Gaza yang Dijanjikan: Kota Pintar Bernilai Miliaran Dolar, Bentuk Penjajahan Wajah Baru

Dengarkan Artikel Ini

Gaza – 1miliarsantri.net : Di atas tanah yang berlumur debu dan darah, Gaza kembali dijanjikan keajaiban—bukan berupa kebebasan yang lama dirindukan rakyatnya, melainkan gedung-gedung kaca berkilau, jalan tol raksasa, dan pulau buatan yang menyerupai mimpi Dubai. Mewujudkan sebuah Kota Pintar bernilai miliaran dolar.

Namun, di balik narasi pembangunan itu, seorang anak kecil yang duduk di antara reruntuhan masih menggenggam batu, bukan kunci rumah; masih menatap langit kosong, bukan cahaya masa depan. Inilah ironi yang menusuk: ketika pihak-pihak yang berkepentingan sibuk merancang Gaza sebagai kota pintar bernilai miliaran dolar, rakyat Gaza justru dihadapkan pada risiko kehilangan satu-satunya hal yang tersisa—tanah, martabat, dan hak untuk menentukan masa depannya sendiri. Sebuah bentuk penjajahan wajah baru sedang berlangsung secara kasat mata.

Nama yang Megah: The GREAT Trust

Rencana itu diberi nama The GREAT Trust (The Gaza Reconstitution, Economic Acceleration and Transformation Trust). Di atas kertas, ia terdengar monumental—sebuah Gaza baru, bukan hanya bangkit dari kehancuran, tetapi “diciptakan kembali”. Gaza yang digadang-gadang bukan lagi kubu perlawanan, melainkan jantung ekonomi Mediterania. Gaza yang diimajinasikan bernilai ratusan miliar dolar, dengan gedung futuristik dan jalan tol lebar bernama MBS Ring dan MBZ Highway. Bagi  kalangan tertentu, mimpi itu terdengar seperti utopia. Namun bagi yang lain, ia justru menyerupai distopia.

Gaza Sebagai Papan Catur

Bagi para arsitek proyek ini, Gaza bukan sekadar wilayah kecil yang luluh lantak. Ia adalah simpul sejarah dan geografi. Terletak di jalur perdagangan kuno—dari Mesir menuju Babilonia, dari India menuju Eropa—Gaza disebut “harta terabaikan”. Tetapi, dalam lensa mereka, Gaza juga dianggap masalah: sebuah “outpost Iran” di tepi Mediterania, sekaligus batu sandungan bagi arsitektur Abrahamic yang coba dibangun Amerika bersama Israel dan negara-negara Teluk.

Karena itu, proyek ini bukan murni pembangunan fisik, melainkan rekayasa geopolitik. Hamas harus disingkirkan, Gaza harus ditata ulang, dan rakyatnya diarahkan pada masa depan baru—meskipun bukan masa depan yang mereka pilih sendiri.

Kota Pintar dan Pulau Buatan

Dalam dokumen rencana, Gaza masa depan digambarkan spektakuler. Enam hingga delapan kota pintar berbentuk irisan, lengkap dengan sekolah modern, rumah sakit internasional, kawasan hijau, dan industri ringan. Semua layanan berbasis digital dengan sistem identitas tunggal, diawasi kecerdasan buatan.

Sumber foto: The Guardian

Di sepanjang pantai, berdiri resort mewah bertajuk “Gaza Riviera”, dilengkapi pulau buatan yang meniru Palm Jumeirah di Dubai. Sementara di perbatasan, direncanakan kawasan manufaktur berteknologi tinggi bernama “Elon Musk Smart Manufacturing Zone”. Tak jauh dari situ, pusat data raksasa American Data Safe Haven akan menyimpan miliaran data regional dengan regulasi Amerika.

Gaza pun diproyeksikan bukan sekadar ruang hidup rakyat Palestina, tetapi etalase modernitas global—futuristik, steril, dan menguntungkan investor.

Namun, pertanyaan mendasar tetap menghantui: siapa yang benar-benar akan berjalan di jalan-jalan kota pintar itu? Apakah anak kecil yang kini duduk di atas puing akan memiliki rumah di dalamnya? Atau Gaza baru hanya akan menjadi milik mereka yang punya modal, paspor, dan akses politik?

Baca Juga :
Biadab! Israel Bersiap Hentikan Semua Bantuan Kemanusiaan Ke Gaza Utara dan Lakukan Pengusiran Paksa
: Gaza yang Dijanjikan: Kota Pintar Bernilai Miliaran Dolar, Bentuk Penjajahan Wajah Baru

Tanah Gaza Jadi Token Digital

Aspek paling kontroversial bukan sekadar megahnya rancangan, melainkan skema pendanaannya. Gaza akan diubah menjadi “land trust”. Lebih dari 30% tanah publik disewakan untuk jangka 25–99 tahun. Tanah itu kemudian “ditokenisasi” lewat blockchain, dijadikan aset digital yang bisa diperdagangkan. Investor global dapat membeli token, memiliki sebagian Gaza secara virtual, dan meraup keuntungan nyata.

Sumber foto: The Guardian

Bagi rakyat Gaza, tawaran itu sederhana: serahkan tanah, dan sebagai gantinya dapatkan rumah permanen. Namun bagi banyak orang Palestina, tanah bukanlah properti biasa—ia adalah warisan, identitas, bahkan kehormatan. Menukar tanah dengan token digital tampak modern di mata investor, tetapi bagi warga Gaza yang sudah kehilangan begitu banyak, itu adalah perampasan terselubung.

Relokasi “Sukarela”: Mengurangi Gaza

Rencana ini juga menyelipkan skema relokasi “sukarela”. Sekitar seperempat penduduk Gaza diproyeksikan meninggalkan tanah mereka. Sebagai kompensasi, tiap orang akan diberi paket $5.000, plus subsidi sewa dan makanan selama empat tahun. Alasan yang diajukan sederhana: lebih murah membiayai mereka di luar negeri daripada membangun rumah baru untuk semua.

Namun, relokasi semacam itu menimbulkan pertanyaan: apa arti “sukarela” bila pilihan yang ada hanya menerima uang lalu pergi, atau bertahan dalam ketidakpastian? Skema ini tampak efisien bagi investor, tapi bagi rakyat Gaza, ia adalah pengusiran halus—mengulang tragedi panjang pengungsian Palestina.

Gaza Bebas Hamas, atau Gaza Terkontrol?

Keamanan disebut sebagai syarat utama. Hamas harus dilucuti, bahkan jika itu berarti perang besar. Setelahnya, keamanan Gaza akan diatur oleh kontraktor swasta, sebagian warga terpilih, serta militer Israel. Pada tahap akhir, mungkin Gaza diberi pasukan sendiri, tapi tetap berada dalam kerangka perjanjian dengan Israel dan Trust. Gaza “baru” ini dibuat bebas dari Hamas, tapi sekaligus tetap dalam kendali luar—“bebas”, tapi tidak merdeka.

Baca Juga :
Robot Militer Israel Bawa 5 Ton Bahan Peledak, Gaza Hancur Jadi Puing-Puing: Gaza yang Dijanjikan: Kota Pintar Bernilai Miliaran Dolar, Bentuk Penjajahan Wajah Baru

Janji yang Menawan, Bayangan yang Menghantui

Janji proyek ini memang memukau: satu juta lapangan kerja, 13 ribu ranjang rumah sakit baru, perumahan permanen 100%, dan PDB yang diproyeksikan naik sebelas kali lipat. Gaza yang kini bernilai nyaris nol diperkirakan melonjak hingga $324 miliar dalam sepuluh tahun.

Namun, bayangan yang mengintai jauh lebih gelap: apakah rakyat Gaza akan menjadi subjek dari kemakmuran ini, atau sekadar objek? Apakah mereka akan benar-benar menikmati hasil, atau justru hanya menjadi penonton dari kota pintar yang dibangun di atas tanah mereka sendiri?

Penutup – Refleksi

Rencana The GREAT Trust memperlihatkan wajah ganda: di satu sisi ada janji kemakmuran futuristik, di sisi lain ada ancaman hilangnya tanah, sejarah, dan identitas. Angka-angka pembangunan memang tampak cemerlang, tapi tanpa keterlibatan rakyat Gaza, ia menjadi bentuk baru penjajahan.

Pertanyaan akhirnya pun menggantung: apakah pembangunan yang tidak berakar pada aspirasi rakyat bisa disebut kebangkitan? Gaza memang bisa dipoles dengan jalan tol megah dan resort mewah, tapi luka sejarah tak bisa ditutup begitu saja dengan kaca dan beton.

Refleksi ini mengingatkan bahwa kemajuan tanpa keadilan hanyalah fatamorgana. Gaza yang dijanjikan tidak boleh lahir dengan menyingkirkan Gaza yang sejati—tanah yang diwariskan, diperjuangkan, dan dijaga oleh rakyat Palestina dari generasi ke generasi. Pada akhirnya, masa depan yang bermakna hanya bisa lahir dari keberanian sebuah bangsa mempertahankan martabatnya di tengah badai sejarah. (***)

Penulis : Abdullah al-Mustofa

Editor : Toto Budiman

Sumber :The Washington Post & The Guardian


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca