Peran Ulama dalam Melawan Ketidakadilan Pemerintahan: Bersuara atau Diam?

Dengarkan Artikel Ini

Bogor – 1miliarsantri.net : Dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, ulama selalu hadir sebagai penuntun umat sekaligus penegak keadilan. Mereka tidak hanya berperan dalam ibadah, tapi juga berani turun tangan ketika rakyat menghadapi penindasan.

Kini, di tengah dinamika politik Indonesia yang sering diwarnai konflik kepentingan, praktik korupsi, hingga kebijakan yang tidak pro-rakyat, pertanyaan penting kembali muncul, apakah ulama sebaiknya bersuara lantang melawan ketidakadilan, atau justru memilih diam?

Sejak masa kolonial, ulama menjadi benteng terakhir rakyat dalam menghadapi ketidakadilan. Salah satunya KH Hasyim Asy’ari dengan resolusi jihadnya menolak penjajahan, KH Ahmad Dahlan melawan arus kebodohan lewat pendidikan, hingga Buya Hamka yang berani mengkritik rezim Orde Lama, semuanya menunjukkan bahwa ulama tidak hanya mengajarkan bab ibadah, tetapi juga menjaga agar kekuasaan tidak keluar dari koridor keadilan.

Peran ini masih relevan hingga kini. Di tengah maraknya korupsi, kontroversi regulasi, hingga politik uang, ulama tetap diharapkan sebagai penyeimbang. Mereka menegaskan bahwa politik sejati adalah amanah, bukan ajang perebutan kepentingan. Suara ulama juga punya legitimasi moral yang kuat, sering kali masyarakat lebih percaya ucapan seorang kiai dibanding politisi.

Bahkan, ketika publik gamang menghadapi kebijakan kontroversial seperti kenaikan harga kebutuhan pokok atau isu hukum yang timpang, ulama hadir memberi arah dan mengingatkan pemerintah agar tidak abai terhadap penderitaan rakyat.

Baca juga: Dari Resolusi Jihad ke Revolusi Adab: Ketika Layar Televisi Menguji Martabat Santri

Lalu Bagaimana Mereka Menjalani Peran; Diam atau Bersuara?

Sikap ulama terhadap pemerintah memang beragam. Sebagian memilih jalur vokal, menentang kebijakan zalim secara terbuka di mimbar, tulisan, maupun media. Mereka percaya diam hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat.

Kritik ulama pada isu kenaikan harga, pengekangan kebebasan berpendapat, atau praktik oligarki adalah bentuk keberanian moral yang jarang dimiliki tokoh lain. Ulama vokal berfungsi sebagai alarm sosial, menggugah nurani penguasa sekaligus menguatkan suara rakyat kecil.

Namun, ada juga ulama yang memilih jalan berbeda. Diam mereka bukan tanda ketakutan, melainkan strategi. Mereka membangun pendidikan, ekonomi, dan ketahanan sosial umat agar bisa mandiri menghadapi ketidakadilan.

Menurut pandangan ini, kritik frontal terkadang menimbulkan kegaduhan, sementara perubahan nyata lahir dari penguatan akar rumput. Diam mereka juga tidak sepenuhnya hening, tapi sering kali tersirat dalam doa, nasihat, atau simbol-simbol dakwah yang sarat makna. Dengan cara itu, ulama tetap melawan, hanya saja lewat jalur yang lebih halus dan berjangka panjang.

Kedua pilihan ini kerap menimbulkan salah paham. Ulama yang bersuara lantang dianggap politis, sementara ulama yang diam dituding tidak peduli. Padahal, keduanya sama-sama bagian dari perjuangan. Bersuara maupun diam hanyalah strategi, yang membedakan adalah metode, bukan tujuan. Yang terpenting adalah konsistensi ulama untuk berpihak pada umat, menjaga agar kekuasaan tidak kebablasan, dan mengingatkan rakyat bahwa suara keadilan tidak boleh padam.

Baca juga: Ini Fakta Feodalisme di Pesantren? Benarkah Seperti di Zaman Kolonial?

Mengapa Peran Ulama Masih Krusial?

Politik tanpa kontrol moral akan cenderung liar. Ulama hadir sebagai pengingat bahwa kekuasaan harus berpihak pada keadilan. Suara mereka baik lewat kritik, pendidikan, maupun gerakan sosial tetap menjadi penyeimbang dalam iklim politik yang sering tidak sehat. Ketika ulama berani bersuara, umat tidak merasa sendirian. Dan ketika mereka memilih strategi diam, umat belajar kesabaran dan kemandirian.

Bersuara atau diam, keduanya adalah strategi. Namun yang terpenting adalah konsistensi ulama berpihak pada kebenaran dan rakyat. Dalam kondisi politik yang rawan kepentingan, masyarakat membutuhkan ulama yang mampu menjaga nurani bangsa. Karena tanpa ulama, suara keadilan akan mudah tenggelam di tengah hiruk-pikuk kekuasaan.

Penulis : Salwa Widfa Utami

Sumber foto: Ilustrasi

Editor : Toto Budiman dan Iffah Faridatul Hasanah


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca