Pemerintah Lanjutkan Efisiensi Anggaran Belanja Negara di 2026, Kebijakan Berisiko?

Tegal – 1miliarsantri : Pemerintah memastikan lanjutkan kebijakan efisiensi belanja anggaran akan kembali diberlakukan pada tahun 2026. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menerbitkan aturan baru yang mengatur penghematan belanja negara, mulai dari pembelian alat tulis kantor, pelaksanaan acara seremonial, hingga biaya perjalanan dinas.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang resmi berlaku sejak 5 Agustus 2025. Aturan tersebut bertujuan memastikan penggunaan APBN berjalan efektif, efisien, dan tepat sasaran.
Dalam beleid itu disebutkan, “Perlu mengambil langkah-langkah pelaksanaan efisiensi belanja negara dalam APBN dengan tetap memperhatikan prioritas penganggaran berdasarkan arahan presiden.”
Fokus Efisiensi: Belanja Barang hingga Transfer ke Daerah

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), efisiensi dilakukan untuk menjaga keberlanjutan fiskal sekaligus mendukung program prioritas pemerintah. Langkah ini mencakup efisiensi anggaran belanja kementerian/lembaga (K/L) dan penghematan transfer ke daerah (TKD).
Pasal 2 ayat (3) menyebutkan bahwa hasil efisiensi “utamanya digunakan untuk kegiatan prioritas presiden yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sri Mulyani diberi kewenangan menetapkan besaran penghematan untuk tiap K/L, sesuai kebijakan yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto. Besaran efisiensi ditentukan berdasarkan persentase dari total belanja pada masing-masing jenis, seperti belanja barang, belanja modal, hingga kategori lain sesuai arahan presiden.
Adapun sejumlah item belanja yang masuk dalam daftar efisiensi antara lain:
- Alat tulis kantor
- Kegiatan seremonial
- Rapat, seminar, dan sejenisnya
- Kajian dan analisis
- Pendidikan dan pelatihan (diklat), bimbingan teknis (bimtek)
- Honorarium kegiatan dan jasa profesi
- Percetakan dan souvenir
- Sewa gedung, kendaraan, serta peralatan
- Lisensi aplikasi
- Jasa konsultan
- Bantuan pemerintah
- Pemeliharaan dan perawatan
- Perjalanan dinas
- Pengadaan peralatan dan mesin
- Proyek infrastruktur tertentu
Pasal 5 ayat (1) menegaskan, bila target efisiensi tak tercapai, K/L bisa menyesuaikan jenis belanja, asalkan efisiensi tetap terpenuhi dan belanja pegawai, operasional kantor, fungsi dasar, serta pelayanan publik tidak terganggu.
Pemerintah juga memberi perlindungan terhadap pegawai non-ASN yang masih aktif, kecuali kontraknya habis atau tidak diperpanjang. K/L juga diwajibkan menyampaikan rencana efisiensi belanja kepada DPR jika dipersyaratkan oleh ketentuan peraturan.
Pembukaan Blokir Anggaran
PMK ini turut mengatur mekanisme pembukaan blokir dari hasil efisiensi APBN. Pembukaan blokir bisa diajukan oleh menteri atau pimpinan lembaga, setelah mendapat arahan dari presiden. Dana yang diblokir dapat digunakan kembali untuk:
- Belanja pegawai, operasional kantor, fungsi dasar, dan pelayanan publik
- Kegiatan prioritas presiden
- Program yang menambah penerimaan negara
Sri Mulyani berwenang memberikan arahan pembukaan blokir kepada Dirjen Anggaran Kemenkeu, dengan acuan arahan presiden. Sementara untuk TKD, Bab IV PMK Nomor 56 Tahun 2025 mengatur lima sektor yang wajib dihemat mulai 2026:
- TKD untuk infrastruktur
- TKD untuk otonomi khusus dan keistimewaan daerah
- TKD yang belum dirinci alokasinya dalam peraturan APBN
- TKD yang tidak mendanai pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan
- TKD lain yang ditentukan pemerintah
Dana hasil efisiensi TKD akan dicadangkan dan tidak langsung disalurkan, kecuali ada instruksi dari presiden.
Lanjutan dari Efisiensi 2025

