Menggali Makna Hantu Laut dalam Pameran Biennale Jatim XI

Dengarkan Artikel Ini

Gresik – 1miliarsantri.net : “Hantu laut adalah sosok yang terkesan tidak ada, menghantui, mencemaskan atau menjadi sesuatu yang kita tunggu-tunggu tanpa kita sadari”, begitu penuturan Elyda salah satu kurator Biennale Jatim XI.

Ia bersama tim kurator berjalan menelusuri wilayah Pesisir Sindujoyo Gresik, melihat kehidupan masyarakat, kondisi lingkungan pesisir, sampai ia melihat salah satu perahu nelayan milik Cak Barok yang bertuliskan “Hantu Laut.” Dari sinilah, nama hantu laut diangkat menjadi tema pameran Biennale Jatim XI.

Pameran yang diadakan setiap dua tahun sekali ini, kali ini memilih Gresik menjadi tuan rumah. Karena Gresik menjadi salah satu kota yang merepresentasikan wilayah pesisir. Ada sebanyak 67 seniman dalam negeri maupun luar negeri yang ikut berkontribusi dengan karya seni rupa yang dimiliki.

Acara tersebut, berlangsung sejak 24 Agustus – 20 September 2025 di Pudak Galeri Gresik. Masyarakat dapat berkunjung pada jam 10.00-21.00 WIB secara gratis. Pengunjung akan dimanjakan dengan karya yang disuguhkan, dari permainan lama, tradisi, mata pencaharian, kehidupan masyarakat pesisir, dan membuka mata untuk peduli dengan kondisi pesisir saat ini.

Apa Makna dari Nama Hantu Laut dalam Pameran Biennale Jatim?

Hantu Laut : The Specter of The Sea

Terdengar menyeramkan, tetapi bukan berarti hantu laut adalah sosok hantu yang menunggu lautan. Nama yang terinspirasi dari perahu milik Cak Barok, seorang nelayan di Pesisir Sindujoyo, Lumpur, Gresik, terkesan menarik.

Menurut Elyda, tematik dari Binnale Jatim XI berbicara tentang pesisir, bahwa pesisir tidak hanya menjadi wahana yang indah, namun ada pesisir yang kondisinya miris, seperti di Kota Gresik ini. Dimana ikan-ikan tidak sebanyak dulu, area pesisir yang sudah tercemar dengan polusi pabrik besar disekitarnya.

Melalui Pameran Binnale Jatim XI, para seniman menjawab kerisauan akan wilayah pesisir melalui karya seni yang bertemakan “Hantu Laut : The Specter of The Sea.”

Karya seni instalasi media campuran mendominasi pada pameran ini, dengan mengangkat isu lingkungan pesisir yang ada disekitar kehidupan para seniman. Bukan berarti hanya pesisir yang ada di Gresik, namun menjawab pesisir yang ada di dunia ini.

Sisa-sisa yang Tak Selesai karya Sultan Putra Gemilang

Hantu bisa dimaknai sebagai sesuatu yang menghantui, mencemaskan, seperti pada karya “Sisa-sisa yang Tak Selesai” oleh Sultan Putra Gemilang. Melalui karyanya mengingatkan pengunjung akan tragedi lumpur lapindo. Dimana kekuasaan dan keserakahan industri tanpa memperhatikan dampak bagi masyarakat setempat. Allah sudah menjelaskan dalam Al Qur’an surat Ar-Rum Ayat 41 yang artinya;

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Baca juga : Dakwah Ekologis dalam Kehidupan: Menyeru Manusia, Menyelamatkan Alam

Sepeda, sandal, kacamata, gelas, bahkan piala sebagai penghargaan atas prestasi, semua terendam lumpur. Benda-benda ini, akan menjadi saksi sejarah akibat ulah manusia itu sendiri.

Jeng Laut karya Sjafril

Hantu, juga berarti sesuatu yang tidak ada atau menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu. Seperti tradisi yang masih ada di daerah pesisir. Mereka percaya dengan adanya kekuatan roh, dengan pelarungan bunga atau abu ke laut. Meminta jodoh, kekayaan, jabatan ke seseorang yang dianggap pintar, melalui perantara roh leluhur mereka.

Kondisi Lingkungan Pesisir saat ini

Malam di Pesisir Utara dan Pangkalan Taksi karya Mujib Darjo

Lingkungan pesisir sudah mengalami perubahan selaras dengan pertumbuhan industrialisasi di kota ini. Ada yang beralih profesi, ada juga yang berkompromi dengan perubahan tersebut. Seperti karya Mujib Darjo yaitu malam di pesisir utara dan pangkalan taksi.

Karya tersebut menceritakan hantu laut sebagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat pesisir saat ini. Dimana mereka ada yang beralih menjadi penyedia jasa taksi untuk para nelayan. Karena mencari ikan tidak seperti dulu, wilayah pesisir sudah tercemar dan tidak layak. Sehingga mereka harus mencari ikan ke area tengah laut, yang tingkat pencemaran airnya rendah.

Selain isu lingkungan dan sosial, pameran ini juga menyuguhkan tradisi yang ada di daerah pesisir pantai, yaitu ritual agama islam. Melalui majelis toreqot dengan berdzikir, wirid, puasa, dll. Kentalnya agama islam di wilayah pesisir, tak membuatnya lupa akan hubungannya dengan alam. Sehingga mereka masih menggunakan debu untuk tayamum, biji kacang sebagai tasbih.

Baca juga : Spirit Muslim Merawat Lingkungan: Jihad Ekologis dalam Menjaga Alam

Dari Pameran Binnale Jatim XI, kita dapat melihat makna hantu laut secara luas. Melalui sudut pandang yang berbeda setiap seniman, ada yang memaknai sebagai sesuatu yang tidak ada tapi memiliki hubungan erat. Ada yang menghantui dalam kehidupan sosial, ataupun kecemasan kondisi alam.

Lewat pameran ini, pengunjung disadarkan akan isu-isu sosial, lingkungan, tradisi yang sedang terjadi. Dengan turut menjaga hubungan yang baik antara manusia dan alam, akan membawa perubahan yang positif untuk keberlangsungan hidup generasi selanjutnya. (**)

Penulis : Zubaidatul Fitriyah

Editor : Toto Budiman & Iffah Faridatul Hasanah

Foto : Dokumentasi 1MS


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca