Redaksi

Musibah Besar Jika Ada Orang Tidak Berilmu Memberikan Fatwa

Jakarta – 1miliarsantri.net : Salah satu kekeliruan beragama yang paling besar adalah bila persoalan agama ditanyakan kepada orang yang tidak tepat, termasuk apabila bertanya kepada orang alim seputar hal-hal yang tidak diketahuinya, namun nekad memberikan jawaban. Habib Ali al-Jufri sekaligus Penulis buku Al-Insaniyah Qabla at-Tadayun (Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan) menyoroti bahwa seorang mufti semestinya mendalami realita dari persoalan yang ditanyakan kepadanya. Ia mengatakan bahwa seorang mufti tidak diperbolehkan menurut syariat, menetapkan hukum atas realita yang berubah-ubah sebelum betul-betul memahaminya. “Apabila dia mengeluarkan fatwa atas suatu realita namun dia sendiri tidak mengetahui detail-detailnya, maka dia berdosa,” terang nya kepada 1miliarsantri.net, Jumat (2/06/2023). Dalam pernyataan yang dimuat Sada al-Balad, pemilik nama lengkap Sayyid Al-Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri ini menerangkan bahwa seorang mufti harus memiliki dan menguasai instrumen metodologi yang dapat ia gunakan untuk melakukan pembaharuan fatwa bilamana terdapat faktor kebutuhan untuk harus memperbarui fatwa. “Karakter fatwa itu terpengaruh oleh tempat, waktu dan keadaan, di samping ada perkara-perkara tsawabit (paten dan absolut) yang tidak dapat diijtihadi,” jelas murid Habib Umar bin Hafiz ini. Pendiri sekaligus pemimpin Tabah Foundation ini mengajak kaum muslimin agar meminta fatwa dari para spesialis dan pakar di bidang mereka masing-masing. Meminta fatwa kepada orang yang tidak kapabel di bidangnya justru akan memunculkan fatwa-fatwa yang kontradiktif dan mengarah kepada bencana dan petaka. “Fatwa-fatwa terkait dunia medis dan kedokteran, harus merujuk kepada para dokter spesialis,” tandas beliau. Pendakwah kelahiran Jeddah Arab Saudi ini mengingatkan bahwa Allah SWT. memerintahkan kita untuk melakukan ikthiar dan usaha, dan melarang siapa saja mengeluarkan fatwa tentang masalah terkait kesehatan, lingkungan atau lainnya kecuali sesudah merujuk kepada para pakar yang menguasai bidang tersebut. “Barang siapa berfatwa dalam hal itu tanpa merujuk kepada pakar dan spesialis di bidang terkait, telah menyalahi perintah Allah,” ujar beliau. Menurut Habib Ali al-Jufri, kaum muslimin sekarang hidup di tengah dua bahaya ekstremisme. Muncul pandangan ekstrem yang memanfaatkan fatwa sebagai alat untuk menguasai dan mengarahkan manusia untuk menebarkan kebencian, permusuhan dan kejahatan. Sebaliknya, ada bentuk ekstremisme lain yang berasal dari ceruk yang sama. Ada kampanye yang mengajak untuk mencerabut fatwa dari akarnya, menganggap fatwa sebagai bentuk dominasi absolut, dan menyatakan bahwa setiap orang secara bebas berhak mengambil apa yang dia sukai. Kenyataan di atas, dalam pandangan Habib yang lebih suka berdakwah di kampus dan forum ilmiah ini, dapat dilihat dalam fatwa-fatwa keagamaan terkait pandemi Covid-19. Ada fenomena ekstremisme yang menolak segala bentuk protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus dan membantah perintah Allah untuk berikhtiar melakukan pencegahan. Pada saat bersamaan, ada bentuk ekstremisme lain yang mengesankan untuk tidak berlebihan dalam urusan ibadah seperti shalat dan jamaah di masjid sementara terjadi banyak kerumunan dengan pelbagai macam bentuknya. “Padahal agama Islam menyuruh bersikap adil dalam bersikap,” terang beliau. (dul)

Read More

5 Kunci Ilmu Tasawuf Syekh Ahmad Zarruq

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Salah satu cabang ilmu syariat yang sangat penting untuk dipelajari dan dipahami adalah ilmu tasawuf. Yakni salah satu cabang ilmu yang membahas perihal gerak-gerik hati dari yang tercela hingga yang mulia. Ia menjadi pilar penting dalam memurnikan ibadah seseorang agar terhindar dari beragam sifat-sifat madzmumah (tercela), sehingga menjadi ibadah yang benar-benar murni. Cakupan ilmu tasawuf memang sangat luas. Ia tidak sesederhana aliran sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, melainkan samudera luas sejauh mata memandang. Oleh karenanya, ketika seseorang sedang mempelajari ilmu tasawuf, ia ibarat seorang penyelam, mestilah memiliki ketangkasan dalam menyelam. Atau sebagaimana seorang pelaut, ia harus mengetahui ke mana arah angin berembus. Kendati demikian, luasnya samudera tetap bisa untuk diselami, sebagaimana luasnya tasawuf, pada akhirnya juga memiliki kesimpulan-kesimpulan secara khusus, yang dikenal dengan istilah pokok tasawuf. Berikut ini beberapa pokok dalam ilmu tasawuf menurut al-Arif Billah Syekh Ahmad Zarruq (wafat 899 H) yang harus dimengerti agar bisa menjadikannya sebagai pedoman dalam hidup. Syekh Ahmad Zarruq dalam kitabnya, al-Fawaid min al-Kinasy mengatakan bahwa ilmu tasawuf memiliki 5 pokok, yaitu dengan cara membenarkan setiap sesuatu yang berkaitan dengan Allah, mulai dari keimanan, Islam, Ihsan, dan persaksian. “Pokok-pokok tasawuf ada lima, yaitu(1) membenarkan iman dengan keyakinan;(2) membenarkan Islam dengan bertakwa;(3) membenarkan ihsan dengan mengosongkan hati dari selain Allah;(4) memantapkan persaksian (kepada Allah sebagai satu-satunya Zat yang wajib disembah); dan(5) menggunakan akhlak dan etika ketika melakukan interaksi dengan makhluk.” Lima tanda-tanda di atas merupakan pokok-pokok dalam ajaran tasawuf. Dengan kata lain, jika seseorang sudah bisa melakukan semuanya, maka ia sudah benar-benar ahli tasawuf. Hanya saja, lima pokok tersebut memiliki tanda masing-masing. Pertama, membenarkan iman dengan yakin. Tanda-tanda seseorang sudah memenuhi pokok yang pertama ini adalah dengan cara memasrahkan semuanya kepada Allah dan ridha atas semua ketentuan-Nya. Semua ini bisa diraih dengan cara menghilangkan sikap mengatur dalam dirinya, dan benar-benar pasrah penuh pada takdir dari-Nya. Kedua, membenarkan Islam dengan takwa. Tanda-tanda seseorang sudah memenuhi pokok yang kedua ini jika sudah mampu untuk istiqamah. Istiqamah bisa diraih dengan cara meninggalkan setiap sesuatu yang tidak berfaedah. Meninggalkan sesuatu yang tidak berfaedah bisa dilakukan dengan cara mengikuti perilaku Rasulullah. Semua itu bisa dibuktikan jika seseorang sudah mampu mengontrol dirinya dengan akhlak yang tercermin dalam Al-Qur’an dan hadis sesuai kemampuannya. Ketiga, membenarkan ihsan dengan mengosongkan hati dari selain Allah. Pokok ketiga ini bisa sah jika seseorang sudah mampu memiliki perasaan selalu diawasi oleh Allah. Dengan perasaan tersebut, ia tidak akan mengerjakan perbuatan yang tidak diridhai oleh Zat yang mengawasinya. Keempat, memantapkan persaksian. Pokok keempat ini bisa ada dalam diri seseorang jika ia sudah benar-benar yakin bahwa yang memiliki peran dalam semua urusannya hanyalah Allah, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Ini bisa dibuktikan jika ia sudah bisa untuk selalu tawakkal, berkhidmat, sabar, dan bersyukur kepada-Nya. Kelima, menggunakan akhlak dan etika ketika melakukan interaksi dengan makhluk, yaitu dengan cara mengangkat derajat mereka, tidak mencelakai, menghilangkan segala penyakit yang bisa mengganggu, menampakkan kebahagiaan, memberikan nasihat semampunya, dan tidak memanfaatkan mereka untuk urusan pribadinya. Dari beberapa penjelasan di atas, terdapat 5 pokok lain yang menjadi poin seseorang untuk bisa melakukan pokok-pokok tasawuf menurut Syekh Ahmad Zarruq. “Intisari dari 5 pokok tersebut juga ada 5, yaitu:(1) menjaga kehormatan;(2) tingginya cita-cita;(3) baik dalam mengabdi kepada Allah;(4) memaksimalkan kewajiban; dan(5) mensyukuri nikmat.” Itulah sekilas penjelasan perihal pokok-pokok dalam ilmu tasawuf menurut Syekh Ahmad Zarruq, yang harus dilakukan oleh setiap orang guna meraih keimanan dan keislaman yang sempurna. (fq)

Read More

Kisah Perjalanan Haji Masa Lampau

Jakarta – 1miliarsantri.net : Berangkat menunaikan ibadah haji ke Baitullah merupakan keinginan setia Muslim seluruh penjuru dunia, termasuk umat Islam di Indonesia. Sejak berabad-abad silam hingga kini, jamaah asal Indonesia selalu menempati porsi terbesar di setiap penyelenggaraan haji dan Umrah nya. Tentu saja, menunaikan rukun Islam kelima pada masa kini berbeda dengan masa terdahulu. Saat ini, orang-orang memiliki opsi transportasi yang lebih efisien yakni menggunakan moda angkutan pesawat terbang. Berpuluh-puluh tahun sebelumnya, jalur laut merupakan satu-satunya pilihan yang ada. Seperti hal nya yang pernah dialami KH Abdussamad, seorang jamaah asal Kalimantan Selatan yang menunaikan ibadah haji pada tahun 1948. Dia menuturkan jamaah haji Indoneasia yang lebih dikenal dengan Nusantara pada zaman dahulu menghadapi pelbagai aral rintangan yang ditemui, baik menjelang keberangkatan maupun dalam perjalanan menuju Tanah Suci. Bahkan, kebanyakan dari jamaah masih saja menjumpai kendala-kendala begitu berada di Tanah Suci. Pelayaran dari Nusantara ke Jazirah Arab sejak abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20 Masehi tidak bisa dikatakan aman seluruhnya—atau tidak sebaik masa kini. Durasi perjalanan via laut itu mencapai kira-kira enam bulan. Selama menumpangi kapal laut, jamaah haji mesti menghadapi kenyataan yang tidak semua menyenangkan. “Sering kali kapal berkondisi buruk. Terlebih lagi, masih banyak jamaah haji pada masa itu yang memilih kapal barang (kargo), alih-alih kapal yang memang khusus untuk penumpang. Dalam kapal kargo, jamaah diberi tempat dalam ruang gudang (palka), masing-masing seluas satu hingga satu setengah meter persegi,” ungkapnya. Kiai Abdussamad menambahkan, banyak jamaah hanya mendapatkan ruang seluas 60 x 100 cm persegi. Itu pun masih ada sekira 150 orang jamaah yang tidak dapat tempat di atas kapal. Bayangkan, selama enam bulan pelayaran mereka mesti bertahan di ruangan sesempit itu—atau bahkan tak kebagian tempat sama sekali. Belum lagi urusan tidur, mandi, buang air, dan memasak makanan. Kondisi demikian masih menjadi pemandangan umum hingga era 1950-an. Bukan hanya soal fasilitas, perjalanan pun dirundung bahaya dari luar. Jamaah masih menghadapi potensi kapal karam atau diserang kawanan perompak. Suatu kasus terjadi pada 1893, yakni kapal Samoa yang dikontrak firma Herkloys dan membawa sebanyak 3.600 jamaah haji. Muatan itu jauh melebihi kapasitas kapal. Ketika badai menerjang, porak-porandalah segala barang di atas kapal itu. Korban jiwa mencapai 100 orang. Terdapat naskah yang disimpan keluarga Muhammad Said dari Mindanao, Filipina, memuat teks bertajuk “Alkisah tatkala Tuan Muhammad Said Berlayar dari Negeri Hudaidah.” Di dalamnya, tercatat kesaksian bahwa pada 1803 kapal yang ditumpangi Tuan Muhammad Said dan rombongan asal Mindanao karam ketika sampai di titik antara Hudaidah dan Makkah. Bagaimanapun, jamaah tersebut akhirnya sampai ke Tanah Suci sekira satu bulan berikutnya. Persebaran penyakit menular juga mengkhawatirkan jamaah haji. Wabah yang sering terjadi dan menelan ribuan korban, antara lain, adalah kolera. Pada 1865, sebanyak 15 ribu orang meninggal dunia akibat terjangkit kolera di Hijaz. Epidemi itu lalu dengan cepat menyebar hingga ke negeri-negeri tetangga Arab. Di Mesir, tercatat 60 ribu orang wafat akibat sakit tersebut. Van Dijk (1997) mengutip disertasi dr Abdoel Patah yang bertajuk “Aspek Kesehatan Perjalanan Haji ke Makkah.” Dalam karya ilmiah yang terbit pada 1935 itu, terungkap bahwa selama era 1920-an, ada sekitar 10 persen jamaah haji meninggal di Tanah Suci atau dalam perjalanan. Suaka karantina dibangun pertama kalinya pada 1831 di Pulau Abu Sa’ad, dekat Terusan Suez. Sekitar 50 tahun kemudian, sarana itu ditutup. Penggantinya didirikan di Pulau Kamaran, sebelah selatan Jeddah. Mulai tahun 1903, karantina