Kebijakan efisiensi ini bukan hal baru. Tahun 2025, pemerintah sudah melaksanakan langkah serupa berdasarkan Surat Menkeu Nomor S-37/MK.02/2025. Presiden Prabowo bahkan telah menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang menargetkan penghematan di APBN dan APBD.
Hasilnya, pemerintah berhasil menghemat belanja K/L sebesar Rp256,1 triliun dan dana TKD Rp50,59 triliun. Namun, pertanyaannya: apakah kebijakan ini tepat untuk dilanjutkan di 2026, mengingat kondisi ekonomi yang masih lesu?
Pro-Kontra dari Kalangan Ekonom

Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, menilai efisiensi anggaran sah-sah saja untuk menjaga disiplin fiskal, terutama di tengah tekanan pembiayaan APBN akibat pelemahan pendapatan, beban bunga utang yang meningkat, dan kebutuhan menjaga defisit tetap terkendali.
Namun, ia mengingatkan kondisi makroekonomi saat ini menunjukkan perlambatan konsumsi rumah tangga, stagnasi investasi swasta, dan meningkatnya tekanan sosial akibat PHK serta daya beli yang melemah.
“Dalam konteks tersebut, efisiensi anggaran bisa kontraproduktif bila diterapkan secara across-the-board tanpa mempertimbangkan fungsi stimulatif belanja negara terhadap perekonomian,” ujarnya, dikutip dari CNNIndonesia.com.
Rizal menyarankan efisiensi difokuskan pada belanja birokrasi yang berdampak kecil ke masyarakat, seperti perjalanan dinas, honorarium, atau acara seremonial. Sebaliknya, belanja yang memiliki multiplier effect tinggi, seperti perlindungan sosial, subsidi pangan dan energi, dana pendidikan dan kesehatan, sebaiknya tidak dipangkas.
Syafruddin Karimi, Ekonom Universitas Andalas, menyebut efisiensi dari sudut pandang teknokratis adalah keniscayaan demi menjaga kesehatan fiskal, apalagi di tengah ancaman defisit dan tekanan global. Namun, ia mengingatkan bahwa efisiensi tidak boleh sekadar memotong anggaran tanpa strategi realokasi yang produktif.
“Belanja efisien seharusnya diukur berdasarkan dampaknya terhadap produktivitas, penciptaan lapangan kerja, dan penurunan kemiskinan, bukan semata nominal penghematan,” tegasnya, dikutip dari CNNIndonesia.com.
Menurut Syafruddin, pemerintah perlu menyiapkan peta jalan realokasi belanja yang jelas dan melibatkan masukan dari pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat sipil. Tanpa itu, efisiensi berpotensi menghambat pertumbuhan di sektor strategis seperti infrastruktur, pendidikan, dan bantuan sosial.
Dari berbagai pandangan para ekonom di atas, jelas bahwa kebijakan efisiensi anggaran di 2026 berada di persimpangan: di satu sisi diperlukan untuk menjaga keuangan negara tetap sehat, di sisi lain berisiko menahan laju pemulihan ekonomi jika tidak dilakukan secara selektif.
Pemerintah kini menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan dua kepentingan ini. Efisiensi harus diarahkan pada pos-pos yang tidak produktif, sembari memastikan program strategis dan pelayanan publik tetap berjalan optimal.
Keputusan ini bukan sekadar soal memangkas anggaran, tetapi bagaimana mengatur prioritas agar setiap rupiah APBN benar-benar memberi manfaat maksimal bagi masyarakat. (***)
Penulis: Satria S Pamungkas
Editor: Toto Budiman dan Glancy Verona
Foto by AI
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.