Memiliki 16 Anak Kandung Hafiz semuanya

Kolaka Utara – 1miliarsantri.net : Siapa yang tidak bahagia dan merasa bangga memiliki anak yang Hafiz Qur’an, tentu hal itu akan menjadi keinginan setiap orang tua. Namun bisa dibayangkan tidak, jika mempunyai 16 anak kandung dan ternyata semua putra putri seluruh nya hafiz Qur’an. Hal itulah yang dirasakan pasangan suami istri Kamaruddin (57) dan Najrah Rasyid (49) warga Desa Katoi, Kecamatan Katoi, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, benar-benar memiliki kisah yang luar biasa. Pria yang sehar-hari menjadi guru sekolah dasar (SD) tersebut, memiliki 16 anak kandung, dan seluruhnya hafiz Al-Qur’an. Bulan Januari 1996, Kamaruddin menikahi istri tercintanya, Najrah Rasyid. Setelah keduanya bertemu di sebuah pesantren yang ada di Pangkep, Sulawesi Selatan. Usai menikah, anak pertamanya lahir di Pangkep. “Anak pertama saya Nurfaaiqah lahir pada 12 Oktober 1996. Sedangkan anak bungsu, Zayyan Aqif Rahmani lahir pada 29 Desember 2015 lalu,” terang Kamaruddin. Nurfaaiqah anak pertamanya kini sudah berusia 26 tahun. Sedang anak bungsunya berusia tujuh tahun. Anak pertama, kedua dan ketiga semuanya lahir di Pangkep. Selanjutnya pada 1999, Kamaruddin dan keluarganya memutuskan pindah ke Kolaka Utara. Saat itu, dia mengabdi menjadi guru honorer hingga kemudian diangkat menjadi ASN. Di Kolaka Utara inilah, anak keempat hingga ke-16 lahir. Banyak kisah saat kelahiran anak ke empat hingga 16, mengingat tempatnya tinggal masih sangat terbatas, sehingga proses kelahiran anaknya berlangsung serba darurat. “Enam anak saya dilahirkan sendiri tanpa bantuan petugas medis. Anak keenam sampai anak ke-14, saya ikut membantu persalinannya. Untuk memutus tali pusar, menggunakan silet yang dibakar. Itu terpaksa sy lakukan, karena waktu itu belum ada bidan,” terang Kamaruddin. Pria sederhana yang kini sudah menyandang status kakek tersebut, selalu menerima dengan hangat setiap orang yang datang bersilaturahmi di rumahnya. Kamaruddin yang berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN) tersebut, sehari-hari mengajar pelajaran Agama Islam di SD Negeri 1 Katoi, dan di sebuah pondok pesantren. Hebatnya, ke-16 anak tersebut tumbuh dengan baik. Bahkan semua anaknya merupakan hafiz Al-Qur’an. Mereka kini sudah ada yang selesai kuliah dan yang lain menuntut ilmu mulai bangku SD hingga perguruan tinggi. “Anak-anak sekolahnya dapat beasiswa semua karena berprestasi. Tamat SD, anak saya masuk ke pesantren,” bebernya. Kamaruddin menuturkan, anak pertama, ketiga dan ke empat sudah selesai kuliah di Kendari, dan Makassar. Sedangkan anak kedua belum selesai kuliah karena keburu menikah. “Ada satu anak saya yang dibiayai Dinas Pendidikan Kolaka Utara, sekolah di Yogyakarta. Anak ketujuh,” sebutnya. Lantas dari mana pasutri ini menafkahi keluarganya. Ternyata selain jadi ASN guru agama, Kamaruddin mengajar di Pesantren 77 Desa Totalan, Kolaka Utara. Sedangkan istrinya, Najrah Rasyid di sela mengurus anak-anaknya, juga berjualan di kantin di SD Negeri 1 Katoi. “Alhamdulillah kebanyakan anak-anak saya ada yang jadi guru juga,,” pungkasnya bangga. (nal)

Read More

Nama-nama Kucing Rasulullah SAW

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Dalam berbagai macam kisah yang populer, Nabi Sulaiman bersahabat dengan beragam jenis hewan seperti burung hud-hud dan kucing. Akan tetapi dalam catatan sejarah, belum ada sumber tentang nama kucing Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman disebutkan memiliki keistimewaan dan kekuasaan atas hewan-hewan, termasuk burung-burung dan binatang-binatang lainnya. Nabi Sulaiman bisa berbicara dan berkomunikasi dengan semua jenis binatang. Kendati demikian, tidak ada penyebutan nama kucing Nabi Sulaiman secara lebih khusus, namun dari beberapa kisah tersebut lebih menekankan pada kebijaksanaan dan keistimewaan Nabi Sulaiman dalam berkomunikasi dengan hewan-hewan, termasuk kucing. Berbeda dengan Rasulullah SAW. Banyak riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW lebih suka memelihara kucinf dan salah satu kucing Rasulullah SAW bernama Muezza. Kucing kesayangan Rasulullah SAW ini diperlihara selama terjadi perang Uhud Jadi, dalam konteks sumber-sumber Islam, tidak ada nama kucing yang secara khusus dikaitkan dengan Nabi Sulaiman. Memelihara kucing merupakan kesenangan tersendiri dan menjadi budaya populer atau dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa nama kucing yang umum digunakan dalam komunitas Muslim atau umat Islam. Berikut ini nama kucing dalam Islam dan lebih umum bahasa arab: MuezzaNama kucing Nabi Muhammad, kucing bernama Muezza sangat disayangi Rasulullah dan sering terlihat bersama beliau kemana pun pergi, termasuk setia menunggu ketika Rasulullah SAW belum kembali ke rumah. Abu HurairahAbu Hurairah adalah nama seorang sahabat Nabi Muhammad perawi hadist yang populer. Nama Abu Hurairah disematkan oleh Rasul karena kecintaannya pada kucing. Nama Hurairah dijadikan nama kucing, sebab Abu Hurairah sering kali terlihat bersama dengan kucing. MishkaNama yang berasal dari bahasa Arab yang berarti “rambut lebat” atau “mantel” dan digunakan untuk menggambarkan bulu lebat pada kucing. SimbaMeskipun bukan nama yang secara khusus terkait dengan Islam. Simba adalah nama yang populer dan sering digunakan untuk kucing dalam banyak budaya, termasuk di kalangan Muslim. Qamar (قمر)Artinya bulan sebab kucing seperti rembulan yang senantiasa memberikan penerang di dalam rumah. Bisa diajak bermain maupun berkomunikasi yang dapat menghilangkan stress. Bashaar (بشار)Kucing berarti bashaar artinya gembira, karena sifat kucing yang senantiasa bergembira ketika didekati. Terlebih lagi jika dikasih makan. Layla (ليلى)Kucing bisa diberi nama laila yang artinya malam. Pada waktu malam inilah kucing senantiasa memberikan kedamian kepada penghuni rumah Zahr (زهر)Kucing bisa dikasih nama zahra artinya bunga, ia bisa menjadi pengharum atau penghias rumah. Faris (فارس)Kucing salah satu binatang yang banyak disayang, dan ia akan menjaga penghuni rumah maka kucing tersebut bisa dikasih nama Faris yang artinya kesatria. Noor (نور)Kucing bisa dikasih nama Nur atau Noor yang berarti cahaya. Ia akan menjadi penerang saat gelap bagi penghuninya. Penting untuk diingat bahwa pemilihan nama kucing adalah pilihan pribadi dan dapat bervariasi tergantung pada preferensi individu dan budaya setempat. (fq)

Read More

Quraish Shihab : Tuduhan Trilogi Islam saya susah diterima

Jakarta – 1miliarsantri.net : Ada saja yang ‘meragukan’ keislaman Prof Dr Quraish Shihab, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (dulu IAIN) periode 1992-1998. Bahkan, ada yang menuduh kalau paham keislaman doktor lulusan Universitas al-Azhar itu Syi’ah. Tuduhan itu didasarkan, salah satunya, dari buku-buku yang ditulis Quraish. Dimana dalam buku itu Quraish mengutip pendapat dari ulama Syi’ah. Namun betulkan tuduhan semacam itu? “Saya menganut Islam Nusantara yang Berkemajuan,” terang Quraish Shihab saat disinggung mengenai bedah buku ‘Trilogi Islam M Quraish Shihab’ (Islam yang Saya Anut, Islam yang Saya Pahami, dan Islam yang Disalahpahami). Sebagaimana diketahui, Islam Nusantara adalah tipologi Islam yang diusung Nahdlatul Ulama (NU). Sementara Islam Berkemajuan merupakan ‘miliknya’ Muhammadiyah. Quraish kemudian menjelaskan kalau Islam memang pertama kali turun di Makkah. Kemudian Islam menyebar ke Madinah, Syam, Irak, Iran, dan tempat-tempat lainnya. Dalam penyebarannya ke tempat-tempat lain itu, terjadi ‘interaksi’ antara Islam dan budaya setempat. Dimana Islam mempengaruhi budaya setempat. Begitu pun sebaliknya. Budaya setempat ‘mempengaruhi’ Islam. Sehingga misalnya, ketika Imam Syafi’i berada di Irak, maka budaya Irak yang mempengaruhi pendapat-pendapat Imam Syafi’i. Begitu pun ketika di Mesir. “Itu sebenarnya paham saya. Kita tidak mempermasalahkan orang Arab dengan pandangan-pandangannya. Tetapi kita tidak mau ada orang Arab yang mempermasalahkan kita dengan pandangan-pandangan kita,” jelas penulis kita Tafsir Al-Misbah itu. Sementara itu, KH Cholil Nafis yang pernah menjadi narasumber dalam bedah buku tersebut menyebutkan kalau di dalam bukunya itu Quraish belajar kitab Aqidatul Awam saat kecil dulu. Sebuah kitab yang sangat dekat dengan Nahdlatul Ulama. “Saya bangga sekali ketika Prof Quraish menyebut tentang ‘Keyakinan Saya Masih Kecil (salah satu sub-bab di dalam buku Prof Quraish). Yaitu Aqidatul Awam. Yakin dengan sifat Allah yang 20,” jelas Ketua Komisi Dakwah MUI ini. Hal yang sama juga disampaikan narasumber lainnya, Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu’thi. Menurutnya, buku ‘Trilogi Islam M Quraish Shihab’ itu memberikan perspektif bahwa Quraish adalah Muhammadiyah-NU. Ditambah dulu Quraish pernah belajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Sulawesi Selatan. “Beliau ini Mu-Nu saya kira. Muhammadiyah-NU,” ucapnya. Adapun Muchlis M Hanafi menjelaskan, dalam buku Islam yang Saya Pahami Quraish mengungkapkan kalau dirinya memedomani Imam Al-Asy’ari dalam bidang akidah, Imam Syafi’i dalam fiqih, dan Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi dalam bidang tasawuf ketika menjawab persoalan keagamaan. “Inikan mazhabnya NU,” katanya. Namun, lanjut Muchlis, dalam bukunya itu Quraish juga menunjukkan sisi-sisi pembaharuan dalam pemahaman keagamaan. Salah satunya sosok Muhammad Abduh yang berpengaruh dalam pemikiran Quraish. “Dan Muhammad Abduh ini adalah salah satu tokoh yang menginspirasi garis perjuangan Muhammadiyah,” jelas Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an. (sam)

Read More

Mengenal dan Memahami Maqashid Syariah serta beragam manfaat nya

Jakarta – 1miliarsantri.net : Bagi sebagian orang awam bisa jadi belum mengenal dan memahami tentang Maqashid Syariah. Maqashid syariah sendiri bila diartikan secara bahasa adalah beberapa tujuan syariah. Tujuan utama dari maqashid syariah adalah merealisasikan kemanfaatan untuk umat manusia (mashâlih al-ibâd) baik urusan dunia maupun urusan akhirat. Dalam ekonomi Iislam dalam hal ini perbankan syariah, maqashid syariah bertujuan untuk mencapai kemaslahatan dan mencegah kemudharatan dalam kegiatan ekonomi maqashid. Penerapan maqashid syariah pada perbankan syariah juga sudah sesuai dengan memerhatikan indikator pada maqashid al-syari’ah yaitu agama (al-din), jiwa (al-nafs),akal (al-‘aql),harta (al-mal),dan keturunan (al-nasl). Penerapan maqashid syariah dapat dilihat pada instrumen investasi dengan akad mudharabah; jaminan dalam akad mudharabah dan musyarakah; transaksi multi akad: rahn dan pemanfaatan marhun atau barang gadai dan jual beli emas secara tidak tunai. Sehingga, maqashid syariah adalah inti dari semua analisis ekonomi, terutama yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, distribusi kekayaan, dan pembangunan ekonomi Pertama dalam investasi dengan akad mudharabah maka akan ditinjau berdasarkan dua hal yakni seseorang mempunyai nilai lebih terhadap harta dan mempunyai keterampilan dalam mengelola hartanya, maka diharuskan untuk melakukan serta mengelola secara pribadi. Apabila usaha berhasil, maka semua nilai untung yang didapat menjadi haknya. Sejalan dengan maqashid syari’ah keuntungan dari harta sebagai hak pemilik, apabila tanpa bantuan serta hak orang lain dalam dana tersebut disesuaikan seperti dalam QS (Fushilat [41]: 46) dan QS. Al-Baqarah [2]: 286). Kedua, apabila seseorang mempunyai harta namun tidak dapat atau tidak mempunyai keahlian dalam mengelola 100 sendirian, maka ia dapat menyerahkan pada pihak lainnya dalam melakukan pengelolaan. Ini menjadi satu dari berbagai tujuan. Selanjutnya, maqashid syariah pada jaminan dalam akad mudharabah dan musyarakah. Pada prinsipnya adalah pembiayaan mudharabah tanpa jaminan yang sesuai definisi dari akad mudharabah dan musyarakah sesuai fatwa DSN MUI Nomor 08 Tahun 2000. Selain itu, maqashid syariah juga bisa diterapkan pada transaksi multi akad yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar, memperbesar keuntungan, meminimalisir resiko, dan lainnya. Dalam fiqh sendiri akad-akad pelengkap diberikan dispensasi berbeda dengan akan inti, artinya hal-hal yang harusnya dilarang pada akad tetapi diperbolehkan pada akad pelengkap hal ini sesuai urf dan keterangan para ahli yang mendapat pengesahan oleh dewan pengawas syariah atas dasar kaidah yaitu sesuai prinsip akad yang melengkapi diberikan tolerir berbagai hal yang dilarang dan tidak dapat diberikan tolerir pada saat berdiri sendiri. Selanjutnya, maqashid syariah pada rahn dan pemanfaatan marhun atau barang gadai. Berdasarkan fatwa DSN mengenai rahn diterangkan bahwasanya pinjaman dilakukan dengan menggadai suatu barang untuk jaminan piutang atau rahn yang diizinkan dan jaminan uang menggunakan suatu barang berharga seperti emas yang diizinkan sesuai nash Alqur’an, hadits, serta faedah. Maqashid syariah selanjutnya adalah penerapan pada transaksi jual beli emas secara tidak tunai. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum jual beli emas secara tidak tunai. Menurut mayoritas fuqaha (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`i dan Hanbali) bahwa jual beli emas secara angsuran itu tidak boleh. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan beberapa ulama kontemporer, jual beli emas secara angsuran itu hukumnya boleh. Dari beberapa perselihan ini disimpulkan berdasarkan pendapat terkuat bahwa boleh jual beli emas dengan angsuran karena emas adalah barang, bukan harga uang. (sam)

Read More

Pengertian Sholat Awwabin

Jakarta – 1miliarsantri.net : Istilah Awwab bermakna orang yang kembali atau bertobat kepada Allah SWT. Sedangkan sholat awwabin adalah shalatnya orang-orang yang bertobat kepada Allah SWT. Mengutip buku 33 Macam Jenis Sholat Sunnah tulisan Muhammad Ajib menjelaskan para ulama berbeda pendapat mengenai hakikat dari sholat awwabin. Setidaknya ada tiga pendapat dari para ulama. Pertama, sholat dhuha Mayoritas ulama mengatakan bahwa sholat awwabin itu adalah nama lain dari sholat Dhuha. Jadi ketika kita sholat dhuha maka itu juga bisa disebut sebagai sholat awwabin. النهار ربع قال الجمهور : هي صلاة الضحى، والأفضل فعلها بعد إذا اشتد الحر. واستدلوا بحديث النبي صلى الله عليه وسلم: صلاة الأوابين حين ترمض الفصال. رواه مسلم. الموسوعة الفقهية الكويتية (27/ 134) Jumhur ulama mengatakan bahwa sholat awwabin adalah sholat dhuha. Afdhalnya dikerjakan setelah seperempat waktu siang berlalu, yaitu ketika sinar matahari mulai menyengat. Para ulama berhujjah dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam: صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتِ الْفِصَالُ“Sholat awwabin adalah sholat ketika anak unta mulai kepanasan.” (HR Muslim) Kedua, sholat enam rakaat Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa sholat awwabin adalah sholat sunnah enam rakaat yang dikerjakan antara maghrib dan isya. Biasanya ketika kita sholat di masjid atau mushola ada beberapa orang setelah sholat maghrib dan setelah sholat sunnah badiyah maghrib, akan melakukan sholat sunnah lagi sampai enam rakaat. Menurut sebagian ulama sholat enam rakaat inilah yang disebut dengan sholat awwabin. Imam asy-Syirbini rahimahullah (wafat pada 677 H) seorang ulama besar dalam Madzhab Syafii menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut: ومنها صلاة الأوابين وتسمى صلاة الغفلة لغفلة الناس عنها بسبب عشاء أو نوم أو نحو ذلك، وهي ست ركعات بين المغرب والعشاء لحديث الترمذي أنه – صلى الله عليه وسلم – قال: «من صلى ست ركعات بين المغرب والعشاء كتب له عبادة اثنتي عشرة سنة يصليها ألفاظ وقال الماوردي: كان النبي – صلى الله عليه وسلم . ويقول هذه صلاة الأوابين». مغني المحتاج إلى معرفة معاني – المنهاج (1/ 458) Sholat awwabin disebut juga sholat ghaflah (lalai) sebab banyak orang-orang melalaikannya karena sibuk makan malam, tidur dan lain-lain. Sholat awwabin itu adalah sholat enam rakaat antara maghrib dan isya. Sebab ada hadits riwayat Imam at-Tirmidzi bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ ، لَمْ يَتَكَلَّمْ فِيمَا بَيْنَهُنَّ بِسُوءٍ ، عُدِلْنَ لَهُ بِعِبَادَةِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً “Siapa yang sholat enam rakaat antara maghrib dan isya maka dicatat baginya ibadah selama 12 tahun”. Imam al-Mawardi mengatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melakukannya dan mengatakan ini adalah sholat awwabin. Sebagian ulama lain ada juga yang mengatakan bahwa sholat awwabin adalah sholat sunnah 20 rakaat yang dikerjakan antara maghrib dan isya. Imam ar-Ramli 106 rahimahullah (wafat 1004 H) seorang ulama besar Madzhab Syafii menyebutkan sebagai berikut: وصلاة الأوابين وهي عشرون ركعة بين المغرب والعشاء، ورويت ستا وأربعا وركعتين فهما أقلها نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج (2) Sholat awwabin adalah sholat 20 rakaat antara maghrib dan isya. Ada juga riwayat menyebutkan enam rakaat, empat rakaat, dan dua rakaat. Ini jumlah minimalnya. Syekh Zainuddin al-Malibari rahimahullah (wafat 87 H) juga menyebutkan hal yang sama dalam kitabnya Fath al-Mu’iin sebagai berikut. ومنه صلاة الأوابين وهي عشرون ركعة بين المغرب والعشاء ورويتستا وأربعا وركعتين وهما الأقل. فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين (ص: 165) “Di antara sholat sunnah adalah sholat awwabiin. Yaitu 20 rakaat antara sholat maghrib dan isya’. Ada juga riwayat 6 rakaat, 4 rakaat dan 2 rakaat. Yang ini rakaat paling sedikit.” Bahkan Syekh Abu Bakr AL-Bakri ad-Dimyati (wafat 1310 H) juga menyebutkan sebuah riwayat bahwa orang yang mengerjakan sholat awwabin 20 rakaat maka akan dibangunkan rumah di surga. Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah di bawah ini: عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه الله له بيتا بنی وسلم: “من صلى بين المغرب والعشاء عشرين ركعة : في الجنة». رواه ابن ماجه. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa sholat 20 rakaat antara maghrib dan isya maka Allah akan membangunkan rumah baginya di surga.” (HR Ibnu Majah). (har)

Read More

Istilah dan Asal Usul Santri

Jakarta – 1miliarsantri.net : Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak lembaga pendidikan yang khas dengan nuansa Islam. Dari sekian banyak lembaga pendidikan yang khas itu, pesantren adalah yang paling terkenal dan terdengar akrab di telinga kita. Sejarah panjang perjuangan lahirnya Indonesia pun, tidak bisa dilepaskan dari peran santri, sebutan bagi mereka yang tinggal di pesantren. Pesantren berarti pesantrian, yaitu tempat berdiamnya para santri yang bertujuan untuk melaksanakan proses pendidikan. Meski sangat familiar di lingkungan Umat Islam, Menurut C.C Berg, seorang Professor di Universiteit Leiden, istilah santri dan pesantren itu sendiri bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Sanskerta, “In the pesantren (seminaries), whence originated the Javanese Moslem Jurists, we may see a continuation of the old Javanese or Hindu-Javanese mandala’s (convents), and neither the life of santri’s (theological students), whose name is a deformation of the Indian Çastri,”who knows the (Hindu) holy books,” nor the social position of  these theological schools had been considerably changed in Java by four centuries of Islam.” Artinya: “Di pesantren, tempat lahirnya para ahli hukum Islam di Jawa, kita dapat melihat kelanjutan dari mandala (biara) Jawa Kuno atau Hindu Jawa, dan juga kehidupan santri (para pelajar teologi), yang mana istilah ini adalah deformasi/perubahan bentuk dari kata Çastri (dibaca shastri-pen) yang berarti “yang mengetahui kitab suci (Hindu),” pun posisi sosial dari pesantren-pesantren ini telah banyak berubah pada empat abad Islam di Jawa. Selanjutnya, istilah pesantren adalah isim makan/the adverb of place/kata keterangan tempat dari santri. Asalanya adalah pe-santri-an. Dalam Brill Encyclopaedia of Islam pesantren didefinisikan sebagai berikut. “Javanese “santri-place”, the educational institution of Indonesia where students (santri) study classical Islamic subjects and pursue an orthoprax   communal life. Pondok (“hut, cottage”; cf. Ar.funduk) is an alternative term, meaning “lodgings” and, by extension, “Islamic religious boarding school”.  Pesantren is used most often in Indonesia (especially Java), whereas pondok is the preferred term in Malaysia and the Patani region of southern Thailand. Sometimes the two terms are combined in Indonesia, when the speaker means to make clear that a traditional Islamic boarding school, a “pondok pesantren”, and not merely a religious day school (such as the more modern madrasa), is meant. Artinya, “Tempat-santri di Jawa”, lembaga pendidikan di Indonesia dimana santrinya mengkaji warisan klasik dalam Islam  (turats) dan mengejar kehidupan komunal yang ortopraks (tindakan/pekerjaan yang benar). Istilah alternatifnya adalah “pondok” (hut/cottage dalam Bahasa Inggris) yang berasal dari Bahasa Arab funduk yang berarti “penginapan” dan, dengan perluasan makna menajdi “pondok pesantren”. Istilah pesantren sangat sering digunakan di Indonesia, (khususnya di Jawa) sedangkan “pondok” adalah istilah yang lebih disukai di Malaysia dan Patani (sebuah wilayah di Thailand Selatan). terkadang kedua istilah ini digabungkan dalam Bahasa Indonesia untuk memperjelas pesantren tradisional, sebuah “pondok pesantren” tidak dimaksudkan sebagai hari pelajaran agama di sekolah, seperti misalnya di madrasah modern.” Dari kedua sumber tersebut, kita dapat melihat bahwa memang, pada dasarnya istilah santri dan pesantren itu bukan dari bahasa Arab atau bahasa Islam lainnya. Lalu mengapa bisa “menjadi milik” Umat Islam? Persoalan ini, sejatinya adalah buah dari proses Islamisasi. Menurut S.M.N. Al-Attas, proses Islamisasi bahasa adalah proses yang paling awal terjadi seiring diturunkannya Wahyu melalui Kitab al-Quran. Begitu pun di Kepulauan Melayu-Indonesia, proses Islamisasi sangat didasari oleh perubahan konsep dalam istilah-istilah kunci. Maka, kita mengenal banyak istilah dalam Bahasa Sanskerta, misalnya puasa lebih melekat kepada Umat Islam  karena konsep dalam istilah ini telah berubah, yang awalnya adalah upawasa, sebuah ritual dalam ajaran Hindu yang menghindari makan dan minum untuk melaksanakan ajaran samsara (merasakan kesengsaraan) dirubah  konsepnya menjadi shaum dalam syariat Islam. Disisi lain, Santri merupakan sebutan bagi pelajar yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yakni Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren. Selain Santri Mukim, ada juga istilah Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan kompleks pesantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang. Kata santri berasal ada berbagai macam versi, di antaranya dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik“, yang berarti seseorang yang mengikuti kyai di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Sementara, menurut DR. KH. M.A. Sahal Mahfudz mengatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “santaro“, yang mempunyai jama’ (plural) sanaatiir (beberapa santri). Di balik kata “santri” tersebut yang mempunyai empat huruf Arab (sin, nun, ta’, ra’). Adapun empat huruf tersebut yaitu : Sin, yang bermakna dari lafadz “satrul aurah” (menutup aurat) sebagaimana layaknya kaum santri yang mempunyai ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sin ini, yaitu menutup aurat. Namun pengertian menutup aurat di sini mempunyai dua pengertian yang keduanya saling ta’aluq atau berhubungan. Yaitu menutup aurat secara tampak oleh mata (dhahiri) dan yang tersirat atau tidak tampak (bathini). Hal yang terpenting di sini adalah bagaimana manusia menutupi dan mempunyai rasa malu dalam hal sifat dan perilaku secara dhahiri dan bathini. Sebagaimana disinggung dalam salah satu hadits Nabi SAW: “al-haya’u minal iman“, malu sebagian dari iman. Ash Shan’ani menjelaskan bahwa sifat haya dapat menggiring seseorang untuk menghindari dari perbuatan buruk, sebagaimana fungsi iman. Sebab haya tersusun dari kebagusan dan ke-iffah­­-an, oleh karenanya orang fasik tak mempunyai sifat haya’. Nun, yang bermakna dari lafadz “na’ibul ulama” (wakil dari ulama). Dalam koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadits bahwa : “al-ulama warasatul anbiya’ (ulama adalah pewaris nabi) yang menurut Ibnu Bathal hal tersebut berdasarkan pada QS. Al Fathir: 32: “Kemudian kami wariskan al kitab kepada orang-orang yang telah kami pilih”. Abu Zannad menerangkan bahwa mereka adalah orang yang mendengar ilmu tentang fardhu dan sunnah dari Rasulullah SAW, lantas masyarakat mengambil kemanfaatan darinya. Kaitannya dengan na’ibul ulama, seorang santri dituntut mampu aktif, merespon, sekaligus mengikuti perkembangan masyarakat yang diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang bijak. Ta’, yang bermakna dari lafadz “tarkul ma’ashi” (meninggalkan kemaksiatan). Kaitannya hal tersebut yaitu seberapa jauh kaum santri mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan dan sejauh mana pula ia memegang hubungan hablun minallah (hubungan vertikal dengan sang Khaliq) dan hablun minannas (hubungan horizontal dengan sosial masyarakat). Karena tarkul ma’ashi tidak hanya mencakup pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah ditetapkan-Nya, tetapi juga…

Read More