Wamenag : Agama dan Budaya Tidak Dapat Dipisahkan

Jakarta — 1miliarsantri.net : Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki mengatakan seni dan budaya bukanlah sekadar dekorasi yang menghiasi jalinan masyarakat Indonesia. Keduanya adalah inti dari identitas Indonesia sebagai bangsa yang menghubungkan masyarakatnya dengan para leluhur dan menjadi inspirasi untuk merangkul kemanusiaan. Makna seni dan budaya ini disampaikan Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki saat mewakili Menteri Agama membuka Temu Konsultasi Seniman dan Budayawan Nusantara 2023 di Jakarta. Helat yang diinisiasi Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama ini mengusung tema Saleh Beragama dan Saleh Berbudaya. “Gelaran Temu Konsultasi Seniman Budayawan Nusantara ini menjadi momentum bagi kita untuk membangun kesalehan beragama kita agar tidak terjerabut dari identitas kebangsaan Indonesia yang multikultural,” ungkap Wamenag, kepada media, Jumat (21/7/2023) malam. Dirinya berharap, para seniman dan budayawan dapat membawakan pesan-pesan agama melalui produk-produk budaya yang bisa menggerakkan masyarakat agar tetap guyub, rukun, saling tolong menolong, dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa. Dalam konteks agama dan budaya, Wamenag berkisah tentang Clifford Geertz, seorang ahli antropologi asal Amerika Serikat yang menganggap kyai/ulama’ pesantren sebagai makelar budaya atau cultural broker. Clifford Geertz, menyimpulkan demikian, karena melihat para kyai melakukan fungsi screening bagi budaya luar. Nilai-nilai baru yang dianggap merugikan, disaring oleh mereka agar tidak menanggalkan budaya lama. “Jika diilustrasikan, kyai bagaikan dam atau waduk yang menyimpan air untuk menghidupi daerah sekitar. Agama dan budaya adalah dua entitas yang saling mengisi dan saling mempengaruhi. Islam memiliki nilai universal, sedangkan budaya juga mencerminkan nilai-nilai moral, etika, dan identitas suatu masyarakat, ” tandas Wamenag. Wamenang menambahkan, karena itu, corak kekhasan Islam di Indonesia menunjukkan pola keislaman yang tidak bisa dipisahkan dengan budaya lokal. Ini selaras dengan apa yang disebut Gus Dur sebagai Pribumisasi Islam,” kata Wamenag. Ia menambahkan kesalehan dalam beragama adalah sebuah kondisi orang beriman yang merujuk pada tingkat kualitas ketulusan, kesetiaan, dan kepatutan terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Kesalehan ini dapat diperoleh dari ritual ubudiyah yang dijalankan sehari-hari. Namun, kesalehan beragama saja tidaklah cukup. “Kesalehan dalam berbudaya juga penting sebagai komitmen orang beragama sekaligus warga negara. Komitmen ini merujuk pada sikap dan perilaku seseorang yang menghargai, memahami, dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal yang ada di lingkungannya,” tegas Wamenag. Penting untuk diingat, lanjut Wamenag, bahwa Saleh dalam Beragama dan Saleh dalam Berbudaya berkaitan erat dengan nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakat tertentu. “Maka, seperti kata Gus Dur dalam buku ‘Islamku, Islam Anda, Islam Kita’, selama budaya Islam masih hidup terus, selama itu pula benih-benih berlangsungnya cara hidup Islam tetap terjaga,” tutup Wamenag. (rid)

Read More

Tata Taufik : Tak Mudah Mengajak Pesantren Ikut Program Muadalah

Jakarta — 1miliarsantri.net : Presiden Perhimpunan Pengasuh Pesantren Indonesia (P2I) KH M Tata Taufik, mengatakan masih ada beberapa kendala dan evaluasi dalam pengembangan program pesantren muadalah. Namun beberapa kendala yang ditemui masih dalam tahap wajar dan dapat dimaklumi. Salah satunya terkait dengan birokrasi pemerintahan. Misalnya pada saat melakukan sosialiasi mengenai muadalah terinformasi dengan baik oleh pihak Kemenag di kabupaten/kota tapi tidak beberapa lama kemudian ada pergantian pejabat. Sehingga pihak Kemenag Kabupaten tersebut bakal bertanya lagi terkait dengan muadalah. Tentu saja meski bukan kendala berarti tapi cukup memakan waktu untuk kembali mensosialisasikan pesantren muadalah. “Jadi mereka akan mempertanyakan hal baru lagi, makhluk apa Muadalah dan seterusnya, Baru mereka studi tentang aturan-aturannya dan ini memakan waktu yang agak lama untuk bisa memahami,” ungkap Tata Taufik. Tata Taufik menambahkan, mengenai kendala teknis, seperti persyaratan-persyaratan yang harus disiapkan. Mulai dari badan hukum, rekomendasi-rekomendasi dari kantor urusan agama (KUA) dan lain sebagainya san untungnya semuanya bersifat online. Sementara animo atau keinginan pesantren untuk muadalah sangat tinggi. Bisa juga kendala berikutnya, karena berbagai kesibukan dari pemerintah misalnya. “Tapi saya pikir itu bukan kendala yang berarti. Karena itu kan wajar dalam sebuah birokrasi seperti itu,” kata Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash tersebut. Kendati demikian, kata Tata Taufik, semangat dan keyakinan daripada para pesantren untuk memuadalahkan tetap harus dijawab. Sebab hal itu merupakan hak dari para pesantren untuk memilih model pendidikan yang ingin dikembangkannya. Hanya saja memang belum semua pihak memahami atau mengetahuinya. Sehingga diperlukan kerja keras, karena sebagai entitas baru tentu butuh perjuangan untuk sosialisasi. Selain itu, menurut Tata Taufik, evaluasi yang harus dilakukan adalah percepatan proses. Karena misi P2i maupun di organisasi kepesantrenan adalah mengangkat model pendidikan pesantren sebagai model pendidikan yang memang asli Indonesia. Terlepas dari kritikan dan lain sebagainya, model pendidikan pesantren ternyata diakui memiliki keunggulan. Terutama di era kemajuan digital dan gawai sangat mudah didapatkan seperti saat ini. “Di era digital ini kan dengan pesantren itu bisa membuat semacam diet lah. Kalau lagi liburan kan mereka punya kesempatan untuk itu (bermain gawai) tapi ketika mereka di pesantren lagi mereka tidak. Di beberapa pesantren dan di mayoritas pesantren tidak mengizinkan penggunaan gedget,” jelas Tata Taufik. Saat ini sudah ada 254 pondok pesantren yang telah mengikuti program muadalah. Namun angka tersebut, kata Tata Taufik, masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah seluruh pesantren yang tersebar tanah air berkisar 30 ribu pondok pesantren. Dari 254 pondok pesantren sebanyak 75 diantaranya adalah pesantren muadalah dengan pola muallimin dan sisanya adalah pesantren berbasis Salafiyah. (ifa)

Read More

Penampakan Nyi Roro Kidul Saat Pengajian Gus Miftah di Lampung

Yogyakarta — 1miliarsantri.net : Pimpinan Pondok Ora Aji, Sleman, Miftah Maulana Habiburrahman atau yang akrab disapa Gus Miftah, buka suara terkait video penampakan seorang wanita bermahkota yang sempat diunggah di Instagram pribadinya saat menghadiri acara pengajian di Lampung. “Oh iya mas, kemarin saya pengajian di Lampung ada anak kecil ngerekam di belakang itu ada muncul sosok pakai mahkota. Lha saya bongso klenik itu nggak begitu ngeh lah (macam klenik begitu tidak begitu memperhatikan-Red), karena saya orangnya rasional,” ujar Gus Miftah kepada 1miliarsantri.net, Selasa (18/07/2023). Gus Miftah mengatakan, seorang temannya yang mengetahui perihal tersebut, mengatakan bahwa sosok penampakan itu menyerupai Nyi Roro Kidul. Namun, ia malah bersyukur apabila sosok tersebut ikut mengaji padanya. “Beberapa teman yang memang dunianya seperti itu bilang kayak kanjeng Nyi Roro Kidul, ya saya bilang Alhamdulillah Nyi Roro kidul mau ikut mengaji sama saya,” imbuhnya. Menurutnya, setelah video tersebut tersebar sempat terjadi keributan. Ia mengatakan bahwa video tersebut direkam saat dirinya mengadakan salah satu pengajian di daerah Lampung pada, 15 Juli lalu. “Di Lampung tanggal 15 malam. Itu rame di Lampung geger, kok ada. Itu yang ngerekam anak kecil makanya videonya goyang-goyang, gak fokus,” katanya. Gus Miftah mengaku ia mendapatkan video itu dari salah satu pengurus pondok tempat pengajian tersebut. Ia juga mengaku baru mengalami kejadian tersebut untuk pertama kalinya. “Baru ini pertama kali itu. Saya itu orang rasional, percaya dengan alam ghaib ya percaya saja nggak sampai mendalami atau fokus ke itu. Tahu dari kiai pengasuh ponpes saya dikirimi dibilang: Gus, viral di belakangnya itu ada sosok,” tutupnya. (mif)

Read More

Mengenal Rofiqoh Dharto Wahab, Umi Kultsum Indonesia

Jakarta – 1miliarsantri.net : Bagi generasi millenial saat ini bisa jadi belum pernah mendengar nama Rofiqoh. Dia adalah perempuan pertama yang mewarnai grup kasidah di Indonesia masuk dapur rekaman. Perempuan asal Pekalongan, Jawa Tengah ini wanita pertama menembus Istana Negara dengan lagu qasidah, lalu mempopulerkan. Dia memulai semua itu saat kondisi politik negara sedang mencekam. Pada 1960-an, saat organisasi Islam ditekan oleh pemerintahan Orde Baru, Rofiqoh memperkenalkan genre musik gambus atau kasidah berbahasa Arab kepada masyarakat. Liriknya berisi pujian-pujian kepada Tuhan yang diiringi alat musik. Dalam setiap penampilannya selalu menggunakan kebaya, kerudung, dan batik ciri khas perempuan Jawa pada masanya. Ia muncul pertama kali di depan publik pada tahun 1964 dan mencoba hijrah ke Jakarta pada tahun 1965. Pada tahun yang sama ia menikah dengan Dharto Wahab seorang wartawan yang beralih profesi menjadi pengacara. Ia pernah tampil di Istana Negara membawakan kasidah ‘Habibi Ya Rasulullah’ dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad, sebelum meletusnya pergerakan G30S/PKI. Suatu ketika Rofiqoh dikejutkan oleh suara sirine panjang di Istana Negara menjelang pecahnya Gestapu atau G30S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia). Saat itu dia baru selesai melantunkan ayat-ayat suci Alquran. Dari podium dia leluasa melihat kecamuk di wajah para tamu perhelatan Isra Miraj di bulan September tahun 1965 itu. “Saya melihat pak Harto (Soeharto) melaporkan sesuatu ke pak Soekarno. Dan para tamu mulai berdiri dari kursi, saling pandang. Bingung ada apa? Saya juga khawatir,” ujar Hj Rofiqoh Dharto Wahab, saat itu dalam sebuah wawancara bersama wartawan, 2021 silam. Beberapa hari setelah insiden sirine itu, meletuslah G30S PKI. Peristiwa politik paling kelam yang menjadikan fitnah sebagai mesiu mematikan. Puluhan tahun kemudian, tepatnya hari ini aroma dupanya masih saja dihembus-hembuskan. “Waktu itu pak Karno naik ke podium ngasih pengumuman untuk menenangkan para tamu istana. Jadi selain saya, ada pak Karno dan Duta Besar Aljazair di atas podium,” lanjut Rofiqoh. Pengumuman yang disampaikan Presiden Soekarno saat itu, lebih mengejutkan Rofiqoh. “Pak Karno bertanya, apakah yang mengaji bisa bernyanyi? Saya bilang bisa. Lalu saya diminta bernyanyi,” ujar Rofiqoh yang lebih dari setengah usianya dihabiskan untuk berdakwah dan pendidikan umat. Karir sebagai penyanyi kasidah dimulai sejak ia duduk dibangku kanak-kanak. Selain itu ia juga dikenal sebagai qoriah (Pembaca Al-Quran). Rofiqoh pernah menjuari perlombaan MTQ tingkat Provinsi di Yogyakarta lalu beberapa tahun kemudian dia menjuarai di tingkat Jawa Tengah, tepatnya di Kota Semarang. Rofiqoh muncul pertama kali dalam acara keagamaan di Pekalongan. Pada tahun 1965, Rofiqoh berpindah di Jakarta dan menemukan pasangan hidupnya yaitu seorang wartawan yang bernama, Darto Wahab. Lalu ia dilirik oleh Rustam dari RRI lalu membawanya ke dapur rekaman piringan hitam dan mengisi acara program kasidah di RRI dan tanpa iringan musik. Pada tahun 1970 lahirlah kasidah modern Rofiqoh menjalani rekaman bersama Orkes Bintang-Bintang Ilahi pimpinan Agus Sunaryo dan juga laris di pasaran di bawah pimpinan Agus Sunaryo. Lagu-lagu yang dibawakannya terjual ribuan hingga ratusan ribu kopi. Hitsnya seperti ‘Hamawi Yaa Mismis’ atau ‘Ya Asmar Latin Tsani’ telah menjadi lagu klasik dalam genre kasidah yang terus direkam dan diperdengarkan hingga sekarang ini, lebih-lebih dalam versi daur ulangnya. Kesuksesannya masuk dapur rekaman dan sambutan penggemar yang luas saat itu juga menjadi pembuka jalan bagi kehadiran berbagai jenis kasidah. kasidah pop, kasidah dangdut, kasidah modern, dan lain-lain pada masa-masa berikutnya. Tahun 1966 didukung oleh grup musik Al-Fata (Pemuda) pimpinan A Rahmat, ia masuk dapur rekaman dan piringan hitamnya beredar ke penjuru Indonesia. Lagu-lagunya seperti Hamawi Yaa Mismis, Ya Asmar latin Sani, Ala ashfuri, dan Ya Nabi salam alaik kemudian dengan cepat menjadi populer. Apalagi lagu-lagu itu berulang-ulang disiarkan di RRI dan ia pun beberapa kali tampil di TVRI. Tahun 1971, rekamannya telah muncul dalam bentuk kaset yang makin memudahkan orang untuk memperolehnya. Rofiqoh mencuat sebagai bintang dan menjadi semacam ‘Ummi Kultsum’-nya Indonesia saat itu. Dalam dua dekade awal karirnya, hampir setiap dua bulan ia mengeluarkan album rekaman terbarunya, baik berupa pembacaan Qur’an maupun lagu-lagu kasidah dan gambus. Tak ada catatan pasti berapa album yang telah ia telurkan hingga kini. Yang jelas, sampai tahun 1990-an ia masih mengeluarkan album baru, meski sebagian besar daur ulang lagu-lagu lamanya yang sukses. (fq)

Read More

Kulturalisasi Islam di Tanah Jawa

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : “Muslim Jawa itu Muslim nominal!” Pernyataan yang meragukan orang Jawa bisa menjadi Muslim yang sejati seperti ini telah berdengung minimal dalam kurun setengah abad terakhir. Ini dimulai ketika ilmuwan sosial asal Amerika Serikat, Clifford Geertz, pada ujung dekade 50-an mengemukakan hasil penelitiannya mengenai pengaruh agama di kalangan masyarakat Jawa. Saat itu, Geertz melakukan penelitian di kota yang disebutnya sebagai Mojokuto atau tepatnya Kota Pare, Kediri, Jawa Timur. Hasil penelitian Geertz kemudian menelurkan tiga varian tentang orang-orang Jawa (Trikotomi), yakni santri, priayi, dan abangan. Santri adalah mereka yang taat pada ajaran Islam, priayi adalah kelompok sosial yang terpengaruh ajaran leluhur, yakni Hindu-Buddha, dan abangan adalah kelompok rakyat jelata yang tak terlalu taat pada Islam dan mempraktikkan agama secara sinkretis. ”Memang sudah lama sekali pengelompokan Geertz itu. Banyak pihak yang bertanya apakah masih berlaku sampai sekarang, yakni setelah lebih dari setengah abad. Jawabnya sudah berubah sama sekali. Keberagamaan orang Islam di Jawa kini tak bisa lagi dianggap nominal. Islam sudah begitu merasuk ke dalam masyarakat itu?” kata DR Pipip Rifai Hasan, pengajar pada Universitas Paramadina, ketika ditanya soal isu Islam nominal di kalangan kaum Muslim di Jawa. Adanya sinyalemen bahwa orang Jawa tidak bisa menjadi Islam yang kaffah yang itu kemudian dijawab oleh Pipip bahwa keadaannya sudah berubah, semakin membuat penasaran untuk melihat kenyataan yang terjadi di lapangan. Pada sebuah perjalanan yang khusus untuk melihat kenyataan berubahnya kondisi sosial keagamaan di Jawa itu terekam kuat ketika pergi mengunjungi sebuah kota kecamatan di wilayah Jawa ‘pedalaman’, yakni Piyungan, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan, memang Piyungan yang terletak di perbatasan tiga wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Sleman, Bantul, dan Gunung Kidul, belakangan mencuri perhatian publik karena mendadak ada sebuah website yang sangat ‘menggebu-gebu’ mengabarkan berita yang terkait dengan isu umat Islam. Bagi publik yang selama ini kerap menganggap bahwa orang Jawa tak bisa berislam secara kaffah atau total jelas tercengang-cengang. Apalagi, semenjak dahulu wilayah ini kondang sebagai wilayah kaum abangan. “Mana mungkin mereka kini bisa jadi santri seperti itu,” begitu pertanyaan yang berkelebat di banyak benak orang. Klaim bahwa ‘pedalaman’ Jawa tak bisa berubah semakin kuat bila melihat kenyataan bahwa di sana terdapat beberapa situs pemujaan peninggalan masyarakat Hindu. Dengan begitu, menjadi sangat tidak masuk akal bila wilayah itu menjadi berwajah begitu Islami. ”Memang banyak yang terheran-heran setelah datang langsung ke sini. Mereka berkata kok bisa ya, Piyungan jadi seperti ini, yakni begitu banyak sekolah Islam, majelis taklim, swalayan, dan BMT syariah. Ini terjadi sebab pasti yang kini datang berkunjung ke Piyungan masih membayangkan situasi Piyungan seperti tahun 1970-an,” kata Nugroho, warga Dusun Ngijo, Piyungan Piyungan adalah salah satu contoh dari sekian banyak tempat di Jawa yang dahulu disebut daerah abangan yang kemudian berubah menjadi ‘santri’. Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Tohari yang besar dan berasal dari wilayah ‘pedalaman Jawa’ secara terbuka mengakuinya. Menurut dia, suasana Jawa yang semakin Islami kini sangat kuat terasa. Bila dulu di sebuah desa hanya terdiri atas satu surau, kini di dalam desa itu di setiap dusunnya berdiri banyak surau. Di tingkat desa kini berdiri sebuah masjid jami (raya) yang besar untuk melakukan shalat Jumat. ”Masyarakat Jawa kini tidak bisa lagi dilihat ala Trikotomi Clifford Geertz, adanya santri, abangan, priayi. Situasinya kini sangat berubah akibat dari meluasnya pembangunan,” kata Hajriyanto. Menurut dia, situasi ini mau tidak mau muncul atas peran dari penguasa Orde Baru, Soeharto. ”Harus diketahui pula Islamisasi yang paling cepat itu terjadi pada masa Pak Harto itu. Jadi, daerah-daerah abangan menjadi santri terjadi pada kurun itu. Gerakan Yayasan Pak Harto dengan mendirikan masjid, Pak Harto naik haji dan naiknya raja Yogyakarta pertama yang naik haji, Sultan Hamengku Bowono X dan Paku Alam, itu sebagai pertandanya,” ujar Hajriyanto. Pendapat senada juga dinyatakan sosiolog UIN Yogyakarta, DR Mohammad Damami. Menurut dia, kini telah terjadi perubahan yang dahsyat dalam sisi keberagamaan masyarakat Jawa. Mereka kini semakin Islami atau kian menjadi santri. “Yang mencengangkan lagi tingkat keberagamaan mereka pada Islam itu didapat melalui rasa kepercayaan diri yang kuat serta mandiri. Sebuah hal yang tak terbayangkan memang,” kata Damami. Pada tataran ilmiah, dalam beberapa bulan terakhir terbit sebuah buku karya sejarawan M.C Ricklefs, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang. Dalam buku itu, Ricklefs membantah bahwa sebagian besar Muslim di Jawa kini masih tetap atau hanya terdiri dari kaum abangan atau menganut ‘Islam KTP’ saja. Ricklefs menyatakan, kenyataan justru menunjukkan bahwa tanah Jawa semakin ‘hijau’ saja. Masyarakatnya semakin saleh atau malah kini sudah menjadi santri. Islamisasi semakin dalam dan sudah mencapai fase tak bisa dibalikkan. ”Kini, sulit untuk membayangkan bahwa pengaruh Islam yang semakin mendalam terhadap masyarakat Jawa dapat dihentikan atau dibalikkan arahnya oleh siapa pun yang menentangnya,” ujar Ricklefs dalam buku tersebut. (yys)

Read More

Mantan Perampok Yang Kini Memiliki Pondok Pesantren

Kulon Progo – 1miliarsantri.net : Jalan kehidupan manusia memang tidak akan ada yang pernah tahu. Kutipan itu cocok disematkan kepada Sandiman Nur Hadi Widodo, mantan perampok yang akhirnya hijrah dan mendirikan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Ghifari di Lendah, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sandiman lahir di Desa Sidorejo, Kapanewon Lendah, Kulon Progo, 60 tahun silam. Masa muda bapak dua anak dan empat cucu itu dihabiskan dengan berjudi, main wanita hingga melakukan pelbagai tindak kriminal lainnya. Ia bahkan pernah dijuluki perampok spesialis emas, karena bersama komplotan tidak pernah gagal melancarkan aksi kejahatan tersebut. Namun, sepandai-pandainya tupai meloncat pasti jatuh juga. Sandiman Cs yang berhasil menggasak logam mulia seberat tujuh kilogram dari sebuah toko emas di wilayah Kota Yogyakarta pada tahun 1995 berujung antiklimaks. Polisi mencium pelaku merupakan kelompok Sandiman, satu per satu perampok pun akhirnya diringkus. Sandiman yang sempat buron ke luar jawa menjadi yang terakhir ditangkap. Ia dibekuk di Riau, tak lama setelah aksinya terbongkar. Divonis empat tahun penjara, Sandiman jadi pesakitan di Lapas Wirogunan, Yogyakarta sejak 1995, tetapi masa hukumannya dipangkas jadi tiga tahun karena mendapatkan remisi. Pada 1998, Sandiman kembali menghirup udara bebas. Kehidupan di hotel prodeo mengubah jalan hidup Sandiman. Di sana, Sandiman yang ketika itu berusia 32 tahun mulai mendalami Islam. Sejumlah warga binaan di lapas tersebut mengajarinya salat dan membaca Al-Qur’an. “Sewaktu saya masuk itu (Lapas Wirogunan) belum bisa salat apalagi ngaji, dan kebetulan di sana ada sesama napi yang ngajarin dan ada ustaznya juga,” ucap Sandiman saat ditemui 1miliarsantri.net di Ponpes Al-Ghifari, Jumat (14/07/2023). Perlahan tapi pasti, Sandiman bertransformasi menjadi sosok baru. Pria yang dulu dikenal garang dan ditakuti itu berubah jadi pribadi yang bersahaja nan religius. Selepas bebas, ilmu agama yang diperolehnya selama mendekam di jeruji besi coba ditularkan Sandiman kepada warga di tempat kelahirannya. “Awalnya kita kumpulkan aja anak-anak di sekitar sini untuk dilatih ngaji dan belajar salat, karena waktu saya merintis itu masih banyak anak-anak yang jarang salat,” ungkapya. Upaya Sandiman mengajari warga di Desa Sidorejo, Lendah tentang agama Islam kian kuat. Ia pun membangun masjid, panti asuhan dan pondok pesantren yang selain ditujukan sebagai tempat ibadah juga sekaligus wahana belajar agama Islam. Diberi nama Al-Ghifari, pembangunan kompleks seluas 2.400 meter persegi itu berlangsung sejak tahun 1999 dan rampung serta bisa digunakan setahun kemudian. Adapun lahan yang digunakan adalah tanah warisan milik orang tua Sandiman. “Jadi ini merupakan tanah warisan dari bapak saya, terus diberikan kepada saya dan kakak serta adik saya. Kita sepakat tanah ini diwakafkan untuk pembangunan ponpes,” ujar Sandiman. Sejak pertama beroperasi hingga saat ini Ponpes Al Ghifari mengalami perkembangan yang pesat. Di bawah naungan Yayasan Al-Ghifari pondok ini juga membuka sekolah setingkat SD-SMA yang mengusung pembelajaran berkonsep Islam Terpadu (IT). “Perkembangan ini tak lepas dari banyaknya donatur dan tentu karena bantuan Allah SWT,” ujar Sandiman. Tercatat saat ini ada 87 santri boarding dan full day, yang rata-rata berasal dari sekitar DIY, sebagian lagi dari Sumatera hingga Papua. Para santri diajar oleh delapan guru termasuk Sandiman. Seluruh santri di ponpes ini belajar tanpa dipungut biaya. Biaya sekolah para santri menjadi tanggung jawab Sandiman. Selain sekolah dan mengaji, santri di Ponpes Al-Ghifari diajarkan ilmu berwirausaha. Mereka diajak untuk mengolah tanaman dan berternak. Namun Sadiman menekankan yang jadi fokus tetap pendidikan formal santri demi masa depan mereka. “Saya fokusnya ke pendidikan ya, karena berkaca dari masa lalu saya bahwa orang itu gampang terkena pengaruh (buruk) karena bodoh, sehingga saya tekankan anak-anak harus pintar, makannya saya sampai bikin tingkat SMA nya biar anak-anak punya ijazah SMA agar tidak tertinggal dengan anak-anak dari sekolah lain,” ucapnya. Salah seorang santri Ponpes Al-Ghifari, Agustiawati (19), mengaku nyaman belajar di pondok ini. Ia merasa bisa benar-benar memahami agama Islam yang diajarkan oleh para pendidik. “Alhamdulillah, selain belajar ilmu agama, saya juga jadi lebih berprestasi,” ungkapnya. Dara asal Lendah itu mengaku sudah tahu latar belakang Sandiman, pendiri Ponpes Al-Ghifari. Meski demikian ia tak mempersoalkan hal itu. Ia justru merasa termotivasi dengan kisah hidup gurunya tersebut, yang bisa berubah ke jalan yang benar dan menjadi suri tauladan bagi para santri. “Pak Kiai (Sandiman) adalah sosok yang ramah dan selalu membantu kami yang kesulitan. Kadang kalau ada santri yang lagi tidak punya uang nanti dikasih, kadang juga diberikan baju secara cuma-cuma,” tutupnya. (fq)

Read More

Bakti Sosial PWNU Jatim Terhadap Korban Bencana Alam Lumajang

Surabaya – 1miliarsantri.net : Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim melakukan asesmen lokasi bencana banjir lahar dingin Gunung Semeru. PWNU juga memberikan bantuan warga terdampak di Dusun Kedung Wringin, Nguter, Pasirian, Lumajang, Kamis (13/07/2023) Bantuan sembilan bahan pokok (sembako) sebanyak 31 paket tersebut diserahkan langsung Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar. Turut mendampingi Katib PWNU Jatim KH Romadlan Khatib, Sekretaris LAZISNU Jatim Moch Rofii Boenawi, Wakil Ketua LPBINU Jatim Zainuddin, serta elemen NU Lumajang. “Ini ada sedikit rezeki, semoga bisa dimasak. Moga-moga nanti ada lagi,” kata Kiai Marzuki saat menyerahkan sembako. Pengasuh Pondok Pesantren Sabilurrosyad Gasek, Malang itu menuturkan, kegiatan itu merupakan bagian dari program lembaga yang ada di Nahdlatul Ulama. Disebutkan, di NU ada LAZISNU yang bertugas memberi kepedulian kalau ada pihak-pihak yang butuh bantuan dana, seperti warga yang tertimpa bencana dan lainnya. “Lalu, ada juga LPBINU di bidang kebencanaan. Plus tentu ada penunjang yang lain, ada Muslimat NU, Fatayat NU, Ansor, Banser, dan lainnya,” ungkapnya. Sikap kepedulian yang dilakukan Nahdlatul Ulama itu merupakan amanah dari muassis NU Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, yang dituangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) organisasi. Mengingat, NU adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, yang juga bergerak di bidang kepedulian sosial. “NU itu (organisasi) diniyah dan ijtimaiyah. Jadi, organisasi yang bergerak di bidang keagamaan. Bagaimana orang dari gak bisa shalat menjadi shalat, dari gak bisa ngaji bisa menjadi suka ngaji, dan seterusnya. Itu tugas NU diniyah,” ucapnya. “Lalu ada juga tugas kemanusiaan, itu ijtimaiyah. Termasuk yang hari ini kita kesini meninjau, mapping, terus memberi sedikit bantuan. Insyaallah nanti ada kelanjutan,” imbuh Kiai Marzuki. Dirinya juga mewanti-wanti agar warga NU punya kepedulian terhadap musibah yang menimpa warga, salah satunya dengan memberi bantuan kepada warga yang membutuhkan. “Kita berharap warga NU semuanya peduli. Karena satu saat mungkin kita yang terkena musibah. Kita harus mau membantu orang lain,” ujarnya. Perihal bantuan, Kiai Marzuki menekankan agar Nahdliyin dan masyarakat umum dapat menyalurkan donasinya kepada warga terdampak banjir lahar dingin Semeru melalui LAZISNU. Sebab, LAZISNU merupakan lembaga departementasi NU yang diberi kewenangan untuk menghimpun dan mentasarrufkan dana bantuan. “Tadi saya sudah nyebar video (ajakan berdonasi). Mohon supaya memberi donasi. Dan selama ini warga NU sudah tahu mereka mengirim lewat LAZISNU,” tegasnya. Sulis salah seorang warga RT.04 Dusun Kedung Wringin Desa Nguter, menyampaikan terima kasih atas bantuan yang diberikan. “Terima kasih semua bantuan untuk warga saya yang kena dampak,” katanya. Ia mengatakan, bahwa di RT. 04 bagian pinggir kali ada tujuh rumah yang terdampak banjir lahar dingin Semeru. Rumah-rumah penduduk itu tampak tertimbun pasir dengan ketinggian mencapai hingga 1 meter. “Terima kasih sudah ada bantuan. Semoga dapat imbalan yang sebesar-besarnya. Semoga tidak ada bencana lagi. Terima kasih ya,” tandasnya. (yan)

Read More

KH Nur Ali, Sang Singa Kerawang Bekasi

Bekasi – 1miliarsantri.net : KH Noer Ali adalah sosok ulama besar Bekasi yang sangat disegani masyarakat Bekasi dari zaman penjajahan hingga sekarang. Beliau menjadi panutan bagi masyarakat Bekasi. Beliau juga memiliki banyak julukan karena beliau ikut serta dalam perang melawan penjajahan. KH Noer Ali putra asli Bekasi yang tidak hanya disegani para masyarakat biasa, tetapi juga oleh para pejabat pemerintah kota dan pemerintah kabupaten Bekasi. Beliau sangat disegani dan dihormati. Karena ini beliau mendapat julukan Singa Karawang-Bekasi. Beliau juga memiliki wawasan keislaman yang tidak diragukan lagi. Beliau belajar keislaman kepada ulama-ulama besar yang ada di Indonesia dan juga ulama dari Tanah Suci Makkah. Lahir pada 15 Juli 1914 di Desa Ujung Malang Bekasi. Beliau merupakan putra dari seorang ayah yang bernama Anwar bin Layu dan ibunya yang bernama Hj Maemunah. Keduanya adalah seorang petani. Sejak kecil memiliki semangat dalam memperlajari ilmu-ilmu agama. Pada saat berusia 8 tahun, mulai mengaji di daerah Kampung Bulak Bekasi yang bernama Guru Maksum. Beliau mempelajari ilmu Bahasa Arab, tauhid dan fiqih. Beliau juga belajar kepada guru Mughni di Ujung Malang yang sekarang nama tersebut menjadi Ujung Harapan. Ketika memasuki fase usia remaja, KH. Noer Ali pergi ke tempat guru lainnya yang bernama Guru Marzuqi yang melahirkan alim ulama Betawi terkemuka. Banyak warga sekitar yang mempercayai bahwasannya beliau pernah pergi ke beberapa tempat, diantaranya Kampung Cipinang Muara, Klender (Jakarta Timur). Saat usia dewasa, KH. Nur Ali terus memperdalam ilmu agama Islamnya yang sehingga menjadi santri paling cerdas dan diakui juga oleh para sang guru-gurunya. Pada saat masa pendidikannya, beliau selalu memperdalam wawasan agama Islam, di saat itulah beliau melihat dengan mata kepalanya sendiri masyarakat di sekitarnya yang dijajah oleh apparat kolonial. Oleh karena itu beliau menjadi semangat untuk mencintai Tanah Air dari dalam diri dan juga mengalir kedalam jiwanya. Di tahun 1934, menginjak usia 20 tahun, beliau mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan jbadah haji ke Tanah Suci sekaligus memperdalam ilmu agama Islam. Di sana beliau mendapat pengajaran langsung oleh tokoh besar yaitu Syekh Umar Hamdan, Syekh Ahmad Fatoni, hingga Syekh Muhammad Amin Al-Quthbi. Tidak hanya itu beliau juga memperlajari ilmu-ilmu politik Islam yang di antaranya Organisasi Persatuan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) dan juga menjadi ketua Persatuan Pelajar Betawi. Setelah melaksanakan ibadah haji dan mempelajari ilmu agama Islam dan ilmu politik, beliau kembali ke tanah air. Beliau tiba di Batavia (Jakarta) pada tahun 1940 dan langsung mendirikan Pesantren yang bernama At-Taqwa di kampung halamannya yaitu Ujung Malang Bekasi. Dibangunnya pesantren itu menandakan baktinya kepada guru-guru yang sudah mengajarinya banyak ilmu. Pada zaman kedudukan Jepang dan Belanda, semangat dari KH Noer Ali menjadi membara seperti api, karena itu KH Noer Ali memberitahu bahwasannya anak muda Indonesia harus memperoleh ilmu militer modern daripada penjajahan. Untuk mempersiapkan kemerdekaan menyongsong kemerdekaan RI, dalam hal itu banyak santri santrinya ikut dalam prajurit-prajurit yang dibentuk oleh pada penjajah. Bertepatan pada tahun 1945, beliau membentuk Laskar Rakyat dengan 200 pemuda untuk menumbuhkan mental dan tekad mereka dalam melawan penjajah. Pemuda itu berdatangan dari kalangan santri dan pemuda Babelan di Ujung Malang, Tarumajaya, Cilincing, dan Muara Gembong. Di sana meraka dilatih oleh kemiliteran TKR Bekasi dan Jatinegara. Mereka juga melaksanakan puasa selama 7 hari di Mesjid Ujung Malang yang bernama Mesjid At-Taqwa. Setelah berbagai perjuangan yang telah dihadapi, Republik Indonesia mendapat kemerdekaanya pada 17 agustus 1945. Oleh karena itu beliau juga disebut “Si Belut Putih” dan juga “Sang Singa Karawang-Bekasi”. Pada saat mempejuangkan tegaknya NKRI. Beliau juga mempunyai sahabat perjuangannya pada saat peperangan yaitu, Panglima Besar Jendral Sudirman dan Bung Tomo Kenapa beliau disebut Sang Singa Karawang-Bekasi, karena pada tahun 1947 berhasil memukul mundur pasukan penjajahan belanda dengan tentaranya yang sudah dilatih nya. Selain itu, pada saat itu beliau mengomandoi markas pusat Hizbullah-Sabilillah Jakarta. Dikisahkan bawah pasukan belanda sangat kesulitan dalam menangkap KH Noer Ali. Pada saat itu beliau mendapat julukan sebagai “Si Belut Putih Karawang-Bekasi”. (fh)

Read More

Prof Nasaruddin Umar : Tempat Membangun Di Era Peradaban Digital Adalah Masjid

Jakarta – 1miliarsantri.net : Ketua Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI), Prof Dr KH Nasaruddin Umar, memaparkan, masjid merupakan tempat untuk membangun orang-orang yang bersujud serta membangun peradaban yang lebih tinggi dan lebih kuat. Masjid menjadi tempat membangun peradaban khusus nya di era digital saat ini. “Dibangunnya masjid tidak hanya sebagai tempat sujud, akan tetapi tujuannya adalah masjid juga sebagai tempat untuk membangun orang-orang yang sujud, membangun peradaban yang lebih tinggi dan lebih kuat,” ujar Prof Nasar saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Insa Cita Indonesia (UICI), Jakarta, Rabu (12/07/2023). سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ “Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS Al-Isra: 1) Prof Nasar menjelaskan, ayat tersebut memberi isyarat tentang pembangunan peradaban dari masjid. Apalagi, ayat tersebut turun beradasarkan peristiwa Isra dan Mi’raj Rasulullah SAW. Peristiwa dikenal umat Islam sebagai salah satu tonggak gerakan dakwah Nabi Muhammad SAW dalam membangun peradaban di muka bumi. “Masjid Haram artinya tertutup, sangat limited. Sedangkan Aqsha unlimited, paling jauh. Jadi, kita starting poinnya dari tempat yang sangat tertutup kemudian menuju ke space yang unlimited (Aqsha),” ujar Prof Nasar. Selain tempat bersujud, kata dia, masjid juga dibangun sebagai wilayah konsentrasi untuk bisa menciptakan sesuatu yang lebih tinggi dan kuat. Dari tempat sujud, Allah akan membawa hamba-Nya ke tempat yang lebih tinggi. “Masjid adalah space untuk menghadirkan as-sajiid yaitu orang sujud serta untuk ‘menerbangkan kita ke Al-Aqsa’ (tempat yang luas),” tuturnya. Dia menceritakan, di Istiqlal terdapat kontradiktif antara lantai satu dan dua. Di lantai satu adalah ruang perkantoran BPMI. Di tempat itu, pengurus Masjid Istiqlal seperti ditantang untuk bisa hidup seribu tahun mendatang. “Namun, di lantai dua (area ibadah), kita seolah-olah mau mati besok,” ujarnya. Sebagaimana ungkapan motivasi yang lumrah didengar khalayak, “I’mal lidunyaaka ka-annaka ta’isyu abadan, wa’mal li-aakhiratika ka-annaka tamuutu ghadan. (Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya. Beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.), “Jadi Istiqlal, ‘dunia akhirat’, ‘dunianya’ di lantai satu (perkantoran BPMI) dan ‘akhiratnya’ di lantai dua (area ibadah),” ungkap Nasaruddin Umar. (rid)

Read More

Jejak Utsmaniyah Sangat Terasa di Negeri Kanguru

Melbourne – 1miliarsantri.net : Syiar perkembangan Islam terus tumbuh di Australia. Secara demografis, Negeri Kanguru menyaksikan tren peningkatan. Berdasarkan data dari biro pusat statistik setempat, pada 2016 terdapat 604.200 warga yang memeluk Islam di sana. Artinya, ada peningkatan sekitar 15 persen bila dibanding hasil sensus pada 2011 silam. Untuk mengakomodasi kepentingan warganya yang Muslim, pemerintah Australia mengupayakan lanskap tata ruang yang lebih mendukung. Sebagai contoh, di Melbourne, ibu kota negara bagian Victoria, terdapat sebuah masjid raya yang menjadi pusat kegiatan keislaman. Bangunan yang berdiri sejak tahun 1992 itu dikenal sebagai Masjid Sunshine. Namanya secara harfiah berarti ‘masjid cahaya mentari,’ tetapi sunshine itu pun merupakan sebutan untuk distrik setempat. Hingga kini, tempat ibadah itu merupakan masjid terbesar di seluruh Victoria. Informasi yang tersedia pada laman resmi Masjid Sunshine menyebutkan, pembangunannya bermula dari komunitas imigran Muslim asal Siprus. Mereka merantau ke Australia dari negeri pulau Mediterania itu. Bagaimanapun, silsilahnya mengakar hingga ke Turki. Karena itulah, perkumpulannya disebut sebagai The Cyprus Turkish Islamic Community of Victoria (Masyarakat Muslim Turki-Siprus di Victoria). Pada mulanya, mereka membangun sebuah mushala sederhana di kawasan Richmond, Clifton Hill. Lambat laun, tempat ibadah itu tidak lagi sanggup menampung jamaah yang jumlahnya kian bertambah. Setelah bermusyawarah, para tokoh Muslim setempat sepakat untuk merelokasi bangunan itu ke Jalan Ballarat, Sunshine, pada 1985. Tidak mungkin lagi untuk membangun tempat seluas mushola sebelumnya. Komunitas Muslim tersebut pun berupaya untuk menggalang biaya agar bisa memodali berdirinya sebuah masjid besar. Seorang anggota dengan ikhlas memberikan rumahnya sebagai jaminan untuk meminjam uang dari bank. Maka terkumpul dana sebesar 191 ribu dolar Amerika Serikat (AS) saat itu. Uang tersebut menjadi modal awal bagi komunitas Muslim Turki-Siprus ini. Mereka lalu membeli sebuah lahan di tepi Jalan Ballarat No 618. Sesudah itu, di atasnya dibangunlah sebuah masjid baru. Pembangunannya mengalami pasang-surut. Sempat terjadi mangkrak, tetapi umat Islam Victoria pantang menyerah. Mereka lantas berhasil menghimpun dana hingga 2,5 juta dolar AS Proyek pendirian masjid ini pun diteruskan. Beberapa tahun kemudian, fasilitas yang diidam-idamkan itu tuntas berdiri. Peresmiannya disaksikan tokoh-tokoh Islam serta pemerintah daerah lokal. Tampilan Masjid Sunshine menyuguhkan corak arsitektur Islam khas Turki Utsmaniyah. Pemilihan tema itu memang wajar karena para pendirinya merupakan orang-orang Australia yang keturunan Turki. Menurut Serkan Hussein dalam Yesterday and Today: Turkish Cypriots of Australia (2007), bentuk Masjid Sunshine menyerupai Masjid Sultan Ahmad alias Masjid Biru, salah satu bangunan ikonis yang ada di Istanbul. Apabila Masjid Biru memiliki 13 kubah, Masjid Sunshine dilengkapi 17 kubah. Semuanya tersusun dengan padu, mengikuti gaya arsitektur klasik Mimar Sinan. Masjid Biru dihiasi enam menara yang menjulang tinggi. Sementara, Masjid Sunshine “hanya” mempunyai sebuah menara. Bentuknya seperti pensil raksasa, ramping dan runcing pada bagian ujungnya. Kini, Masjid Sunshine merupakan representasi pencapaian dan persembahan dari generasi Muslim sebelumnya kepada umat Islam. Khususnya bagi komunitas Turki-Siprus, kompleks ini tidak hanya sekadar tempat ibadah. Masjid tersebut juga menjadi semacam banguna Adapun bagi masyarakat luas Australia, termasuk warga yang non-Muslim, keberadaan fasilitas keislaman ini boleh jadi penyegar mata. Ini adalah hadiah arsitektur Utsmaniyah yang dapat dikagumi saat mereka melewati jalan utama dari dan menuju Kota Melbourne. Berpadu harmonis Kemiripan Masjid Sunshine dengan Masjid Biru tidak hanya pada sisi eksterior, tetapi juga interiornya. Anda akan merasakan suasana yang menenteramkan hati saat memasukinya. Di dalam bangunan utama masjid daerah suburban Melbourne itu, “hanya” ada beberapa tiang. Sedikitnya jumlah tiang itu karena bentuk atapnya yang setengah bola. Mungkin bagian langit-langit Masjid Sunshine tidak semegah Masjid Biru. Namun, kesamaan antara keduanya tampak pada hadirnya gambar-gambar kaligrafi dan hiasan geometris. Khususnya pada sisi dalam kubah utama, ornamen-ornamen yang ada menyajikan keserasian antara lukisan dan latar. Pada pusatnya, terdapat kaligrafi ayat Alquran. Sementara itu, 99 Asmaul Husna tergurat pada bagian pinggiran langit-langit yang melingkar itu. Sedikit perbedaannya dengan Masjid Biru, pada masjid yang dibangun komunitas Muslim Australia itu tidak terpasang banyak lampu gantung. Hanya ada sebuah lampu kristal yang tergantung di tengah langit-langit. Bagaimanapun, penerangan bukanlah masalah besar di sini. Sebab, ada banyak jendela sebagai tempat masuknya sinar matahari dari luar. Warna yang mendominasi bangunan utama masjid di Australia ini ialah putih, sedangkan interior Masjid Biru diselimuti warna krem-kecokelatan. Pada bagian lengkung langit-langitnya juga terdapat selang-seling warna merah-bata dan putih. Tampilan itu mengingatkan pengunjung pada gaya masjid-masjid klasik di Andalusia (Spanyol). Alhasil, pencampuran macam-macam corak arsitektur itu menandakan perpaduan yang harmonis pada Masjid Sunshine. (man)

Read More