‘Sahabatku’ Telah Mati di Gaza, Tautan Terakhirku Dengan Dunia Luar

Gaza – 1miliarsantri.net : Kematian ponsel itu berlangsung perlahan, bertahan sekitar 70 hari dengan gangguan sebelum akhirnya mati total. Di Khan Younis, Gaza, 18 Juni 2025 [Ahmed Al-Najjar/Al Jazeera]
Khan Younis, Gaza – Di Gaza, kehilangan adalah sesuatu yang selalu menunggu di tikungan waktu. Terisolir dari akses ke dunia luar.
Kadang ia datang lewat suara ledakan di langit malam. Kadang lewat kabar kematian dari seorang tetangga.
Namun kali ini, ‘sahabat’ yang pergi bukanlah manusia. Ia sepotong logam dan kaca, tak bernyawa — namun di dalamnya tersimpan seluruh hidupku.
Ponselku mati. Dan bersamanya, hilanglah tautan terakhirku dengan dunia luar.
Bagi sebagian orang, ini terdengar sepele. Tetapi di Gaza, sebuah ponsel bukan hanya perangkat. Ia adalah saksi bisu, perisai, pedang, dan terkadang satu-satunya jembatan untuk mengirim pesan sederhana: “Aku masih hidup.”
Hari Itu di Khan Younis
18 Juni 2025. Khan Younis terbungkus debu, bau mesiu masih menggantung di udara. Ponselku telah lama sakit — layarnya retak, bodinya melepuh, memori internalnya penuh dengan gambar puing-puing, wajah orang yang tak lagi ada, dan ledakan yang tak henti.
Ia telah berjuang selama 70 hari setelah luka pertamanya. Dan pada pagi itu, ia menyerah.
Layarnya membeku dalam kabut piksel buram, seolah tak ingin lagi menyaksikan dunia yang memaksanya merekam begitu banyak kematian.
Di tempat lain, kehilangan ponsel mungkin berarti tak bisa membuka Instagram atau menonton video lucu.
Di sini, itu berarti kehilangan satu-satunya cara menghubungi keluargaku yang terjebak di bagian lain Gaza. Kehilangan kemampuan memanggil ambulans. Kehilangan sarana untuk mengabarkan kepada dunia bahwa kami masih hidup — meski nyawa kami tergantung di ujung bom.
Teknosida di Penjara Terbuka
Ponselku tidak mati secara tiba-tiba. Ia korban dari bentuk kekejaman yang jarang dibicarakan: teknosida.

Listrik dipadamkan berhari-hari. Debu dan pasir menempel di setiap celahnya. Ia terperangkap dalam tenda darurat yang suhunya mendidih di siang hari. Dan setiap hari, ia dipaksa berjuang melawan koneksi internet yang sekarat.
Hari terakhirnya datang saat kami dipaksa meninggalkan rumah yang rusak menuju pengungsian ke-14. Di tengah kerumunan panik, ia terjatuh ke tanah. Selamat dari benturan itu, tetapi luka-lukanya terlalu dalam. Ia bertahan sebentar, lalu menyerah.
Aku bukan satu-satunya. Banyak temanku mengalami hal serupa. Di sini, ponsel mati hampir bersamaan dengan pemiliknya. Anehnya, ada rasa penghiburan dalam kehilangan bersama itu — seakan benda mati ini pun ikut memikul penderitaan kami.
Bukan Candu — Tapi Nyawa
Di luar Gaza, orang membicarakan “kecanduan smartphone” seolah itu penyakit zaman modern.
Di sini, jika kau cukup beruntung masih memilikinya, itu bukan candu. Itu nyawa.
Ia adalah portal kecil bercahaya yang membawamu ke masa lalu — wajah ibu yang tersenyum di dapur, anak-anak bermain di halaman, saudara yang kini hanya tinggal nama di batu nisan. Ia menyimpan suara tawa mereka, foto terakhir sebelum ledakan, rekaman video yang menjadi satu-satunya bukti bahwa mereka pernah ada.
Kadang aku menatap foto-foto itu selama berjam-jam, mencoba mengingat rasa aman yang pernah ada. Kadang aku menonton video makanan yang mengolok-olok perut kosongku. Kadang aku menonton orang asing makan malam keluarga, sementara mejaku sendiri terkubur di bawah puing-puing rumah.
Ironisnya, semua itu menyakitkan — tapi juga menghibur.
Harga Nyawa Digital di Gaza
Mencari pengganti di Gaza adalah perjalanan sia-sia. Ironisnya, ponsel terbaru entah bagaimana menembus blokade. Tapi harganya membuat jantung berhenti.

Satu karung tepung di sini bisa seharga $700. Sebuah iPhone? $4.200. Bahkan ponsel kualitas terendah di toko darurat harganya lebih mahal daripada biaya membangun tokonya. Semua harus dibayar tunai, di tempat di mana hampir tak ada yang gratis kecuali udara — dan itu pun, kalau saja bisa, mungkin akan dipajaki oleh mereka yang mengurung kami.
Membeli ponsel baru berarti ikut membenarkan sistem yang menindas kami, dengan uang kami sendiri. Jadi aku bertahan dengan yang ada, sampai ia mati di tanganku.
Pemadaman Total
Kematian ponselku terjadi bersamaan dengan pemadaman komunikasi total selama dua minggu pada bulan Juni — kebijakan yang diberlakukan Israel.
Tanpa ponsel, ambulans tak bisa dipanggil. Pesan darurat tak bisa dikirim. Seorang yang terluka bisa mati dalam gelap, tak seorang pun tahu.
Ada ironi pahit: perintah pengusiran dari Israel dikirim secara online, padahal jaringan telah mereka putus.
Tangan yang memutus tali nyawa digital kami adalah tangan yang sama yang memblokade tanah kami selama puluhan tahun. Dan jika mereka bisa memutus udara yang kami hirup, aku yakin mereka akan melakukannya.
Bangkit dari Kehilangan
Sekarang, kadang tanganku masih bergerak refleks untuk meraih ponsel — hanya untuk menyentuh kehampaan. Aku tetap tanpa ponsel, terkepung secara digital dan fisik.
Di saat seperti itu, aku membandingkan belenggu yang kupikul dengan kelimpahan penjajah. Mereka punya satelit, rudal berpemandu presisi, dan akses tak terbatas pada teknologi.
Aku? Aku hanya ingin memberi tahu dunia bahwa aku masih di sini.
Ponsel itu bukan sekadar benda. Ia adalah pedangku, perisaiku, saksiku. Dan kehilangan itu seperti kehilangan sebagian dari diriku sendiri.
Namun di hadapan tirani, menyerah bukan pilihan.
Aku menatap langit malam yang dipenuhi drone dan pesawat tempur, dan berbisik,
Karena kami menolak dibantai dalam diam. Selama aku masih memiliki selembar kertas dan setetes tinta, aku akan terus berkata benar — meski dunia mencoba memutus semua suara kami.
Penulis : Abdullah al-Mustofa
Editor : Toto Budiman
Foto : by AI
Sumber :

Ahmed Al-Najjar adalah seorang jurnalis dan akademisi Palestina yang berbasis di Khan Younis, Jalur Gaza Selatan. Ia melaporkan tentang genosida Israel yang sedang berlangsung.
Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.