Krisis Kemanusiaan Gaza: Penghancuran dan Blokade Sistemik dan Masif

Dengarkan Artikel Ini

65 ribu warga Gaza tewas, rumah sakit hancur, bayi tanpa inkubator. Kesaksian parlemen Italia bongkar strategi kelaparan yang disengaja. Dunia ditantang: sampai kapan hanya diam tanpa beraksi?

Suara Saksi Mata di Tengah Krisis Sistemik

Italia, Palestina – 1miliarsantri.net | KRISIS kemanusiaan di Gaza bukan sekadar deretan angka statistik. Ia adalah kisah manusia, penuh luka dan kehilangan, yang terkuak melalui kesaksian seorang anggota parlemen Italia di hadapan majelisnya. Pidato tersebut mengguncang ruang sidang: bukan hanya karena deskripsinya yang memilukan, tetapi juga karena keberaniannya mengungkap pola kebijakan yang disengaja—bukan sekadar “dampak sampingan perang.”

Kesaksian ini menyingkap tiga dimensi utama yang saling berkaitan: penghancuran infrastruktur sipil, blokade bantuan kemanusiaan, dan kelumpuhan institusi internasional. Tiga pilar inilah yang menopang analisis, sekaligus memperlihatkan wajah krisis yang jauh melampaui tragedi lokal—ia adalah ujian moral bagi dunia internasional.

Infrastruktur Sipil: Target yang Disengaja

Rumah sakit, sekolah, jaringan air, hingga kamp pengungsian adalah fondasi kehidupan masyarakat. Namun di Gaza, fondasi ini nyaris seluruhnya diruntuhkan. Kesaksian itu menyebut: 90% fasilitas kesehatan hancur, sekolah-sekolah rata dengan tanah, jaringan air tak lagi mengalir, bahkan kamp pengungsi ikut menjadi sasaran serangan.

Akibatnya, penyakit yang bisa dicegah berubah menjadi penyebab kematian massal. Luka ringan bisa berakhir tragis karena ketiadaan fasilitas medis. Dari catatan parlemen Italia, lebih dari 65.000 warga sipil telah terbunuh. Namun yang lebih mengerikan: jumlah kematian tak langsung akibat runtuhnya layanan kesehatan dan sanitasi diprediksi melampaui korban serangan bom itu sendiri.

Kelaparan sebagai Senjata Perang

Kesaksian yang paling mencengangkan datang dari perbatasan Rafah. Seorang anggota parlemen Italia menceritakan bagaimana ia melihat konvoi truk bantuan sepanjang 15 kilometer dihentikan. Barang-barang yang ditolak masuk sungguh mencengangkan: kasur, inkubator bayi, hingga obat bius.

Blokade ini bukan masalah logistik, melainkan keputusan politik yang disengaja. Dan dampaknya langsung terasa pada nyawa manusia:

Barang Bantuan yang DiblokirImplikasi Kemanusiaan Langsung
Kasur / MatrasPengungsi tidur di lantai dingin, rentan hipotermia, penyebaran penyakit meningkat.
Inkubator BayiBayi prematur kehilangan akses perawatan kritis, angka kematian neonatal melonjak.
Bahan AnestesiOperasi darurat dilakukan tanpa bius, melahirkan praktik medis yang kejam dan tidak manusiawi.

Ketika barang-barang yang jelas bersifat kemanusiaan dianggap “ancaman,” maka jelas tujuannya bukan lagi keamanan, melainkan penghukuman kolektif.

Asimetri Konflik yang Tak Terbantahkan

Banyak pihak menyebut konflik ini sebagai “perang.” Namun kesaksian parlemen Italia menolak istilah itu. Bagaimana mungkin menyebutnya perang, jika di satu sisi ada “tentara paling kuat dan canggih di dunia,” sementara di sisi lain ada warga sipil tak bersenjata yang dibombardir tanpa henti?

Penghancuran fasilitas kesehatan hingga penolakan inkubator bayi tidak bisa dianggap “pertempuran seimbang.” Ia adalah ekspresi asimetri kekuatan yang brutal. Dalam konteks ini, aturan hukum yang berlaku bukan sekadar hukum perang tradisional, melainkan Konvensi Jenewa Keempat—yang mewajibkan kekuatan pendudukan melindungi rakyat sipil, bukan memusnahkannya.

Seruan untuk Akuntabilitas

Pidato itu lalu bergeser dari narasi penderitaan menjadi seruan politik: dunia internasional harus berhenti sekadar mengecam dan mulai bertindak nyata. Pertanyaan retoris yang ditujukan kepada Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, mengena di jantung persoalan:

“Apa batas maksimal Anda? Kapan waktunya Anda akan mengatakan ‘ya’ untuk sanksi?”

Pertanyaan itu menunjukkan absurditas situasi: puluhan ribu nyawa melayang, namun tindakan nyata dari komunitas global masih sebatas pernyataan. Kesaksian ini menuntut bukan sekadar sanksi simbolis terhadap individu, tetapi sanksi menyeluruh terhadap pemerintah yang mengkoordinasikan kebijakan penghukuman kolektif tersebut.

Dari Kesaksian ke Imperatif Global

Kesaksian anggota parlemen Italia ini mengubah cara kita memandang krisis Gaza. Ia menyingkap bahwa penderitaan bukanlah bencana alam, melainkan hasil strategi yang terencana. Dari penghancuran infrastruktur hingga penggunaan kelaparan sebagai senjata, semua menunjukkan pola yang jelas.

Satu kesimpulan muncul: komunitas internasional tak lagi bisa bersembunyi di balik retorika. Ada imperatif moral sekaligus strategis untuk bertindak. Implementasi sanksi menyeluruh terhadap pemerintah Israel menjadi langkah mendesak—bukan demi politik, tetapi demi kemanusiaan itu sendiri.

Krisis Gaza bukan sekadar tragedi regional; ia adalah cermin global. Apa yang dipilih dunia hari ini akan menentukan wajah peradaban kita esok: apakah berani menegakkan nilai kemanusiaan universal, atau membiarkan suara saksi mata terkubur di balik puing-puing. (***)

Penulis: Abdullah al-Mustofa

Editor: Toto Budiman

Sumber: Kanal Youtube Aljazeera Mubasher

Foto: Kanal Youtube AlJazeera Mubasher, Plan International, ABC News


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca