Ketika Generasi Muda Amerika Bangkit Membela Palestina, Pertanda Hati yang Terbuka

Dengarkan Artikel Ini

Gaza – 1miliarsantri.net : Di tengah gemuruh berita internasional yang semakin bising, sebuah suara berbeda muncul dari jantung Amerika. Suara itu datang dari generasi muda—Generasi Z dan Milenial awal—yang mulai memandang perang Israel-Palestina dengan hati yang lebih terbuka. Bukan lagi sekadar data statistik atau jargon politik, melainkan gelombang empati yang tumbuh, menggeser paradigma lama yang selama puluhan tahun membungkus kebijakan luar negeri Amerika.

Pertanyaan yang tertinggal untuk Santri Indonesia: tetap diam, atau ikut bergerak melawan ketidakadilan Israel?

Sebuah survei terbaru yang dirilis oleh University of Maryland Critical Issues Poll (Agustus 2025) menunjukkan adanya pergeseran besar dalam pandangan publik Amerika. Survei yang dilakukan pada 29 Juli hingga 7 Agustus 2025 dengan melibatkan 1.514 responden dewasa ini menemukan fakta mengejutkan.

Sumber foto: University of Maryland

Untuk pertama kalinya, simpati masyarakat Amerika terhadap Palestina melampaui dukungan pada Israel. Sekitar 28 persen responden menyatakan empati pada Palestina, sementara hanya 22 persen yang berpihak pada Israel. Lebih dari seperempat responden merasa simpati pada kedua belah pihak, dan sisanya memilih tidak berpihak sama sekali.

Angka-angka ini tampak sederhana, namun sesungguhnya menyimpan cerita penting: generasi muda Amerika mulai menggugat narasi lama yang selama puluhan tahun menguasai politik Washington.

Gelombang dari Generasi Z

Perubahan paling tajam datang dari kelompok usia 18–34 tahun. Di rentang ini, 37 persen responden menyatakan simpati pada Palestina, sementara hanya 11 persen yang memilih Israel. Angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah cermin dari hati nurani generasi yang tumbuh bersama internet, menyaksikan langsung gambar-gambar Gaza yang hancur, mendengar suara anak-anak yang menangis, dan membaca kisah keluarga yang tercerabut dari tanahnya.

Generasi ini terbiasa membongkar narasi, mempertanyakan otoritas, dan membandingkan fakta dengan realitas di lapangan. Mereka menyaksikan penderitaan Palestina tidak melalui pidato politisi, melainkan melalui layar ponsel mereka—video pendek, kesaksian warga sipil, dan berita alternatif yang tak bisa lagi ditutup-tutupi. Bagi mereka, ini bukan soal politik luar negeri yang jauh, melainkan isu kemanusiaan yang nyata.

Sumber foto: Aljazeera – AFP

 

Pergeseran Hati di Kampus dan Media Sosial

Jika masuk ke kampus-kampus besar Amerika hari ini, mural, spanduk, hingga aksi duduk-diam mahasiswa yang menyerukan satu kata—Free Palestine—mudah ditemukan. Media sosial menjadi ruang utama yang membentuk kesadaran ini. Video anak-anak Gaza yang kehilangan rumah, ibu yang menangis di tenda pengungsian, atau suara takbir yang bercampur dengan ledakan, tersebar luas di media sosial.

Solidaritas ini bukan sekadar ikut-ikutan. Bagi Generasi Z, membela Palestina menjadi bagian dari identitas mereka sebagai generasi yang menolak ketidakadilan. Isu rasisme, perubahan iklim, hingga kemerdekaan Palestina, semuanya mereka lihat sebagai satu benang merah: perjuangan untuk keadilan.

Politik Amerika di Ambang Perubahan

Pergeseran opini ini merembes ke ranah politik. Partai Demokrat kini menghadapi dilema: basis pemilih mudanya semakin keras menuntut agar pemerintah menghentikan dukungan buta kepada Israel. Sementara di Partai Republik—yang selama ini identik dengan pro-Israel—terlihat perpecahan internal. Jika 52 persen Republikan berusia di atas 35 tahun masih memihak Israel, angka itu anjlok menjadi hanya 24 persen di kalangan Republikan muda.

Tekanan ini bisa mengubah wajah politik luar negeri Amerika di masa depan. Generasi Z adalah pemilih masa depan, dan suara mereka akan semakin dominan seiring memudarnya generasi lama. Tidak mustahil suatu hari kelak, ada presiden Amerika dari generasi ini yang berani menekan Israel menghentikan penjajahannya.

Kata yang Dulu Tabu: Genosida

Hal lain yang mengejutkan adalah bagaimana publik Amerika menilai tindakan Israel di Gaza. Empat dari sepuluh warga percaya bahwa yang terjadi di sana adalah genosida, dan lonjakan ini paling tajam di kalangan anak muda. Hampir separuh Generasi Z menyebut Israel melakukan genosida, sementara hanya 10 persen yang menyebutnya sebagai “pembelaan diri.”

Istilah yang dulu tabu ini kini keluar dari mulut mahasiswa, aktivis muda, bahkan pemilih pemula. Mereka menyebut kehancuran Gaza bukan sebagai perang biasa, melainkan penghancuran sistematis atas sebuah bangsa. Perubahan bahasa ini adalah tanda perubahan moral: keberanian untuk menyebut sesuatu dengan namanya.

Amerika yang Dipertanyakan

Generasi muda juga mulai menggugat peran negaranya sendiri. Mayoritas warga—61 persen—percaya bahwa dukungan militer, diplomatik, dan ekonomi AS justru membuat Israel leluasa bertindak di Gaza. Bagi sebagian Republikan muda, bahkan muncul pandangan bahwa kebijakan luar negeri AS lebih berpihak pada Israel ketimbang pada rakyat Amerika sendiri.

Di sinilah letak gejolaknya: sebuah generasi yang tidak hanya bersimpati pada Palestina, tetapi juga berani menanyakan, “Untuk siapa sebenarnya negara ini bekerja? Untuk rakyatnya, atau untuk sekutunya?”

Harapan dan Bayang-bayang

Bagi rakyat Palestina, perubahan ini ibarat secercah cahaya di tengah gelap. Dukungan nyata dari Washington mungkin belum terwujud, tetapi opini publik yang bergeser membuat politisi Amerika tak bisa lagi berpura-pura. Setiap bom yang jatuh di Gaza kini juga berarti hilangnya simpati jutaan anak muda yang aktif bersuara di dunia maya.

Bagi Israel, tren ini adalah alarm keras. Perlindungan otomatis dari Amerika tidak bisa lagi dianggap abadi. Jika generasi muda Amerika konsisten, posisi Israel di masa depan bisa terguncang.

Bagi dunia, terutama dunia Islam, fenomena ini menjadi catatan penting: bahwa kebenaran yang terus disuarakan—meski dari balik tembok propaganda—pada akhirnya menemukan pendengarnya.

Penutup Reflektif untuk Santri Indonesia

Sejarah mengajarkan bahwa perubahan besar sering kali lahir dari suara anak muda yang diremehkan. Generasi muda Amerika mungkin belum mampu menghentikan bom di Gaza, tapi mereka sudah menanam benih perubahan. Jika tren ini terus berlanjut, dalam satu atau dua dekade ke depan, peta politik luar negeri Amerika bisa berubah drastis—dan Palestina mungkin menemukan sekutu sejati di tempat yang paling tak disangka: di hati anak muda Amerika.

Bagi santri di Indonesia, fenomena ini memberi pelajaran berharga. Bahwa perjuangan tidak selalu dimulai dari kekuatan politik, melainkan dari keberanian moral dan kejernihan hati nurani. Anak muda Amerika saja bisa tumbuh empati dan keberanian mereka, apalagi kita sebagai Muslim Indonesia yang mempunyai ikatan emosional yang kuat dan dekat dengan Muslim Palestina, Palestina dan Baitul Maqdis.

Pertanyaannya: jika mereka di sana berani menyuarakan keadilan untuk Palestina, apa yang bisa kita lakukan di sini? Apakah cukup hanya simpati, ataukah kita juga siap menyalakan obor kecil itu—melalui doa, ilmu, dakwah, tarbiyah dan aksi nyata?

Sebab sejarah tidak hanya ditulis oleh para pemimpin besar, tetapi juga oleh generasi muda yang berani menolak diam di hadapan ketidakadilan. (***)

Penulis : Abdullah al-Mustofa

Editor : Toto Budiman

Sumber:

The Anwar Sadat Chair for Peace and Development, University of Maryland

https://sadat.umd.edu/feature/latest-critical-issues-report-americans-are-now-more-sympathetic-palestinians-israelis


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca