Fatwa MUI Tentang Pajak Berkeadilan, Ini Redaksi Lengkapnya

Fatwa MUI tentang konsep pajak berkeadilan di Indonesia, memuat poin inti, prinsip syariah, dan implikasi bagi pemerintah, pelaku usaha, serta masyarakat. Jakarta 1miliarsantri.net: Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menegaskan pentingnya sistem perpajakan yang tidak hanya kuat secara regulasi, tetapi juga sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan syariah. Fatwa terbaru yang dirilis MUI menekankan bahwa pemungutan pajak diperbolehkan selama memenuhi unsur keadilan, transparansi, dan kemaslahatan publik. Dalam fatwa tersebut, MUI menjelaskan bahwa pajak dapat menjadi instrumen negara untuk menjaga keberlangsungan layanan publik, mengurangi kesenjangan, dan mendukung pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan umum. Namun, MUI mengingatkan bahwa pajak harus diberlakukan secara proporsional—baik dari sisi tarif, objek, maupun mekanisme penagihan—agar tidak menimbulkan beban berlebih bagi masyarakat dan pelaku usaha. Redaksi lengkap Fatwa MUI tentang Pajak Berkeadilan yang dikutip dari laman resmi Majelis Ulama Indonesia: Ketentuan Hukum 1. Negara wajib dan bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 2. Dalam hal kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara untuk  mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut: a. Pajak penghasilan hanya dikenakan kepadawarga negara yang memiliki kemampuan secara finansial yang secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas. b. Objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan / atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier(hajiyat dan tahsiniyat). c. Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas. d. Penetapan pajak harus berdasar pada prinsip keadilan. e. Pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum (‘ammah). 3. Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak, secara syar’i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah(ulil amri), oleh karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan.  4. Barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebanipajak secara berulang (double tax). 5. Barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako (sembilan bahan pokok), tidak boleh dibebani pajak. 6. Bumi dan bangunan yang dihuni (non komersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang. 7. Warga negara wajib ⁠menaati aturan pajak yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimanadimaksud pada angka 2 dan 3. 8. Pemungutan pajak yang tidak sesuai denganketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 hukumnya haram. 9. Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan angka 2 dan 3, (zakat sebagai pengurang pajak). Rekomendasi 1. Untuk mewujudkan perpajakan yang berkeadilandan berpemerataan maka pembebanan pajakseharusnya disesuaikan dengan kemampuanwajib pajak (ability pay). Oleh karena itu perluadanya peninjauan kembali terhadap beban perpajakan terutama pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar. 2. Pemerintah harus mengoptimalkan pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara dan menindak para mafia pajak dalam rangka untuk sebesar-besar untuk kesejahteraan masyarakat. 3. Pemerintah dan DPR berkewajiban mengevaluasi berbagai ketentuan perundang-undangan terkait perpajakan yang tidak berkeadilan dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman. 4. Kemendagri dan pemerintah daerah mengevaluasi aturan mengenai pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai (PPn), pajakpenghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), pajakwaris yang seringkali dinaikkan hanya untuk menaikkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. 5. Pemerintah wajib mengelola pajak dengan amanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman. 6. Masyarakat perlu mentaati pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah jika digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah). Ketua MUI Bidang Fatwa periode 2025-2030 Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh mengingatkan warga negara wajib menaati aturan pajak sebagai wujud tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia juga menegaskan mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan. Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber : MUI Foto : Logo MUI

Read More

Kekuatan Sunyi Sedekah Diam-Diam di Tengah Kehidupan Modern

Malang – 1miliarsantri.net : Di tengah hiruk pikuk media sosial dan budaya pamer yang semakin mendominasi kehidupan modern, praktik sedekah diam-diam menjadi bentuk kedermawanan yang semakin langka, namun justru kian bermakna. Di era ketika setiap bantuan sosial seringkali direkam, dipublikasikan, dan dikapitalisasi demi citra, munculnya kesadaran untuk berbagi secara tersembunyi menawarkan napas segar dalam lanskap filantropi. Sedekah yang dilakukan tanpa diketahui orang lain bukan hanya bentuk ketulusan, tetapi juga representasi nilai spiritual yang dalam. Inilah kekuatan sunyi yang perlu terus dirawat dalam kehidupan sosial masyarakat. Spirit Keikhlasan dalam Sedekah Diam-Diam Sedekah diam-diam tidak hanya menyangkut tindakan memberi, tetapi juga menyangkut bagaimana hati bekerja dalam keheningan. Dalam praktik ini, tidak ada ekspektasi pujian atau balasan dari manusia, hanya hubungan langsung antara pemberi dan Allah. Hal ini memberikan kekuatan moral yang besar karena menempatkan keikhlasan sebagai inti dari tindakan. Di saat banyak aksi sosial terjebak dalam ajang pembuktian diri, memberi dalam diam menjaga esensi luhur dari filantropi itu sendiri. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman,   “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir,   maka itu  lebih baik bagimu…” (QS Al-Baqarah: 271). Ayat ini menegaskan bahwa sedekah yang dilakukan dalam kerahasiaan memiliki keutamaan tersendiri, terutama dalam menjaga hati dari riya dan menjaga martabat penerima. Lebih dari sekadar ibadah personal, sedekah diam-diam juga menyimpan kekuatan sosial. Ia menghindarkan penerima dari rasa malu atau perasaan inferior karena bantuan yang diterima tidak diumumkan secara publik. Dalam banyak kasus, bantuan yang diberikan secara rahasia justru lebih menyentuh dan memberi rasa aman bagi yang menerimanya. Maka dari itu, praktik ini seharusnya menjadi inspirasi dalam menata ulang praktik pemberian dalam masyarakat yang mulai kehilangan makna tulus dalam berbagi. Sedekah Diam-Diam sebagai Kontrapolisi Budaya Pamer Budaya visual dalam era digital menempatkan eksistensi sebagai sesuatu yang harus ditampilkan. Banyak orang merasa perlu menunjukkan segala bentuk kebaikan, termasuk saat bersedekah. Namun, sedekah diam-diam hadir sebagai perlawanan terhadap narasi tersebut. Ia mengajarkan bahwa tidak semua kebaikan harus diumumkan, dan bahwa kebajikan sejati justru terletak dalam ketidaknampakan. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menyebut tujuh golongan yang akan mendapat naungan di hari kiamat, salah satunya adalah :     “seseorang yang bersedekah, lalu ia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan tangan kanannya.” (HR Bukhari dan   Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa nilai tertinggi dalam sedekah adalah keikhlasan yang sempurna sampai-sampai diri sendiri pun tidak merasa sedang “memberi”. Inilah bentuk spiritual tertinggi dari amal sosial. Jauh lebih penting, masyarakat perlu diberi ruang untuk menumbuhkan kepercayaan bahwa memberi tanpa disaksikan publik tetap bernilai. Bahkan, nilai spiritual dan sosialnya bisa jauh lebih besar. Praktik ini mengembalikan kemurnian dalam tindakan sosial, membebaskannya dari kepentingan ego dan tekanan eksistensial. Dengan begitu, sedekah diam-diam bisa menjadi bentuk revolusi sunyi terhadap budaya konsumtif dan narsistik yang menggerus nilai-nilai kesederhanaan. Membangun Budaya Sedekah Diam-Diam Sejak Dini Penting untuk membangun kesadaran tentang nilai sedekah diam-diam sejak usia dini. Pendidikan keluarga dan lingkungan sekolah bisa menjadi ruang awal untuk mengenalkan konsep memberi dengan keikhlasan tanpa pamrih. Anak-anak perlu belajar bahwa berbagi bukan soal dilihat orang lain, tetapi tentang merasakan kebahagiaan ketika bisa meringankan beban sesama secara tulus. Masyarakat juga bisa menciptakan ekosistem filantropi yang mendukung aksi tanpa eksposur, seperti kotak amal anonim, rekening bantuan tanpa identitas, atau program sosial yang tidak mencantumkan nama donatur. Semua ini memungkinkan lebih banyak orang terlibat dalam kebaikan tanpa merasa harus menonjolkan diri. Di tengah dunia yang makin bising oleh citra dan pengakuan, sedekah diam-diam adalah suara sunyi yang menguatkan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menjadi jembatan antara keikhlasan personal dan dampak sosial, serta penyeimbang dalam kehidupan yang makin penuh kepentingan. Sudah saatnya, praktik sedekah diam-diam dikembalikan sebagai budaya utama dalam filantropi kita. Penulis : Ramadani Wahyu Editor : Iffah Faridatul Hasanah & Toto Budiman

Read More

Menyingkap Khazanah Keislaman Indonesia yang Tersembunyi

Malang – 1miliarsantri.net : Indonesia memiliki kekayaan luar biasa dalam bidang keislaman yang belum banyak tergali. Khazanah keislaman Indonesia, berupa manuskrip klasik, tradisi pesantren, pemikiran Islam lokal, hingga praktik sosial keagamaan, tersebar luas di berbagai wilayah. Namun, sebagian besar dari warisan intelektual dan budaya ini masih tersembunyi di balik minimnya riset, dokumentasi, serta perhatian publik dan negara. Padahal, bila dikelola dan dikembangkan dengan serius, khazanah keislaman Indonesia bisa menjadi salah satu kekuatan lunak bangsa di kancah global. Keberadaan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam tradisional telah lama menjadi penjaga utama khazanah keislaman Indonesia. Melalui pengajaran kitab kuning dan penanaman nilai-nilai moral serta spiritualitas Islam, pesantren membentuk karakter keislaman yang khas, inklusif, moderat, dan berakar pada nilai-nilai lokal. Di pesantren inilah tafsir, fikih, akhlak, hingga filsafat Islam berkembang dalam konteks Nusantara. Namun sayangnya, banyak catatan, manuskrip, dan tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun belum terdokumentasi dengan baik. Potensi besar ini berisiko hilang bila tidak segera digarap secara serius. Ekspresi Lokal Khazanah Keislaman Indonesia Selain itu, gagasan Islam Nusantara sebagai ekspresi lokal dari ajaran Islam merupakan bagian penting dari khazanah keislaman Indonesia. Corak Islam yang tumbuh di bumi Nusantara memperlihatkan kemampuan ajaran Islam beradaptasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan substansi nilai-nilainya. Misalnya, dari praktik budaya seperti sekaten di Jawa, tabuik di Sumatera Barat, hingga zikir saman di Aceh, terlihat bahwa nilai-nilai Islam tumbuh berdampingan dengan kearifan lokal. Ini menjadi bukti bahwa Islam di Indonesia memiliki kekhasan yang bisa dijadikan model harmonisasi agama dan budaya di dunia global yang cenderung polaristik. Namun, masih banyak tantangan yang dihadapi dalam menggali potensi ini. Kurangnya dokumentasi dan riset akademik menjadi masalah utama. Banyak manuskrip klasik masih tersimpan dalam kondisi tidak layak di pesantren-pesantren kecil atau rumah-rumah keturunan ulama. Proses digitalisasi berjalan lambat dan belum menjadi prioritas nasional. Di sisi lain, masih terbatasnya akademisi yang memiliki kemampuan mengkaji teks-teks klasik dalam bahasa Arab Pegon atau Jawi turut menghambat proses penggalian pengetahuan ini. Hal ini diperparah dengan kurangnya dukungan institusional terhadap program studi yang fokus pada Islam lokal atau khazanah pesantren. Khazanah Keislaman Indonesia Kontemporer Dalam konteks kontemporer, sebenarnya khazanah keislaman Indonesia juga mencakup bidang ekonomi dan filantropi Islam. Potensi zakat, infak, sedekah, dan wakaf sangat besar. Namun, data menunjukkan bahwa potensi ekonomi syariah yang mencapai ratusan triliun rupiah baru dimanfaatkan sebagian kecil saja. Padahal jika digarap dengan serius dan transparan, lembaga-lembaga zakat dan wakaf bisa menjadi instrumen keuangan sosial yang tidak hanya memperkuat solidaritas umat, tetapi juga mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Sayangnya, potensi ini sering kali terbentur oleh regulasi yang tumpang tindih, lemahnya tata kelola, dan minimnya literasi masyarakat. Upaya Strategis Khazanah Keislaman Indonesia Perlu ada upaya strategis yang melibatkan berbagai pihak baik negara, pesantren, kampus, masyarakat sipil, dan media massa untuk menggali, merawat, serta mempromosikan khazanah keislaman Indonesia ke ranah publik. Hal Ini bukan hanya soal pelestarian budaya, tetapi juga membangun fondasi pemikiran dan spiritualitas Islam yang kontekstual dan mampu menjawab tantangan zaman. Apalagi di tengah menguatnya arus globalisasi dan digitalisasi, posisi Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia seharusnya bisa menjadi pusat rujukan Islam yang damai, dinamis, dan berakar kuat pada tradisi. Membangun kesadaran kolektif akan pentingnya khazanah keislaman Indonesia adalah pekerjaan panjang yang perlu dimulai sekarang. Jika tidak, kita akan kehilangan aset peradaban yang sangat berharga. Karena itulah, pelestarian dan pengembangan khazanah keislaman Indonesia tidak boleh lagi menjadi proyek elit atau akademisi semata, melainkan harus menjadi gerakan bersama yang menempatkan tradisi Islam lokal sebagai bagian dari masa depan umat Islam Indonesia dan dunia. Khazanah keislaman Indonesia adalah warisan sekaligus potensi yang harus dirawat, digali, dan diperjuangkan agar tidak sekadar menjadi bagian dari masa lalu, tetapi juga pijakan untuk masa depan yang lebih berkeadaban. Penulis : Ramadani Wahyu Editor : Iffah Faridatul Hasanah & Toto Budiman

Read More

Pohon Kamper Disebut Dalam Al-Qur’an, Ternyata Tumbuh Subur Di Indonesia

Bekasi – 1miliarsantri.net: Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Al-Qur’an yang diturunkan di Jazirah Arab ternyata menyebut tentang “kamper” atau kāfūr, sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Insan ayat 5, Allah berfirman: اِنَّ الْاَبْرَارَ يَشْرَبُوْنَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُوْرًاۚ “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas yang campurannya adalah kāfūr.” (QS. Al-Insan: 5) Dalam tafsir, kafur digambarkan sebagai minuman surga yang sejuk dan harum. Namun yang menarik, pohon kamper—sumber kapur barus alami—justru tumbuh subur di Nusantara, bukan di tanah Arab. Kamper (kāfūr) Dari Ayat ke Fakta Disebutkan dalam Al-Qur;an, namun di Arab Saudi tidak ada pohon kamper, sementara di Indonesia “Pohon Kamper” dengan nama latin “Dryobalanops aromatica” tumbuh menjulang tinggi hingga 60 meter. Pohon ini menghasilkan kapur barus yang sejak ribuan tahun lalu jadi komoditas dagang. Sejarah perdagangan membuktikan bangsa Arab dan Persia berlayar jauh ke Sumatera dan Kalimantan untuk mencari kapur barus, menjadikannya salah satu rempah paling berharga di jalur perdagangan internasional. Hikmah Di Balik Ayat Tentang Kamper Universalitas Wahyu – Al-Qur’an menyebut tanaman yang tidak tumbuh di Arab, menegaskan pesan wahyu berlaku lintas geografi. Simbol Kesucian – Kamper dipakai dalam pemulasaraan jenazah karena aromanya yang suci dan menenangkan, selaras dengan gambaran minuman surga. Jejak Peradaban – Penyebutan kamper mengingatkan pada hubungan dagang kuno antara Timur Tengah dan Nusantara. Pesan Ekologi – Kini pohon kamper terancam punah. Ayat ini bisa dibaca sebagai pengingat untuk menjaga kelestarian alam. Barus atau kapur barus (Dryobalanops aromatica), biasa juga disebut kamper sumatra, kamper melayu, atau kamper borneo, adalah spesies tumbuhan yang sudah mulai langka yang termasuk dalam famili Dipterocarpaceae. Nama spesies aromatica diambil dari bahasa Latin: aromaticus yang berarti seperti rempah-rempah, dan mengacu pada bau damar (resin).  Pohon kamper adalah contoh nyata bagaimana ayat Al-Qur’an menyentuh realitas lintas budaya. Ia bukan sekadar tumbuhan tropis, melainkan simbol spiritual, sejarah perdagangan, dan pesan ekologis yang relevan hingga kini. Yuk ikuti terus rubrik khazanah dan bangkitkan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup.*** Penulis : Thamrin Humris Editor : Thamrin Humris Sumber dan Foto : bing.com, wikipedia

Read More

Tantangan Tenaga Pendidik di Tengah Krisis Moral dan Adab

Bondowoso – 1miliarsantri.net : Dalam kehidupan modern saat ini, dunia pendidikan menghadapi banyak perubahan dan tekanan sosial. Salah satu isu penting yang tak bisa diabaikan adalah tantangan tenaga pendidik di tengah krisis moral dan adab yang semakin terasa di berbagai lapisan masyarakat. Para guru dan tenaga pendidik kini tidak hanya dituntut untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan budi pekerti peserta didik agar tetap memiliki nilai moral yang kuat di tengah derasnya arus globalisasi. Sebagai bagian penting dari sistem pendidikan, tenaga pendidik berperan bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai teladan yang harus mampu memberikan contoh dalam bersikap dan bertindak. Namun, di tengah kemajuan teknologi dan gaya hidup yang serba instan, peran ini semakin menantang. Nilai kesopanan, rasa hormat, dan tanggung jawab perlahan mengalami pergeseran. Di sinilah tantangan terbesar muncul bagaimana tenaga pendidik mampu menjaga semangat mendidik dengan hati, di tengah krisis moral yang kian kompleks. The Utsmani Leader School, Membina Siswa dengan Al-Qur’an dan STIFIn Sekolahnya para leader Indonesia menjadi fokus tujuan pembinaan terhadap siswa The Utsmani Leader School. Beralamat di Perum Alam Pesona Wanajaya (APW) Blok P-25, No. 36-37, Cibitung, Bekasi. Sekolah ini mendidik para siswanya menjadi pribadi yang unggul, Qur’ani, cerdas dan bermanfaat buat keluarga, masyarakat serta negara. Beragam prestasi telah diraih alumni sekolah dan mengantarkan anak didiknya mendapatkan beasiswa dan golden tiket di PTN dan PTS lewat jalur prestasi dan tahfidz yang menjadi program unggulannya. Saat ini pendaftaran TA 2026/2027 sudah dibuka. Saat yang tepat bagi para wali murid untuk Konsultasi Gratis pendidikan tingkat buah hati di WA 0812-1863-4426. Calon anak didik akan belajar sesuai minat bakat, gaya belajar dan jurusan sekolah yang tepat dengan menggunakan metode STIFIn. Baca juga : Kesetaraan akses pendidikan keagamaan Sekolah Masa Depan, Hadir di Masa Kini dengan Karakter Qur’ani Di era digital seperti sekarang, perkembangan teknologi memang memberikan banyak manfaat bagi dunia pendidikan. Namun di sisi lain, perubahan ini juga membawa tantangan baru bagi para tenaga pendidik. Banyak siswa lebih akrab dengan gawai daripada buku, lebih terbiasa berkomunikasi lewat media sosial dibandingkan berbicara langsung dengan guru. Situasi ini membuat hubungan pendidik dan peserta didik menjadi lebih renggang dan formal, padahal nilai moral dan adab tumbuh dari interaksi yang manusiawi dan hangat. Para pendidik di The Utsmani Leader School kini bertransformasi menjadi filter dan pembimbing yang tidak hanya memberi pengetahuan, tetapi juga menanamkan sikap bijak dalam menyaring informasi. Sekaligus sebagai Teladan dan Pembentuk Karakter Qur’ani. Menjadi guru di masa kini bukan hanya soal mengajar di depan kelas, tetapi juga menjadi panutan di luar ruang belajar. Dalam menghadapi tantangan tenaga pendidik di tengah krisis moral, seorang guru harus hadir sebagai figur yang memberi inspirasi melalui sikap dan perilaku. Keteladanan merupakan salah satu kunci utama dalam pendidikan karakter. Murid belajar bukan hanya dari apa yang mereka dengar, tetapi dari apa yang mereka lihat dan rasakan. Tantangan ini tentu tidak mudah. Banyak guru yang menghadapi dilema ketika nilai-nilai moral yang mereka ajarkan tidak lagi sejalan dengan kebiasaan yang berkembang di lingkungan sosial siswa. Baca juga : pendidikan karakter dalam islam Namun di sinilah pentingnya konsistensi dan keteguhan hati. Pendidik The Utsmani Leadership School terus memperkuat nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan saling menghargai. Melalui ketulusan dan pendekatan yang manusiawi, guru dapat membangun kembali jembatan moral yang mulai retak di tengah masyarakat modern. Pada akhirnya, tantangan tenaga pendidik di tengah krisis moral dan adab adalah perjuangan panjang yang membutuhkan keteguhan hati, kesabaran, serta kerja sama dari berbagai pihak. Pendidik bukan sekadar pengajar, melainkan sosok pembentuk masa depan bangsa. Meski perubahan zaman tidak bisa dihentikan, nilai-nilai moral dan adab harus tetap dijaga agar generasi yang lahir bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter kuat dan berjiwa luhur. Semoga para tenaga pendidik di seluruh Indonesia terus diberi kekuatan dan keikhlasan untuk menjalankan peran mulia ini, menghadapi setiap tantangan dengan dedikasi yang tak pernah pudar. Karena di tangan merekalah, masa depan bangsa ini dibentuk dengan nilai, moral, dan harapan.(**) Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Editor : Toto Budiman Foto Ilustrasi AI

Read More

Shalat Subuh: Awal Hari yang Menentukan Keberkahan Hidup

Bogor – 1miliarsantri.net : Bayangkan, saat dunia masih terlelap dalam gelapnya malam, ada sekelompok orang yang sudah bergegas mengambil air wudhu, menenangkan diri, dan berdiri menghadap Allah di waktu Subuh. Momen singkat itu ‘dua rakaat Shalat Subuh’ bukan hanya kewajiban, tetapi juga titik awal yang dapat menentukan kualitas seluruh hari kita. Waktu Subuh adalah transisi alami, dari tidur menuju aktivitas, dari gelap menuju terang. Mereka yang rutin menunaikan Shalat Subuh merasakan perubahan nyata badan lebih segar, pikiran lebih jernih, hati lebih tenang. Tak sedikit orang sukses yang memulai hari sebelum matahari terbit, memanfaatkan ketenangan pagi untuk merancang langkah-langkah besar dalam hidup mereka. Shalat Subuh yang khusyuk bisa menjadi “pemantik semangat.” Satu doa yang tulus dan fokus di pagi hari, meski singkat, dapat membentuk energi positif yang menuntun kita menjalani aktivitas dengan produktivitas dan ketenangan. Sebaliknya, melewatkan Subuh sering kali membuat pagi terasa terburu-buru, malas, bahkan kehilangan arah. Baca juga: Jual Beli Online dalam Pandangan Islam, Sah atau Masih Perlu Kehati-hatian? Keberkahan yang Mengalir dalam Hidup Keberkahan Subuh tak hanya soal energi fisik, tetapi juga spiritual dan sosial. Nabi Muhammad ﷺ menegaskan bahwa waktu pagi adalah saat Allah menurunkan rahmat dan keberkahan. Doa di waktu Subuh pun diyakini lebih mustajab. Orang yang menjaga Shalat Subuh secara rutin sering mengalami: Lebih dari itu, Subuh berjamaah membangun kebersamaan, memperluas jejaring sosial, dan menanamkan disiplin diri. semua itu adalah bagian dari keberkahan yang menyertai orang yang istiqomah menjaga Shalat Subuh. Baca juga: Mengapa Zakat Perlu Dikeluarkan, Bagaimana Konsepnya dalam Ekonomi Islam? Memulai Kembali Jika Terlewat Bagi yang sering melewatkan Subuh, jangan berkecil hati. Dampaknya bisa terasa seperti hati yang gelisah, aktivitas terasa berat, dan ritme hidup menjadi tidak stabil. Namun, setiap langkah untuk kembali menjaga Subuh adalah investasi spiritual yang besar. Mulai dari hal sederhana dengan tidur lebih awal, pasang alarm, atau saling mengingatkan dengan teman. Konsistensi sedikit demi sedikit akan membawa perubahan besar. Shalat Subuh adalah titik awal keberkahan hidup. Dua rakaat singkat di pagi hari bisa memberi energi, ketenangan, disiplin, dan keberkahan yang menyertai setiap langkah kita. Subuh bukan hanya kewajiban, tetapi juga kesempatan emas yang Allah sediakan setiap hari. Pertanyaannya: apakah kita siap meraih keberkahan itu, atau membiarkannya lewat begitu saja? Penulis : Salwa Widfa Utami Foto Ilustrasi AI Editor : Toto Budiman dan Iffah Faridatul Hasanah

Read More

Peran Ulama dalam Melawan Ketidakadilan Pemerintahan: Bersuara atau Diam?

Bogor – 1miliarsantri.net : Dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, ulama selalu hadir sebagai penuntun umat sekaligus penegak keadilan. Mereka tidak hanya berperan dalam ibadah, tapi juga berani turun tangan ketika rakyat menghadapi penindasan. Kini, di tengah dinamika politik Indonesia yang sering diwarnai konflik kepentingan, praktik korupsi, hingga kebijakan yang tidak pro-rakyat, pertanyaan penting kembali muncul, apakah ulama sebaiknya bersuara lantang melawan ketidakadilan, atau justru memilih diam? Sejak masa kolonial, ulama menjadi benteng terakhir rakyat dalam menghadapi ketidakadilan. Salah satunya KH Hasyim Asy’ari dengan resolusi jihadnya menolak penjajahan, KH Ahmad Dahlan melawan arus kebodohan lewat pendidikan, hingga Buya Hamka yang berani mengkritik rezim Orde Lama, semuanya menunjukkan bahwa ulama tidak hanya mengajarkan bab ibadah, tetapi juga menjaga agar kekuasaan tidak keluar dari koridor keadilan. Peran ini masih relevan hingga kini. Di tengah maraknya korupsi, kontroversi regulasi, hingga politik uang, ulama tetap diharapkan sebagai penyeimbang. Mereka menegaskan bahwa politik sejati adalah amanah, bukan ajang perebutan kepentingan. Suara ulama juga punya legitimasi moral yang kuat, sering kali masyarakat lebih percaya ucapan seorang kiai dibanding politisi. Bahkan, ketika publik gamang menghadapi kebijakan kontroversial seperti kenaikan harga kebutuhan pokok atau isu hukum yang timpang, ulama hadir memberi arah dan mengingatkan pemerintah agar tidak abai terhadap penderitaan rakyat. Baca juga: Dari Resolusi Jihad ke Revolusi Adab: Ketika Layar Televisi Menguji Martabat Santri Lalu Bagaimana Mereka Menjalani Peran; Diam atau Bersuara? Sikap ulama terhadap pemerintah memang beragam. Sebagian memilih jalur vokal, menentang kebijakan zalim secara terbuka di mimbar, tulisan, maupun media. Mereka percaya diam hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat. Kritik ulama pada isu kenaikan harga, pengekangan kebebasan berpendapat, atau praktik oligarki adalah bentuk keberanian moral yang jarang dimiliki tokoh lain. Ulama vokal berfungsi sebagai alarm sosial, menggugah nurani penguasa sekaligus menguatkan suara rakyat kecil. Namun, ada juga ulama yang memilih jalan berbeda. Diam mereka bukan tanda ketakutan, melainkan strategi. Mereka membangun pendidikan, ekonomi, dan ketahanan sosial umat agar bisa mandiri menghadapi ketidakadilan. Menurut pandangan ini, kritik frontal terkadang menimbulkan kegaduhan, sementara perubahan nyata lahir dari penguatan akar rumput. Diam mereka juga tidak sepenuhnya hening, tapi sering kali tersirat dalam doa, nasihat, atau simbol-simbol dakwah yang sarat makna. Dengan cara itu, ulama tetap melawan, hanya saja lewat jalur yang lebih halus dan berjangka panjang. Kedua pilihan ini kerap menimbulkan salah paham. Ulama yang bersuara lantang dianggap politis, sementara ulama yang diam dituding tidak peduli. Padahal, keduanya sama-sama bagian dari perjuangan. Bersuara maupun diam hanyalah strategi, yang membedakan adalah metode, bukan tujuan. Yang terpenting adalah konsistensi ulama untuk berpihak pada umat, menjaga agar kekuasaan tidak kebablasan, dan mengingatkan rakyat bahwa suara keadilan tidak boleh padam. Baca juga: Ini Fakta Feodalisme di Pesantren? Benarkah Seperti di Zaman Kolonial? Mengapa Peran Ulama Masih Krusial? Politik tanpa kontrol moral akan cenderung liar. Ulama hadir sebagai pengingat bahwa kekuasaan harus berpihak pada keadilan. Suara mereka baik lewat kritik, pendidikan, maupun gerakan sosial tetap menjadi penyeimbang dalam iklim politik yang sering tidak sehat. Ketika ulama berani bersuara, umat tidak merasa sendirian. Dan ketika mereka memilih strategi diam, umat belajar kesabaran dan kemandirian. Bersuara atau diam, keduanya adalah strategi. Namun yang terpenting adalah konsistensi ulama berpihak pada kebenaran dan rakyat. Dalam kondisi politik yang rawan kepentingan, masyarakat membutuhkan ulama yang mampu menjaga nurani bangsa. Karena tanpa ulama, suara keadilan akan mudah tenggelam di tengah hiruk-pikuk kekuasaan. Penulis : Salwa Widfa Utami Sumber foto: Ilustrasi Editor : Toto Budiman dan Iffah Faridatul Hasanah

Read More

Jual Beli Online dalam Pandangan Islam, Sah atau Masih Perlu Kehati-hatian?

Bondowoso – 1miliarsantri.net : Di era modern ini, kehidupan kita sudah tidak bisa lepas dari dunia digital. Hampir semua aktivitas kini dilakukan secara daring, termasuk urusan ekonomi seperti jual beli. Banyak di antara kita yang sudah terbiasa membeli pakaian, makanan, hingga kebutuhan sehari-hari melalui ponsel hanya dengan beberapa kali klik. Namun, pertanyaan penting yang sering muncul bagaimana sebenarnya jual beli online dalam pandangan Islam? Apakah transaksi semacam ini sah menurut syariat, atau justru perlu kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam hal yang dilarang? Jual beli online memang menawarkan kemudahan luar biasa. Kita tidak perlu bertemu langsung, barang bisa dikirim ke rumah, dan pembayaran bisa dilakukan secara instan. Meski begitu, Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek kehidupan tentu memiliki pandangan tersendiri mengenai hal ini. Karena dalam Islam, prinsip jual beli bukan hanya soal keuntungan, tetapi juga tentang kejujuran, keadilan, dan kerelaan antara dua pihak. Pandangan Islam terhadap Transaksi Digital Dalam fikih muamalah, jual beli (al-bay’) diartikan sebagai pertukaran barang dengan imbalan yang disepakati, baik berupa uang maupun benda lain, dengan dasar kerelaan dari kedua belah pihak. Maka, jual beli online pada dasarnya termasuk dalam kategori akad jual beli yang sah, selama terpenuhi rukun dan syaratnya. Namun, ada satu hal yang perlu diperhatikan. Karena jual beli online dilakukan tanpa tatap muka dan barang belum langsung diterima, maka potensi munculnya gharar (ketidakjelasan) cukup besar. Misalnya, barang yang dikirim tidak sesuai deskripsi, atau penjual menampilkan foto yang berbeda dari aslinya. Dalam pandangan Islam, gharar termasuk hal yang harus dihindari karena dapat merugikan salah satu pihak. Baca juga : Memanfaatkan Teknologi untuk Mengurangi Kecurangan dalam Pengelolaan Zakat Kehati-hatian dalam Bertransaksi Online Menurut Syariat Ketika kita memahami jual beli online dalam pandangan Islam, penting juga untuk menyadari bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk berhati-hati dalam setiap transaksi. Rasulullah SAW bersabda : “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan pentingnya kejujuran dalam berdagang, termasuk di dunia maya sekalipun. Kehati-hatian bisa diwujudkan dengan beberapa langkah sederhana. Pertama, pastikan barang yang dijual jelas deskripsinya, mulai dari ukuran, warna, hingga kualitas. Kedua, pilih platform atau penjual yang terpercaya, memiliki ulasan baik, dan sistem pembayaran yang aman. Ketiga, hindari transaksi yang mengandung unsur penipuan, seperti penjual yang tidak transparan atau harga yang terlalu tidak masuk akal. Dengan begitu, jual beli online dalam pandangan Islam merupakan sesuatu yang sah dan diperbolehkan selama memenuhi rukun dan syarat jual beli yang telah diatur dalam syariat. Teknologi hanyalah alat yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakannya dengan cara yang benar, jujur, dan amanah. Baca juga : Bank Syariah Indonesia (BSI): Solusi Pinjaman Modal Usaha Tanpa Jaminan Berbasis Syariah Sebagai umat Muslim, kita tentu ingin setiap aktivitas kita, termasuk berbelanja online, membawa keberkahan. Oleh karena itu, mari kita selalu berpegang pada prinsip kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab dalam setiap transaksi. Dengan begitu, jual beli online bukan hanya menjadi sarana memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga menjadi ladang pahala yang diridai Allah SWT. Semoga dengan memahami jual beli online dalam pandangan Islam, kita semakin bijak dalam memanfaatkan kemajuan teknologi tanpa harus melanggar nilai-nilai agama yang kita anut. (**) Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Editor : Toto Budiman Foto Ilustrasi AI

Read More

Mengkritik Pemimpin dalam Islam: Antara Amar Ma’ruf dan Etika Berbicara

Bondowoso – 1miliarsantri.net : Dalam kehidupan bermasyarakat, pembahasan tentang hukum mengkritik pemimpin sering kali menimbulkan perdebatan. Sebagian orang berpendapat bahwa kritik adalah bentuk kepedulian terhadap jalannya pemerintahan, sementara yang lain menganggapnya sebagai tindakan yang bisa mengganggu kehormatan pemimpin. Dalam Islam, segala hal memiliki aturan dan batasan, termasuk dalam hal menyampaikan kritik. Islam mendorong umatnya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar termasuk kepada pemimpin. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bagaimana Islam memandang kritik terhadap pemimpin, agar niat baik tidak berubah menjadi ‘dosa sejarah’ karena cara yang keliru. Mengkritik Pemimpin dalam Perspektif Amar Ma’ruf Nahi Munkar Dalam ajaran Islam, setiap umat memiliki tanggung jawab untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Prinsip ini menjadi dasar bagi hukum mengkritik pemimpin. Kritik dalam Islam memiliki adab dan etika tertentu, agar tidak menimbulkan fitnah dan perpecahan. Kritik bukanlah sesuatu yang dilarang, selama disampaikan dengan niat memperbaiki dan dengan cara yang santun. Namun, Islam juga sangat menekankan cara dalam menyampaikan kritik. Tidak semua bentuk kritik bisa diterima, terutama jika disampaikan dengan nada kasar, terbuka di depan umum tanpa tujuan yang jelas, atau justru menimbulkan fitnah. Ulama seperti Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa menasihati pemimpin sebaiknya dilakukan dengan cara lembut dan pribadi. Hal ini agar tidak menimbulkan permusuhan atau mempermalukan pemimpin di hadapan rakyatnya. Jadi, hukum mengkritik pemimpin sebenarnya bukan sekadar boleh atau tidak boleh, tetapi lebih pada bagaimana kritik itu disampaikan sesuai syariat dan niat yang tulus. Berkaitan dengan ini Allah SWT pernah meminta Nabi Musa untuk menasehati Fir’aun yang mana merupakan pemimpin paling zalim sepanjang sejarah umat manusia, Allah berfirman agar berbicara dengan lemah lembut kepada Fir’aun sebagaimana dalam Qur’an Surat At-Taha ayat 43-44 yang berbunyi: “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas” “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. Baca juga : Al Qur’an Memberikan Ciri Pemimpin yang Diridhai Allah SWT Etika dan Batasan dalam Mengkritik Pemimpin Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk berbicara dengan sopan, menggunakan kata-kata yang menyejukkan, dan menghindari penghinaan. Etika berbicara ini juga berlaku dalam konteks hukum mengkritik pemimpin. Kritik yang disampaikan tanpa adab bisa berubah menjadi dosa ghibah, fitnah, atau bahkan pemberontakan jika sampai menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, sebelum melontarkan kritik, kita perlu menimbang apakah ucapan kita membawa maslahat atau justru mudarat. Dalam sejarah Islam, para sahabat Rasulullah SAW juga pernah menyampaikan pendapat kepada pemimpin mereka, namun selalu dengan sikap hormat. Misalnya, Umar bin Khattab yang dikenal tegas pun tidak menolak nasihat rakyatnya, tetapi rakyat pun tahu batasnya dalam berbicara. “Tidak ada kebaikan pada kalian, bila tidak menegurku”, ujar Umar bin Khattab. Inilah keseimbangan yang diajarkan Islam, keberanian menyampaikan kebenaran, namun tetap dengan kelembutan dan rasa hormat. Karena sejatinya, hukum mengkritik pemimpin tidak melarang umat untuk menegur, tetapi melarang cara yang merendahkan dan menimbulkan kerusuhan. Amar ma’ruf bukan hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga dengan cara yang ma’ruf. Sebagaimana Al-Qur’an memerintahkan untuk menasehati dalam kebenaran dan kesabaran (QS. Al-Asr:3).  Kritik yang benar adalah yang disertai dengan solusi. Islam tidak mengajarkan kita hanya sekadar menunjuk kesalahan tanpa memberi jalan keluar. Jika kita melihat pemimpin berbuat salah, maka sampaikan dengan niat memperbaiki, bukan menjatuhkan. Baca juga : Pemimpin Yang Menginspirasi Pada akhirnya, hukum mengkritik pemimpin dalam Islam berakar pada prinsip amar ma’ruf nahi munkar dan etika berbicara yang baik. Mengkritik bukanlah tindakan tercela selama dilakukan dengan adab, niat tulus, dan tujuan memperbaiki keadaan. Sebaliknya, jika kritik dilakukan dengan amarah, hinaan, atau menyebarkan kebencian, maka hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Kritik tidak boleh menjatuhkan legitimasi kepemimpinan secara zalim. Tidak semua kesalahan pemimpin wajib diumbar. Ada ruang maaf dan pertimbangan maslahat umat. Para ulama salaf lebih memilih nasihat langsung, daripada mengkritik di mimbar. Sebagai masyarakat yang beriman, kita perlu bijak dalam menyikapi kebijakan dan perilaku pemimpin. Jika ada kekeliruan, sampaikanlah dengan cara yang baik, penuh rasa hormat, dan berlandaskan ilmu. Jangan jadikan kritik sebagai ajang menunjukkan kehebatan diri, melainkan sebagai bentuk cinta terhadap keadilan dan kebenaran. Semoga kita semua mampu memahami dan mengamalkan hukum mengkritik pemimpin dengan bijak, sehingga niat baik untuk memperbaiki negeri tidak berubah menjadi’ ‘dosa sejarah’ karena cara yang salah.(**) Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Editor : Toto Budiman Foto Ilustrasi AI

Read More

Bentuk Rezeki Tak Selalu Berbentuk Uang, tapi Hadir dengan Cara yang Tak Terduga

Bondowoso – 1miliarsantri.net : Banyak di antara kita yang sering kali menilai keberhasilan dan kebahagiaan dari seberapa banyak uang yang dimiliki. Namun, sesungguhnya bentuk rezeki tak selalu berbentuk uang. Bentuk rezeki bisa datang dalam bentuk tak kasat mata, namun berdampak besar dalam kehidupan manusia. Terkadang, bentuk rezeki hadir dalam bentuk yang jauh lebih berharga dari sekadar harta. Ia bisa datang melalui kesehatan yang prima, keluarga yang hangat, sahabat yang tulus, atau bahkan kedamaian hati yang sulit ditukar dengan apapun. Dalam hidup, bentuk rezeki bukan hanya soal materi, tapi tentang bagaimana kita menerima setiap kebaikan yang Allah SWT hadirkan, meskipun dalam wujud yang tidak selalu terlihat atau terduga. Rezeki berarti segala bentuk pemberian Allah yang membawa manfaat, bukan hanya sekedar materi seperti yang dipahami oleh orang kebanyakan. Baca juga : modal sosial pembuka pintu rezeki Makna Sebenarnya dari Rezeki Tak Selalu Berbentuk Uang Jika kita mau sedikit merenung, maka kita akan menyadari bahwa rezeki tak selalu berbentuk uang, karena hidup ini lebih luas dari sekadar angka di rekening. Ada orang yang hartanya berlimpah, tapi kesehatannya rapuh. Ada pula yang sederhana secara ekonomi, tapi hidupnya tenang dan penuh cinta. Rezeki yang sejati adalah segala sesuatu yang memberi manfaat dan kebahagiaan bagi kita, baik secara lahir maupun batin. Ketika kita bisa bangun pagi dengan tubuh sehat dan hati tenang, itu juga rezeki. Ketika seseorang menolong kita tanpa diminta, atau ketika kita mendapat kesempatan untuk belajar sesuatu yang baru, itu pun bentuk rezeki yang sering kali terabaikan. Sering kali manusia terlalu fokus pada uang, sehingga lupa bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya datang dari materi, melainkan dari rasa cukup dan syukur. Baca juga : Doa Ampuh AA Gym: Amalan Nabi Daud Ini Dijamin Buka Pintu Rezeki Dalam kehidupan sehari-hari, rezeki bisa hadir dalam banyak wujud. Terkadang, Allah SWT memberikan rezeki dalam bentuk waktu luang untuk kita beristirahat setelah lelah bekerja. Kadang juga rezeki datang dalam bentuk kesempatan, seperti bertemu orang yang membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik. Ujian dan kehilangan pun sering menjadi pintu rezeki yang tersembunyi. Ada pula rezeki dalam bentuk perlindungan. Mungkin kita pernah mengalami kejadian yang membuat rencana gagal, namun ternyata di balik itu ada hikmah besar yang menyelamatkan kita dari sesuatu yang buruk. Itu pun rezeki, hanya saja wujudnya tidak selalu terlihat jelas pada awalnya. Bahkan, hati yang tenang dan pikiran yang lapang adalah rezeki luar biasa yang tidak semua orang miliki. Dalam hubungan sosial, rezeki bisa hadir melalui orang-orang baik yang tulus mendukung dan mendoakan kita. Persahabatan yang jujur, keluarga yang selalu ada di saat susah dan senang, atau anak-anak yang tumbuh dengan kasih sayang, semua itu adalah bentuk rezeki yang nilainya tak ternilai dengan uang sekalipun. Ketika kita memahami bahwa rezeki tak selalu berbentuk uang, maka cara kita memandang hidup pun akan berubah. Kita tak lagi mengeluh ketika penghasilan berkurang atau peluang terasa kecil, karena kita mulai melihat kebaikan lain yang Tuhan titipkan dalam hidup kita. Pada akhirnya, rezeki tak selalu berbentuk uang, dan itulah yang membuat hidup menjadi kaya makna. Ketika kita belajar menghargai setiap bentuk rezeki baik yang besar maupun kecil, terlihat maupun tersembunyi maka kita akan hidup lebih bahagia dan damai. Rezeki adalah tentang bagaimana kita melihat dan mensyukuri setiap nikmat yang ada, bukan hanya menghitung seberapa banyak harta yang kita punya. Beberapa kunci untuk membuka pintu rezeki, seperti bersyukur dalam segala keadaan, Ikhtiar dan kerja keras yang jujur, serta tawakal dan tidak mudah mengeluh. Perbuatan sedekah dan menebar manfaat kepada sesama juga dipercaya sebagai pembuka jalan rezeki. Disamping menjaga hubungan dengan sesama. Semoga kita semua selalu diberi hati yang lapang untuk menyadari bahwa rezeki tak selalu berbentuk uang, karena kebahagiaan sejati sering kali datang dari hal-hal sederhana yang mungkin selama ini luput dari perhatian kita.(***) Penulis : Iffah Faridatul Hasanah Editor : Toto Budiman Foto Ilustrasi AI

Read More