Suara Lantang Basem Al-Habel: ‘Jurnalis Tuli dari Gaza’ di Tengah Kekejaman Genosida Israel

Gaza – 1miliarsantri.net : Di sebuah ruangan sempit dengan dinding retak dan cahaya yang nyaris tak masuk, bagi Basem Al-Habel (30) suara ledakan hanya terdengar samar. Bukan karena jaraknya jauh, melainkan karena dunia bagi seorang jurnalis tuli dari Gaza memang setengah hening. Pendengarannya tinggal 50 persen — tapi suara lantang Basem Al-Habel mengalahkan suara dentuman bom. Sekalipun dia tidak dapat membedakan antara teriakan dan suara angin.
“Ketika saya memakai alat bantu dengar, saya hanya mendengar sedikit suara pengeboman,” katanya melalui bahasa isyarat, diterjemahkan oleh kerabatnya. “Saya tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi.” Bahkan di tengah kekejaman Genosida Israel kepada masyarakat Palestina, kondisi disabilitas tuna rungu tidak membuatnya memilih diam dan pasrah untuk menjelaskan fakta kebenaran.
Gaza yang Terkepung, Perut yang Kosong
Bertahun-tahun hidup dalam pengepungan telah membuat Gaza rapuh. Perang terakhir mengiris sisa-sisa kehidupan yang ada. Bagi keluarga Basem, roti dari badan bantuan adalah sumber makan utama.
“Saya harus mengambil roti dari badan bantuan untuk memberi makan keluarga,” ujarnya. “Itu pun kadang tidak cukup.”
Blokade dan serangan telah melumpuhkan jalur distribusi. Pasar-pasar yang dulu hidup kini lengang, kios-kios terkunci, dan aroma rempah yang dulu memenuhi udara telah menghilang. Warga harus berjalan jauh dan berdesakan di antrean panjang untuk memperoleh makanan.
Misi dari Balik Lensa
Di tengah kelangkaan makanan dan rasa aman, Basem berpegang pada satu misi: membuat dunia melihat Gaza.
Dengan kamera ponsel sederhana, Basem merekam fragmen kehidupan di Gaza yang jarang tersorot: bocah kurus memeluk roti setengah basi, lelaki tua mengais tepung bercampur pasir, dan tenda-tenda robek yang kalah melawan terik dan dingin. Setiap video yang ia unggah bukan sekadar dokumentasi, melainkan jeritan diam yang menembus batas bahasa.
“Ketika saya ‘berbicara’ dan mengunggah video, saya ingin seluruh dunia melihat bagaimana keadaan kami,” katanya.
Media sosial menjadi jendela keluar, sebuah jalur rahasia bagi kisah rakyat Gaza agar tak terkubur di balik angka statistik ‘dingin’.
Kesabaran di Tengah Kekosongan Pekerjaan
Perang memutuskan jalur nafkah. Basem, yang pernah mengandalkan pekerjaan serabutan, kini menghadapi tembok pengangguran.
“Saya terus mencari pekerjaan, meskipun ada perang. Tapi tidak ada yang membantu saya,” ujarnya.
Bagi tuna rungu, tantangannya berlapis: minimnya peluang kerja diperparah hambatan komunikasi. “Orang tuna rungu sulit mendapatkan pekerjaan karena mereka tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain kecuali melalui penerjemah,” jelasnya.
Hidup di Ruang yang Menyesakkan
Kediaman Basem hanyalah satu ruangan sempit dengan dinding lembap dan atap bocor. Di musim panas, udara menjadi pengap; di musim dingin, dingin merayap hingga ke tulang.
“Ruangan ini sangat sempit dan kami menderita di dalamnya,” katanya. “Anda pikir ini mudah? Tidak. Justru sebaliknya.”
Di Gaza, rumah layak huni telah menjadi kemewahan. Serangan udara menghancurkan ribuan bangunan, memaksa keluarga menumpang di rumah kerabat atau tinggal di puing-puing yang diubah menjadi tempat tinggal darurat.
Kolaborasi yang Mengubah Arah
Awalnya, Basem tidak tahu harus mulai dari mana. Dorongan keluarga mengubah segalanya. “Kami mulai mendorongnya,” kata seorang kerabatnya. “Dia mulai menonton video dan melihat adegan-adegan penting.”
Setiap kali ia melihat peristiwa yang layak dilaporkan, Basem merekamnya dan menyerahkannya pada kerabatnya. Sang kerabat menulis teks, lalu Basem menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Video itu diunggah, menembus batas-batas Gaza.
Mengubah Keterbatasan Jadi Senjata
Bagi Basem, disabilitas bukan titik akhir. Di Gaza, penyandang disabilitas sering terpinggirkan — laporan PBB 2022 mencatat lebih dari 48 ribu warga Gaza memiliki disabilitas, banyak di antaranya tersisih dari dunia kerja.
Namun, Basem menemukan jalannya. Video tanpa suara yang ia buat justru menjadi kekuatan: gambar bergerak, teks, dan bahasa isyarat yang memaksa penonton memperhatikan. Kesunyian itu, bagi Basem, ‘berbicara’ paling nyaring.
Harapan yang Bertahan di Tengah Reruntuhan
“Saya ingin seluruh dunia mendukung kami agar perang ini berakhir,” ujarnya.
Basem membayangkan hari ketika ia bisa beristirahat tanpa bom di kejauhan, bertemu orang dari luar Gaza, dan berjalan di jalanan yang bebas dari ketakutan. “Saya ingin Gaza menjadi seperti negara lain,” katanya.
Gema Sunyi yang Menembus Dunia

Basem Al-Habel (30), jurnalis tuli dari Gaza melakukan reportase langsung di tengah puing bangunan
“Apa yang ia lakukan sangat penting,” kata seorang aktivis hak disabilitas dari Eropa. “Ia memberi wajah dan cerita bagi penyandang tunarungu di zona perang.”
Bagi pengikutnya, Basem adalah saksi bisu yang merekam tragedi sekaligus ketabahan.
Perjalanan yang Belum Selesai

Bagi dunia, Gaza mungkin hanya berita. Bagi Basem, Gaza adalah rumah — retak, tapi tetap berdiri. Selama ia masih bisa merekam, ia akan terus ‘berbicara’, dalam kesunyian yang menggetarkan dunia.
Epilog: Panggilan Yang Tak Bisa Diabaikan
Ketika bom merobek langit dan kelaparan menjadi kenyataan sehari-hari, Basem berdiri—bahkan dalam sunyi, suaranya terdengar paling nyata. Gerakan tangannya bukan sekadar isyarat: ia adalah perlawanan visual, panggilan kemanusiaan. Tatapannya adalah cermin penderitaan dan harapan, dan videonya bukan sekadar dokumentasi, tetapi seruan yang menggetarkan hati: untuk melihat, mendengar, dan merespons.
Di medan perang tanpa keadilan, suara bukan hanya soal kata. Bahasa harapan—yang muncul dari tangan yang terbuka dan mata yang tegar—itulah yang pantas didengar. (***)
Penulis : Abdullah al-Mustofa
Editor : Toto Budiman
Sumber:
Official Youtube Channel of United Nations
IG Basem Al-Habel (Jurnalis Tuna Rungu dari Gaza)
https://www.instagram.com/basem.in.sign
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.