan menuntut ilmu, karena kalau kamu terus menerus menghafal dan belajar akan menjadi kebiasaan, kalau sudah jadi kebiasaan akan menjadi mudah.” Abu bakar semakin semangat dan terus fokus dalam ilmu hingga ia menjadi Imam Fikih Syafi’i Model Khurasan yang menulis, mengumpulkan dan membukukan furu’ kitab-kitab Madzhab Imam Syafi’i. Dalam buku-buku Madzhab Syafii Abu Bakar dikenal dengan julukan al-Qaffal as-Shagir, Si pembuat kunci yang kecil. Ia adalah ulama besar madzhab Syafi’i sekelas Abu Hamid al-Isfirayaini dari Irak. As-Syasi pembuat kunci terkenal itu juga ternyata adalah ulama besar; Ahli Fikih, Hadist dan Bahasa Arab. Dalam turast dikenal dengan julukan: al-Qaffal al-Kabir. Syaikh Awwamah mengomentari cerita ini, “Lihatlah pengaruh kata-kata baik dari hati yang ikhlas dan jatuh ke hati yang penuh semangat.” Beliau juga mengomentari keahlian membuat kunci; “Lihatkan dan renungkan betapa tingginya keahlian orang muslim zaman dulu dalam bidang kerajinan tangan”. (pras)

Read More

Keindahan Arsitektur Masjid di Cina

Semarang – 1miliarsantri.net : Di negara Cina / Tiongkok, masjid disebut sebagai Qīng Zhēn Sì (清真寺, Temples of the Pure Truth). Sebutan lainnnya ada lagi, antara lain Huí Huí Sì (回回寺 Hui people’s temple), Lǐ Bài Sì (礼拜寺 Temple of worship), Zhēn Jiào Sì (真教寺 Temple of the True Teaching) or Qīng Jìng Sì (清净寺 “Pure and clean temple”). Arsitektur Islam Cina mencerminkan arsitektur lokal dalam gayanya dimana merupakan kombinasi gaya Cina dan Islam. Namun, di Cina barat masjid lebih menyerupai masjid di Iran dan Asia Tengah dengan menara tinggi, ramping, lengkungan lengkung dan atap berbentuk kubah seperti pada gambar diatas. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Masjid Xiaopiyuan di Xi’an, Shaanxi dibangun pada akhir Dinasti Tang (618–907) dan merupakan salah satu dari empat masjid di Xian pada tahun 1107. Masjid Xiaopiyuan adalah salah satu bangunan Islam paling awal di Xian. Masjid Xiaopiyuan memiliki gaya arsitektur istana tradisional Tiongkok dipadukan dengan unsur Islam dengan empat halaman. Tempat sholat untuk wanita ada tempat khusus yang berada di halaman masjid yang pertama. Ini merupakan hidden gem arsitektur dan seni dari Muslim Hui. Secara tradisional, Muslim Hui berbicara bahasa Cina dan menggunakan karakter Cina. Namun, jika menyangkut masjid, kaligrafi Cina biasanya muncul di luar Masjid, sedangkan di dalamnya menggunakan ayat-ayat Alquran dalam bahasa Arab. Masjid Agung Xi’an (Hanzi: 西安大清真寺) adalah salah satu masjid pramodern terbesar di Tiongkok. Meskipun masjid ini pertama kali dibangun pada tahun 742 M, bentuknya saat ini sebagian besar dibangun pada tahun 1384 M pada masa pemerintahan Kaisar Hongwu dari dinasti Ming. Seperti kebanyakan masjid Cina yang dibangun antara periode Ming dan Qing, Masjid Agung Xi’an memadukan bentuk arsitektur tradisional Cina dengan fungsi Islam. Masjid ini berorientasi ke arah barat ke arah Mekkah. Salah satu fitur penting dari Masjid Agung Xi’an adalah ukiran seluruh Al-Qur’an pada panel kayu. Bagian dalam Masjid didekorasi dengan gaya tradisional Cina. Mi Fu, salah satu ahli kaligrafi paling terkenal dalam sejarah Tiongkok, adalah keturunan Sogdiana. Ada sebuah tablet batu di Masjid Agung Xi’an menunjukkan tulisan tangannya “Hukum Dao membentuk trinitas dengan langit dan bumi.” Muslim Hui lokal menafsirkan “hukum” sebagai ajaran Islam. Saat ini sekitar 30 masjid dan 68.000 Muslim di Xi’an. Masjid Huaisheng 广州怀圣寺 juga dikenal sebagai Masjid Mercusuar, adalah masjid utama di Guangzhou. Dibangun kembali berkali-kali dalam sejarahnya, secara tradisional diperkirakan dibangun lebih dari 1.300 tahun yang lalu pada tahun 627 menjadikannya salah satu masjid tertua di dunia. Fitur yang paling tidak biasa dari Masjid Huaisheng adalah menara runcing setinggi 36 meter di Guangta atau Kwangtah. Meskipun ini berarti “Pagoda Polos” mengacu pada permukaannya yang polos, terkadang juga diartikan sebagai “mercusuar” sehingga masjid ini memiliki nama lain bernama Masjid Mercusuar. Masjid Huaisheng secara tradisional konon dibangun pada tahun 672 oleh Sa’d bin Abi Waqqas, paman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Masjid Niujie adalah Masjid tertua di Beijing, Cina. Ini pertama kali dibangun pada tahun 996 selama Dinasti Liao dan dibangun kembali serta diperbesar di bawah Kaisar Kangxi (memerintah 1661–1722) dari Dinasti Qing. Masjid mengikuti norma gaya arsitektur tradisional Cina. Masjid Niujie memiliki detail interior yang indah dalam gaya Cina Islam. Masjid Agung Shaanxi, juga dikenal sebagai Masjid Dongda, dibangun pada Dinasti Qing. Ini adalah masjid terbesar di Urumqi dan dapat menampung ribuan orang untuk beribadah pada waktu yang bersamaan. Arsitektur masjid menggabungkan bentuk tradisional Cina dengan dekorasi ala Islam. Masjid Hijau, Turpan, Cina terletak di pusat provinsi XinJiang di daerah yang dikenal sebagai “Turpan Depression”, tempat terendah dan terpanas di China. Masjid Agung Jinan Selatan adalah masjid tertua di kota Jinan. Didirikan pada masa dinasti Yuan pada tahun 1295. Sebagian besar bangunan yang ada saat ini didirikan pada masa dinasti Ming pada tahun 1436 – 1492. Gaya masjid ini mirip dengan kuil Cina. Masjid Agung Hohhot 呼和浩特清真大寺 di Distrik Huimin, Hohhot, Cina adalah masjid tertua & terbesar di Mongolia Dalam. Dirancang dengan arsitektur Arab dan Cina. Masjid ini dibangun pada tahun 1693 oleh orang Hui dan direnovasi pada tahun 1789. Masjid Bukui di Qiqihar, Heilongjiang, China dibangun pada masa Dinasti Qing dan terdaftar pada tahun 2006 sebagai Situs Utama yang Harus Dilindungi karena Nilai Sejarah dan Budayanya di Tingkat Nasional. Ini adalah masjid terbesar dan tertua di provinsi ini. Masjid di Zharkent, Kazakhstan ini dibangun oleh seorang arsitek Cina pada tahun 1886 menggunakan kayu dari pohon cemara lokal dan seluruhnya dibangun tanpa paku. Masjid indah ini di Hangzhou, ibu kota Zhejiang. Itu dibangun antara 2012 dan 2016 untuk melayani populasi Muslim kota yang terus bertambah. (hyd)

Read More

Kedubes AS Jalin Kerjasama Dengan Masjid Istiqlal Jakarta, Ciptakan Voice of Istiqlal

Jakarta – 1miliarsantri.net : Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, Sung Y. Kim bersama Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar meresmikan American Space di Masjid Istiqlal, bermitra dengan Voice of Istiqlal (VoIST). Kesepakatan bersama antara Kedubes AS di Jakarta dan Masjid Istiqlal ini bertujuan mempererat hubungan antara masyarakat Amerika Serikat dan Indonesia. Kedubes AS dan Badan Pengelola Masjid Istiqlal menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) untuk memperkokoh kemitraan ini. American Space terbaru milik Departemen Luar Negeri AS ini adalah yang pertama yang terletak di dalam sebuah masjid. American Space terbaru ini menambah jumlah fasilitas sejenis di seluruh Indonesia yang saat ini berjumlah 12 program. Program-program American Spaces memiliki fokus di lima bidang yaitu pembelajaran dan pelatihan guru Bahasa Inggris; konsultasi pendidikan dan promosi studi di Amerika Serikat; jejaring, proyek dan kegiatan alumni; program kebudayaan dan penjangkauan; dan informasi umum mengenai Amerika Serikat. “Fasilitas American Space di Istiqlal ini terbuka untuk siapa saja dan menjadi sarana bagi warga Muslim maupun non-Muslim di Indonesia yang tertarik untuk berdialog dan bekerja sama. Ini akan menjadi wadah bagi komunitas lokal berdiskusi masalah global dan nilai-nilai yang dianut bersama antara masyarakat Indonesia dan AS,” terang Kim kepada media, Selasa (6/5/2023) Sementara itu Imam Besar Nasaruddin Umar mengatakan American Space Voice of Istiqlal menjadi sarana memperkuat hubungan antara Amerika Serikat dan Indonesia. “Kami melihat Istiqlal siap untuk menjadi pusat peradaban Islam, identitas nasional dan simbol kemajuan masyarakat Indonesia yang akan mempromosikan dialog lintas agama dan Islam moderat dengan tujuan untuk memperkuat hubungan antara Timur dan Barat,” katanya. American Space ini menempati ruang yang besar dan fleksibel di dalam perpustakaan masjid dengan koleksi buku dan akses ke sumber informasi penting dan jurnal, dilengkapi dengan komputer, proyektor dan layar yang dapat digunakan masyarakat umum. Fasilitas ini dapat menampung sekitar 40 pengunjung program tatap muka. Kegiatan penjangkauannya akan fokus pada demokrasi, hak asasi manusia, dan keberagaman serta mempromosikan pendidikan dan peningkatan keterampilan untuk pemuda usia 18-35 tahun. Tempat ini juga akan menjadi sarana untuk mempelajari seluk beluk nilai, gagasan, dan budaya Amerika, dan menjadi pusat informasi peluang program pertukaran ke Amerika Serikat. (yuf)

Read More

Jendela Hafshah Binti Umar Yang Selalu Terbuka Selama 1400 Tahun

Madinah – 1miliarsantri.net : Saat anda berada di dalam masjid Nabawi menyampaikan salam langsung kepada Baginda Rasulullah SAW, anda tengah membelakangi sebuah jendela misteri. Jendela itu selalu terbuka dan tak pernah tertutup sejak 1400 tahun yang lalu. Banyak rahasia yang tersimpan di sudut-sudut Masjid Nabawi. Pintu, jendela, tiang, lantai, kubah, ornamen, bahkan warna cat yang dipilih untuk memoles tembok Masjid Nabawi memiliki sejarah dan kisah tersendiri. Setiap detail yang ada di masjid terbesar kedua di dunia ini memiliki cerita yang unik. Sejak masa Nabi SAW, Masjid Nabawi telah melalui serangkaian perluasan dan pembangunan. Seiring dengan bertambahnya para peziarah dari masa ke masa, para penguasa pun selalu memiliki kepedulian yang tinggi terhadap Masjid Nabawi. Para penguasa terus melakukan perluasan dan renovasi agar setiap peziarah dapat terlayani dengan baik saat mengunjungi dan beribadah di masjid ini. Tak seorang pun berani menutup jendela itu. Jendela yang selalu terbuka itu mengabadikan sebuah janji seorang ayah kepada putrinya. Sebagian besar peziarah tak mengetahui mengapa jendela itu selalu terbuka menganga lebar. Jendela ini memiliki beberapa nama. As-Suyuthi menyebutnya ‘Jendela Umar bin al-Khaththab’, sedang Ibnu Katsir menamainya ‘Jendela Keluarga Umar’. Setiap penguasa yang memimpin Masjid Nabawi selalu memperhatikan keberadaan jendela yang terbuka ini. Mereka mempertahankan janji Umar terhadap putrinya Hafshah untuk membiarkan jendela ini selalu terbuka melintasi dari zaman ke zaman. Kisah jendela yang selalu terbuka di belakang Makam Nabi bermula pada saat perluasan Masjid Nabawi yang kedua. Peristiwa itu terjadi pada tahun 17 H. Saat itu jumlah kaum Muslimin meningkat tajam karena meluasnya wilayah kekuasaan Islam atau yang dikenal dengan istilah futuhat. Para peziarah ke Masjid Nabawi melimpah ruah. Masjid Nabawi tak mampu lagi menampung jamaah. Oleh karena itu, Khalifah Umar bin al-Khaththab memprakarsai perluasan masjid. Namun, sang Khalifah menemukan sedikit kendala saat perluasan Masjid Nabawi. Kendala itu ialah keberadaan rumah putri sang Khalifah sendiri, Hafshah Binti Umar. Hafshah adalah Ummul Mukminin, salah seorang istri Baginda Rasul SAW. Rumah Hafshah Binti Umar berada persis bersebelahan (bagian selatan) dengan Makam Nabi. Di tempat itulah para peziarah berhenti untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW. Tempat itu adalah kamar Hafshah. Di tempat itulah Hafshah dahulu menemani Rasulullah SAW saat tidur bersamanya. Namun, untuk kepentingan perluasan, kamar yang penuh kenangan bersama Rasulullah SAW itu harus dirobohkan. Bagaimana cara membujuk Hafshah agar mau merelakan kamar itu untuk perluasan masjid. Maukah Hafshah Binti Umar pindah ke tempat lain, meninggalkan tempat yang penuh kisah bersama Baginda Rasul? Khalifah Umar bin al-Khaththab menemui putrinya Hafshah untuk menyampaikan rencana tersebut. Hafshah menangis sekeras-kerasnya dan menolak untuk meninggalkan rumahnya. Sang Khalifah tak mampu meyakinkan putrinya. Setelah dua hari berlalu, Khalifah Umar kembali menemui sang putri. Namun, Hafshah tetap bersikukuh menolak rencana itu. Ia enggan meninggalkan tempat dahulu ia bersama sang mulia, Rasulullah SAW. Para Sahabat pun mulai berembug untuk mencari cara yang dapat melunakkan hati putri Khalifah Umar. Semua usulan itu ditolak oleh Hafshah. Ia tetap ingin tinggal di kamar yang hanya berbatas tembok dengan Makam Rasulullah SAW. Saat Aisyah, istri Nabi SAW, dan para tokoh Sahabat ikut serta memberikan saran, Hafshah tak bergeming dengan keputusannya. Setelah situasi mereda beberapa malam, datanglah Umar beserta putranya Abdullah menemui Hafshah. Pada pertemuan kali ini hati Hafshah mulai melunak. Ia menerima usulan rencana perluasan Masjid Nabawi mengenai rumahnya. Namun ia mengajukan syarat agar ia bisa menempati kamar saudaranya, Abdullah, yang berada persis di samping kamarnya. Di kamar itu pula, ia meminta dibuatkan jendela yang selalu terbuka agar ia bisa terus memandangi Makam Sang Kekasih, Rasulullah SAW. Jendela itu harus selalu terbuka selamanya. Setelah Hafshah wafat, jendela itu tetap terbuka hingga kini, melalui kurun waktu 14 abad lamanya. Jendela itu menghadap langsung ke Makam Nabi SAW. (dir)

Read More

Pengorbanan dan Perjuangan Nyai Hj. Madichah di wilayah Banten

Jakarta – 1miliarsantri.net : Sejarah kisah perjuangan bangsa Indonesia yang dipelopori oleh kaum perempuan, ternyata sangat menarik untuk diangkat kisah nya, seperti hal nya kisah dua pendekar perempuan Banten, yakni Nyimas Gamparan dan Nyimas Melati. Keduanya adalah dua tokoh yang sangat terkenal di masa itu. Nyimas Gamparan dikenal dalam perang Cikande yang terjadi sekitar 1892 hingga 1830. Nyimas Gamparan dikenal pejuang yang sangat gigih dalam melawan kolonial Belanda. Sementara Nyimas Melati tak kalah heroiknya dalam melawan Belanda. Ia tercatat dalam sejarah perjuangan sebagai pahlawan perempuan dalam merebut kemerdekaan di wilayah Tangerang. Di luar dua tokoh pejuang tersebut, ada satu tokoh lainnya dari Cilegon Banten yang patut dijadikan panutan bagi perempuan-perempuan sekarang ini. Ia adalah Nyi Hj. Madichah, seorang ulama yang memiliki ilmu agama yang mumpuni. Nyi Madichah memiliki nama panjang Nyi Hj. Madichah binti KH. Abdul Latief. Ia adalah salah satu putri KH Abdul Latief dari penikahan istri kedua yakni Nyi Hj. Rahmah binti KH. Anhar. KH. Abdul Latief mendapatkan sokongan moral dan materil dari mertuanya dalam membangun pesantren, tarbiyatul athfal dan majelis taklim. Sosok Nyi Madichah sangat dikenal di Cilegon karena aktivitasnya memberikan bimbingan melalui majelis taklim ibu-ibu dan pengajaran di madrasah serta pesantren. Kiprah Nyi Madichah dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu kiprah ke dalam dan ke luar. Kiprah ke dalam adalah aktivitasnya mengasuh 300 santriwati dari pagi hingga malam. Sedangkan kiprah ke luar yaitu kegiatannya dalam mengisi pengajian di berbagai majelis taklim. Nyi Madichah juga mempunyai pemikiran nasionalisme yang kuat. Pemikirannya tersebut tampak dalam aktivitasnya di Muslimat NU. Namun sulit menemukan jejak pemikiran nasionalisme karena sumber yang terbatas. Sedangkan jejak pemikirannya tentang Islam Nusantara dapat ditelusuri dalam karya-karyanya yang bertulisan Arab dengan bahasa Nusantara. Dosen tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten, Nihayatul Maskuroh dalam artikelnya berjudul “Nyi Hj. Madichah: Ulama Perempuan Cilegon dan Tradisi Maulid Fatimah menyebut Nyi Madichah merupakan ulama perempuan berpengaruh di Banten. Menurut Maskuroh tak ada catatan secara khusus yang menjelaskan kapan dan di mana Nyi Madichah dilahirkan. Hanya saja terdapat disebutkan bahwa KH Badul Latief menikah dengan Nyi Rahmah sepulang dari perjalanan ibadah haji di Makkah. KH Abdul Latief berada di Makkah selama 6 tahun dan berada di sana sejak tahun 1912 lalu kembali ke Indonesisa pada 1918. Dalam rentan waktu antara 1918 sampai 1924, KH Abdul Latief memberikan pengajian kepada masyarakat di Cibeber, Cilegon. Banyak masyarakat yang tertarik untuk mengikuti pengajiannya, bahkan dari masyarakat luar Banten, tapi juga dari daerah luar lain sering mengikuti pengajian nya. Sehingga tahun 1924, KH Abdul Latief mendirikan pesantren atas sumbangan mertuanya. Dari pernikahannya dengan Nyi Rahmah, hanya disebutkan bahwa dikaruniai empat orang anak yakni Nyi Hj. Ma’ajah, Nyi Hj. Madichah, KH. Ahmad Najiullah Latiefie dan KH. Ridwan Abdul Latief. “Dari penjelasan tersebut, dapat dijelaskan bahwa Nyi Hj. Madichah merupakan putri kedua dari KH. Abdul Latief. Nyi Hj. Madichah lahir 4 tahun kemudian setelah pernikahan kedua orang tuanya pada penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda,” tukas Maskuroh. Dari data tersebut, Maskuroh memperkirakan Nyi Madichah lahir pada tahun 1922. Menurutnya, pada waktu itu belum banyak masyarakat yang mengenyam pendidikan formal kecuali dari kalangan bangsawan. Nyi Madichah waktu itu hanya mengenyam pendidikan nonformal yaitu di pesantren orang tuanya. Akibatnya, ia disebutkan tak bisa menulis latin dan hanya bisa menulis tulisan Arab. Ayah Nyi Madichah merupakan sosok yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangannya. Mulai dari di pesantren hingga kegiatan majelis taklim, ia mendapatkan ilmu dari ayahnya. Ia selalu ikut kegiatan majelis taklim ayahnya baik di daerah di Cibeber maupun di luar Cibeber. Materi yang diberikan oleh ayahnya tentang pemikiran madzhab as-Syafi’yah yaitu berhaluan dengan ahlusunnah wal jama’ah. Dari ilmu-ilmu yang didapatkan dari ayahnya tersebut, Nyi Madichah kemudian meneruskan peran ayahnya tersebut baik di madrasah maupun di majelis taklim. Sekitar tahun 1970-an ia telah membina santriwati sekitar 300 orang. Ia lalu dinikahkan dengan salah satu putra dari murid ayahnya, KH Ahmad Matin, yakni KH Arifudin dari Jombang. Kendati sudah menikah dan sibuk mengurus keluarga, Nyi Madichah tetap tidak meninggalkan aktivitas mengajarnya di pesantren dan di majelis-majelis taklim. (her)

Read More

Mbah Dahlan dan Mbah Hasyim Sama-sama Keturunan Walisongo

Jakarta – 1miliarsantri.net : Hampir seluruh masyarakat sudah mengenal tentang Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dalam sejarah perjalanan organisasi tersebut berdiri telah banyak sumbangsih yang mereka berikan untuk agama, bangsa dan negara. Namun fakta di lapangan masih ada pihak-pihak yang berusaha membenturkan dua organisasi ini karena adanya beberapa perbedaan pendapat. Sejatinya tak perlu ada pihak-pihak yang berusaha memperkeruh keadaan dengan membenturkan antara Muhammadiyah dan NU. Sebab kedua pendiri organisasi tersebut yakni KH Ahmad Dahlan (Mbah Dahlan) dan KH Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) juga sama-sama keturunan Walisongo. Mereka juga belajar kepada guru yang sama di antaranya kepada Kiai Soleh Darat, Mbah Kholil Bangkalan Madura. Ketika berada di Makkah, Mbah Dahlan dan Mbah Hasyim juga berguru kepada guru yang sama yakni Syeikh Ahmad Khatib. Walisongo adalah Sembilan ulama yang berjasa besar dalam penyebaran Islam di Jawa. Di antara Sembilan wali tersebut, dua di antaranya yakni Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim) dan Sunan Giri ( Raden Paku) keturunannya kelak menjadi berkah bagi Indonesia yakni Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari. Berikut silsilah Mbah Dahlan dan Mbah Hasyim Mbah Dahlan Keturunan Sunan Gresik dengan urutan silsilah sebagai berikut: KH. Ahmad Dahlan ibn KH. Abu Bakar ibn KH. Muh. Sulaiman ibn Kiai Murtadhlo ibn Kiai Ilyas ibn Demang Juru Kapindo ibn Demang Juru Sepisan ibn Maulana Sulaiman ibn Maulana Fadhilah ibn Maulana Ainul Yakin ibn Maulana Ishak ibn Maulana Malik Ibrahim. Sunan Gresik adalah Walisongo paling senior dan paling awal berdakwah di Jawa. Dari catatan As-Sayyid Bahruddin Ba’lawi dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait , Maulana Malik Ibrahim adalah seorangh sayyid atau keturunan Nabi Muhammad. Urutannya sebagai berikut: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim ibn As-Sayyid Barakat Zainal Alam ibn As-Sayyid Husain Jamaluddin ibn As-Sayyid Ahmad Jalaluddin ibn As-Sayyid Abdullah ibn As-Sayyid Abdul Malik Azmat Khan ibn As-Sayyid Alwi Ammil Faqih ibn As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath ibn As-Sayyid Ali Khali’ Qasam ibn As-Sayyid Alwi ibn As-Sayyid Muhammad ibn As-Sayyid Alwi ibn As-Sayyid Ubaidillah ibn Al-Imam Ahmad Al-Muhajir ibn Al-Imam ‘Isa Ar-Rumi ibn Al-Imam Muhammad An-Naqib ibn Al-Imam Ali Al-Uraidhi ibn Al-Imam Ja’far Shadiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Ali Zainal Abidin ibn Al-Imam Al-Husain ibn Ali bin Abi Thalib suami dari Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah Muhammad Rasulullah SAW. Mbah Hasyim Juga Keturunan Sunan Giri Nasab Mbah Hasyim tersambung ke Sunan Giri dari garis ibu yaitu Halimah sebagai keturunan kedelapan Jaka Tingkir atau Sultan Pajang. Jaka Tingkir sendiri merupakan putra dari Raden ‘Ainul Yaqin atau Sunan Giri dengan nama lain Raden Paku. Dari ayah Sunan Giri, Syekh Maulana Ishaq Al-Maghribi silsilah nasabnya tersambung ke Rasulullah SAW. Syekh Maulana Ishaq Al-Maghribi merupakan seorang sayyid atau keturunan Nabi Muhammad dari jalur Husein bin Ali ibn Abi Thalib Ra, suami dari putri Nabi Muhammad Saw, Fathimah Az-Zahra Ra. Jadi sudah tidak perlu diperdebatkan lagi jika antara Mbah Hasyim dengan Mbah Dahlan sebenarnya masih tersambung saudara dari satu garis keturunan walisongo. Setidaknya hal ini bisa menjadi kajian bagi seluruh masyarakat agar tidak memicu perselisihan yang seringkali terjadi. (fq)

Read More

Mengetahui Lebih Dalam Mengenai Hisab dan Rukyat

Jakarta – 1miliarsantri.net : Hisab (hitungan) adalah metode yang terbentuk dari Rukyat (observasi). Hisab telah digunakan sebagai cara penentuan jadwal shalat, arah kiblat, waktu gerhana matahari dan bulan, serta Kalender Hijriah. Namun, dalam penentuan Kalender Hijriah, Hisab masih ditentang saat menentukan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Hari pertama (awal bulan) dalam Kalender Bulan ditandai dengan posisi ijtimak (konjungsi) bulan, yaitu ketika bulan berada di antara matahari dan bumi. Lawan dari konjungsi adalah oposisi bulan, yaitu di tengah bulan (saat bulan purnama) ketika bumi berada di antara matahari dan bulan. Bulan mengelilingi bumi dengan orbit yang sedikit miring, sehingga konjungsi dan oposisi bulan sering terjadi dalam posisi matahari, bulan, dan bumi tidak sejajar sempurna. Jika konjungsi terjadi dalam posisi matahari, bulan, dan bumi sejajar sempurna, maka dapat memunculkan gerhana matahari. Begitu pula halnya dengan oposisi bulan. Jika oposisi terjadi dalam posisi matahari, bumi, dan bulan sejajar sempurna, maka dapat memunculkan gerhana bulan. Konjungsi bulan terjadi di siang hari dan tidak terlihat dengan mata telanjang, kecuali saat siluetnya menghadap matahari ketika terjadi gerhana matahari. Setelah di siang hari itu terjadi konjungsi, akan muncul garis sabit (hilal) tipis samar dan sebentar sebelum matahari terbenam (maghrib), sehingga malam itu menjadi awal (hari pertama) bulan baru. Berdasarkan Hisab, konjungsi awal Syawal 1444 H lalu misalnya, terjadi pada 20 April 2023 (29 Ramadan 1444 H). Konjungsi ini bersamaan dengan gerhana matahari yang dapat dilihat di sebagian wilayah Indonesia. Hisab Urfi adalah metode perhitungan numerik yang menggunakan rata-rata perhitungan terhadap jumlah hari dalam 1 bulan (29 atau 30 hari). Sistem penanggalan Hisab Urfi dikategorikan sebagai aritmathical calendar karena memakai aritmatika dasar (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian) terhadap fenomena astronomi. Sistem aritmathical calendar ini pula yang digunakan oleh Kalendar Matahari (seperti Kalender Masehi) yang menggunakan aritmatika dasar terhadap perhitungan gerak semu matahari. Hisab Urfi antara lain digunakan oleh Tarekat Naqsabandiyah dengan metode yang dinamakan Almanak Hisab Munjid. Karena hanya memakai perhitungan aritmatika dasar, Hisab Urfi dapat berbeda 2 hari dari konjungsi bulan. Seperti misalnya Tarekat Naqsabandiyah di Deli Serdang yang memulai puasa Ramadan pada 21 Maret 2023, sementara umat Islam mainstream memulai puasa Ramadan pada 23 Maret 2023. Hisab Urfi inilah yang sebagian ulama di masa lalu menyebut penggunanya sebagai orang yang rusak akal dan agamanya. Sedangkan Hisab Hakiki adalah metode perhitungan astronomis yang menggunakan ilmu ukur segitiga bola (spherical trigonometry) terhadap pergerakan real bulan. Sistem penanggalan yang dihasilkan Hisab Hakiki dikategorikan sebagai astronomical calendar karena mengacu pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Metode Hisab Hakiki antara lain digunakan oleh ormas Muhammadiyah dengan kriteria yang dinamakan Hisab Hakiki Wujudul Hilal. Rukyat Ikhtilaful Mathali’ dan Wihdatul Mathali’ Ikhtilaful Mathali’ adalah perbedaan tempat terbit hilal. Jika satu tempat belum melihat hilal, padahal tempat lain sudah, maka tempat yang belum melihat hilal tidak boleh memulai puasa keesokan harinya. Umumnya kalangan Islam tradisionalis menganut Ikhtilaful Mathali’. Jika di Indonesia belum melihat hilal (walaupun di negara lain sudah) maka menurut mereka, Indonesia tidak bisa memulai puasa. Sedangkan Wihdatul Mathali’ adalah kesatuan tempat terbit hilal, yaitu umat Islam (di seluruh dunia) dapat mulai berpuasa jika hilal terlihat di satu tempat walaupun ada tempat lain yang belum melihatnya. Rukyat Wihdatul Mathali’ antara lain ditetapkan dalam Mu’tamar Tauhid at-Taqwim al-Hijry ad-Dauly di Turki pada 2016. Jika Rukyat dilakukan berdasarkan Wihdatul Mathali’ maka akan sesuai dengan Hisab Hakiki. Karena konjungsi bulan terjadi hanya 1 hari dalam setiap bulan, bukan 2 hari. Saat konjungsi bulan, posisi kesejajaran bulan dengan negara di permukaan bumi akan berbeda setiap bulannya. Sehingga ada negara yang bisa melihat hilal, dan ada yang tidak. Karena melihat hilal adalah sarana, sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui terjadinya ijtimak, maka saat hilal terlihat di suatu tempat, berarti konjungsi sudah terjadi dan awal bulan dapat dimulai. Contohnya awal Ramadan 1444 H, ijtimak terjadi pada 22 Maret 2023. Saat itu, hilal bisa terlihat jelas di benua Amerika serta sebagian Eropa dan Afrika. Namun, di wilayah Pasifik dan sebagian Australia, hilal hanya bisa dilihat dengan alat bantu. Ketika hilal tidak terlihat di sebagian Australia, sejatinya ijtimak sudah terjadi. Sehingga, umat Islam di sebagian wilayah Australia yang tidak melihat hilal tetap dapat mulai berpuasa keesokan harinya. Sedangkan untuk awal Syawal 1444 H, ijtimak terjadi pada 20 April 2023. Saat itu, hilal akan terlihat jelas di sebagian wilayah Pasifik, dan akan terlihat di sebagian benua Amerika jika langit dalam kondisi baik. Namun, hilal akan sulit terlihat di Indonesia. Karena itu, pengguna Rukyat Ikhtilaful Mathali’ akan menggenapkan bulan menjadi 30 hari, sehingga 1 Syawal bukan di 21 April tetapi mundur ke 22 April. Kesimpulan Pertama, penggunaan Hisab sudah diisyaratkan dalam Al Qur’an. اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ “Matahari dan bulan (beredar) sesuai dengan perhitungan.” [QS. Ar Rahman: 5] هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” [QS. Yunus: 5] Kedua, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan Hisab karena saat itu di kalangan umat Islam belum ada yang bisa mempelajari ilmu Hisab Hakiki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ “Kita ini adalah umat yang ummi, yang tidak biasa menulis dan juga tidak menghitung. Satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, yaitu terkadang dua puluh sembilan, dan terkadang tiga puluh hari.” [HR. Bukhari no. 1780 dalam aplikasi Lidwa; no. 1913 dalam Kitab Fathul Bari] Ketiga, hadits yang menjadi dalil Rukyat Ikhtilaful Mathali’ terjadi ketika komunikasi antar wilayah berlangsung tidak dalam satu hari yang sama. Kuraib di Syam melihat hilal awal Ramadan pada malam Jum’at, dan Ibnu Abbas di Madinah melihatnya pada malam Sabtu, sehingga penduduk Syam dan Madinah memulai Ramadan di hari yang berbeda. [HR. Muslim no. 1819 dalam aplikasi Lidwa; no. 1087 dalam Kitab Syarh Shahih Muslim]. Oleh karena itu, Rukyat Ikhtilaful Mathali’ digunakan jika: Saat ini, 2 kondisi di atas dapat terjadi jika ada sekolompok muslim yang tidak mengetahui ilmu ukur segitiga bola, terdampar di pulau yang tidak memiliki komunikasi dengan dunia luar. Sehingga tidak masalah bagi mereka jika…

Read More

Keunikan Sang Qadhi Iyadh: Adab Ulama terhadap Istrinya

Jakarta – 1miliarsantri.net : Syaikh Muhammad Hammad Al-Shiqili Rahimahullah, ulama Fes, Maroko, suatu hari menceritakan kisah unik namun penuh hikmah tentang Qadhi Iyadh Rahimahullah – Imam ahli hadith yang juga menguasai banyak ilmu lainnya seperti sejarah, fiqh, nahwu, bahasa, dan ilmu nasab — kepada Yusuf Abjik Assusi yang ia ceritakan dalam kitabnya. Suatu hari Qadhi Iyadh sedang mengunjungi beberapa temannya yang merupakan ulama ahli fiqh (fuqaha). Kemudian ia bertemu salah seorang dari mereka yang telah menyelesaikan kitabnya. Lalu Qadhi Iyadh kagum saat sekilas melihat karya temannya tersebut, sehingga ia memohon untuk meminjamkan padanya sebentar agar dapat membacanya dengan sempurna. Temannya, sang ahli fiqh, merespon dengan menegaskan bahwa kitab tersebut adalah satu-satunya naskah yang ia punya, jika kitab tersebut hilang maka ia tidak memiliki penggantinya. Mendengar hal itu, Qadhi Iyad menenangkan temannya tersebut dengan berjanji bahwa ia akan menjaga kitab tersebut dengan baik serta mengembalikannya langsung pada keesokan harinya. Qadhi Iyad dengan girang membawa kitab tersebut pulang ke rumah. Pada hari itu, ia memilih untuk tidak tidur semalaman demi membaca dan memperdalam karya temannya tersebut. Sedangkan ia memiliki istri yang mengajaknya berbincang namun sama sekali ia tak menghiraukannya saking asyiknya membaca. Pagi harinya, saat adzan Subuh, Qadhi Iyadh pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah serta mengajarkan ilmu hingga siang hari. Selepasnya mengajar, ia bergegas pulang ke rumah dan setibanya disana, ia mencium aroma yang sangat asing lantaran belum pernah mencium aroma demikian sebelumnya. Sang Qadhi bertanya pada istrinya: “Wahai istriku, menu makan siang apakah yang telah kau siapkan untukku?” Sang istri menjawab: “nanti kau akan mengetahuinya sendiri.” Ketika sang istri meletakkan talam untuk menu hidangannya, sang Qadhi menemukan kitab temannya yang sedang ia pinjam tersebut hangus dibakarnya. Istrinya membakar kitabnya karena emosi dan amarah yang tak tertahan akibat suaminya telah mengabaikannya semalaman penuh demi membaca kitab tersebut. Sang Qadhi mengambilnya disertai rasa sedih atas apa yang dilaluinya. Tanpa pikir Panjang, Sang Qadhi bergegas mengambil pena dan kertas kemudian mulai menulis segala apa yang ia ingat dari bacaannya semalam. Setelah selesai, ia langsung bergegas pergi membawa tulisannya itu menuju rumah sang ahli fiqh seraya berkata: “bacalah kitab itu, adakah sesuatu yang kurang di sana?” Temannya kemudian membaca, membolak-balikkan halaman perhalaman hingga selesai lalu menjawab “tidak, tidak ada yang kurang sama sekali!” Qadhi Iyadh dengan ingatannya yang sangat kuat berhasil menghafal dengan sempurna seluruh apa yang ia baca dalam waktu satu malam. Demikianlah salah satu kisah sabarnya para ulama menghadapi amarah istrinya. Sang Qadhi memilih diam dan melakukan aksinya tanpa memperpanjang masalah. Sebab di sisi lain, ia telah melakukan kesalahan karena abai dengan istrinya. Muamalah dalam rumah tangga juga memerlukan adab untuk mencapai ridha Allah. Imam al-Qurthubi pernah menuliskan di kitabnya al-Jami’ Li Ahkam al-Quran: janganlah murka pada istri yang kemurkaannya dapat membawanya pada perceraian. Lebih baik seseorang memafkan kesalahan-kesalahan istrinya dengan kebaikan-kebaikan yang telah istrinya perbuat, tak mengindahkan apa yang ia tak sukai dari istrinya dengan mengutamakan sesuatu yang ia sukai dari istrinya. (yus)

Read More

Guru Besar Wanita Pertama Indonesia

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Berbicara tentang kiprah perempuan dalam sejarah perjalanan Indonesia tak dapat dipisahkan dengan kantong-kantong organisasi perempuan. Sebab dari situ lahir kartini-kartini penting yang berpengaruh besar terhadap kehidupan organisasi, secara khusus ataupun secara luas kepada masyarakat umum. Prof Siti Baroroh Baried, perempuan kelahiran Yogyakarta pada 23 Mei 1923 adalah sosok penting yang tercatat dalam sejarah perjalanan organisasi Aisyiyah maupun prestasinya di bidang akademik. Siti Baroroh sangat menonjol di bidang akademik. Semangatnya untuk belajar sangat tinggi waktu itu. Ia bahkan mempunyai semboyan tentang semangat mencari ilmu yaitu “Hidup saya harus menuntut ilmu”. Semboyan tersebut ia ucapkan di hadapan kedua orang tuanya. Ayah dia adalah Tamimi bin Dja’far yang merupakan kemenakan Siti Walidah, istri KH Ahmad Dahlan. Sehingga tak heran apabila ia mencapai prestasi akademiknya hingga puncak yaitu perempuan pertama di Indonesia yang menjadi guru besar. Bahkan pencapaian tersebut ia dapatkan ketika baru berusia 39 tahun. Riwayat pendidikannya ia mulai di SD Muhammadiyah. Lalu ia melanjutkan berturut-turut di MULO HIK Muhammadiyah dan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Keduanya merupakan tingkat sarjana. Pada tahun 1953 sampai 1955, ia pergi ke Kairo, Mesir untuk belajar bahasa Arab. Pada masa itu, pergi ke luar negeri untuk menempuh pendidikan merupakan sesuatu yang langka. Baru pada 1964 ia diangkat sebagai guru besar ilmu Bahasa Indonesia UGM. Karena saat pengangkatan guru besarnya masih usia muda, maka ia pun mendapatkan sorotan banyak pihak waktu itu. Ia mengajar di fakultas sastra sejak 1949 dan pernah menjadi dekan fakultas sastra UGM selama dua periode yaitu tahun 1965-1968 dan 1968-1971. Ia bahkan menjabat sebagai Ketua Jurusan Asia Barat Fakultas Sastra UGM tahun 1963-1975. Ia mempunyai banyak karya yang dapat dinikmati baik dibidang filologi, kebudayaan, pranata, sejarah dan bahasa. Diantara karyanya adalah Bahasa Arab dan Perkembangan Bahasa Indonesia (1970), Pengantar Teori Filologi (1985), dan Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia (1985). Abd. Rahim Ghazali dalam artikelnya dalam Geotimes mengatakan bahwa jika Kartini dimaknai sebagai perjuangan secara kolektif bukan individua, maka Aisyiyah termasuk salah satu Kartini tersebut. Di dalam Aisyiyah tersebut, nama Siti Baroroh adalah srikandi-srikandi dalam Kartini perjuangan kolektif tersebut. Selain Siti Baroroh, terdapat srikandi lainnya yang tak kalah peranannya dalam organisasi maupun perjuangan perempuan. Sebut saja Nyai Walidah Dahlan sebagai tokoh utama, Siti Bariyah, Siti Dawimah, Siti Busyro, Siti Dawingah, Siti Badilah Zuber, dan Siti Dalalah. Selain dikenal perjuangannya di bidang pendidikan, namun Siti Baroroh juga aktif diberbagai organisasi. Di Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), ia juga terlibat aktif. Di Aisyiyah sendiri ia pernah menjabat sebagai Pimpinan Cabang Aisyiyah Gondomanan sampai Pimpinan Pusat Aisyiyah. Ia merupakan perempuan yang menjabat sebagai ketua PP Aisyiyah paling lama selama lima periode dari tahun 1965 hingga 1985. Sebelumnya ia menjabat sebagai Ketua Biro Hubungan Luar Negeri, Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan serta Ketua Bagia Paramedis. Berkat kepemimpinannya, Aisyiyah menjadi organisasi perempuan yang diperhitungkan di luar negeri. Sehingga banyak akademisi maupun penulis yang mempelajari organisasi ini. Ia menikah dengan seorang dokter spesialis bedan yaitu dr. Baried Ishom. Ia menikah dengannya sebelum gelar guru besarnya diperolehnya. Suami dari Siti Baroroh kemudian menjabat sebagai Direktur RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Dari pernikahanya tersebut dikaruniai dua orang anak satu putra dan satu putri. Ia meninggal pada hari Ahad 9 Mei 199. Ketika ia mangkat, Siti Baroroh menjabat sebagai pimpinan umum Majalah Suara Aisyiyah dan penasehat PP Aisyiyah. (mif)

Read More