dikelola bersama oleh Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan tiga negara Eropa Barat, yakni Britania Raya, Prancis, dan Belanda. Kerja sama ini mewujud dalam Internationale Gezondheidsraad yang bermarkas di Iskandariah, Mesir. Usai pelayaran yang melelahkan, jamaah tetap mesti bersabar. Menjejakkan kaki di Jazirah Arab pada masa itu berarti menghadapi beberapa tantangan lainnya. Di antaranya adalah potensi penjarahan dan pemerasan. Pada abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20 M, orang-orang Arab Badui umumnya menguasai kawasan gurun pasir antara Jeddah, Makkah dan Madinah. Bahkan, pemerintahan yang sah—baik sultan Turki Utsmaniyah maupun syarif Makkah—setidaknya hingga 1920-an tidak mampu mengamankan area tersebut. Maka, tidak jarang jamaah haji dirintangi kelompok Badui. Karena merasa sebagai pemilik wilayah, para Badui itu meminta semacam pajak atau “uang lewat” kepada jamaah haji yang melintas. Malahan, tidak jarang pula mereka menjarah kafilah-kafilah yang lewat. Jamaah asal Indonesia menjadi incaran favorit karena hampir pasti membawa bekal uang yang lebih banyak daripada yang lain. Pada 1924, RAA Wiranatakusumah mencatat, rombongan hajinya urung ke Madinah karena merasa, perjalanan dari Makkah ke sana terlalu berbahaya. Adapun pemerasan telah menjadi soal yang memusingkan jamaah haji bahkan sejak ratusan tahun sebelum era modern. Pada abad ke-12 M, Ibnu Jubayr mencatat dengan geram bahwa orang Hijaz “menganggap layak” mengeksploitasi semua orang asing, termasuk mereka yang sedang melaksanakan perjalanan haji. “Karena mereka menganggap jamaah sebagai salah satu sumber nafkah utama buat mereka, maka mereka merampas segala hartanya, dan senantiasa mempunyai alasan untuk mengambil segala miliknya (jamaah),” tulis Ibnu Jubayr. Kesaksian mengenai pemerasan diungkapkan baik oleh orang Indonesia sendiri maupun pengamat Belanda. Pelaku tindakan buruk itu adalah orang-orang Arab, baik yang berperan (resmi) sebagai mutaqif maupun pedagang—lebih-lebih Arab Badui. Mereka menganggap rendah jamaah dari negeri-negeri yang jauh, termasuk Indonesia. Jamaah haji dari Nusantara dinamakan, secara maknawi netral, sebagai Jawi, yakni merujuk pulau tempat kebanyakan mereka berasal. Namun, orang-orang Jawi disebut penduduk Arab dengan julukan yang peyoratif pula. Misalnya, farukha (jamak kata farkh, ‘ayam itik’) dan baqar, ‘hewan ternak.’ Demikian dicatat Snouck Hurgronje (1931). Buya Hamka mencatat kesannya: “Setiap jamaah itu (asal Indonesia –Red) tak ubahnya dengan kambing-kambing (di mata penduduk).” Pemerasan yang menimpa mereka menjadikan orang-orang Melayu dan Jawa “di mata orang Arab … adalah ‘sapi perah’”, demikian tulis Abdul Majid. Hurgronje (1931) juga mencatat bagaimana modus orang-orang Arab memeras jamaah haji Indonesia kala itu. Mereka memanfaatkan keluguan atau ketidaktahuan jamaah. Orang-orang yang hendak menunaikan ziarah ke Baitullah itu disuruhnya melakukan macam-macam kunjungan ke tempat-tempat tertentu. “Perjalanan ini mahal dan melelahkan karena di luar agenda haji sesungguhnya. Orang-orang itu ikut saja arahan karena tidak mengetahui rukun-rukun dan sunah-sunah ibadah haji,” tutup Kiai Abdussamad. (fq)

Read More

Tercatat 4 Jamaah Meninggal di Saudi

Medinah – 1miliarsantri.net : Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) merilis dua data terbaru jemaah haji yang meninggal dunia. Keduanya merupakan warga Jawa Timur. Sehingga jumlah jamaah haji Indonesia yang meninggal dunia di Arab Saudi hingga hari Rabu (31/5/2023) tercatat sebanyak 4 orang. “Keduanya yakni Lengen Delem Dussalam, 91 tahun, asal Madura dan Ibnu Sahid bin Dasir, 64 tahun, asal Madiun,” ujar Kepala Seksi Layanan Penghubung Kesehatan Daker Madinah dr Desnita kepada media, Rabu (31/5/2023). Lengen Delem Dussalam merupakan jemaah haji embarkasi Surabaya (SUB-01). Dia tercatat sebagai warga Bangkalan, Madura dan meninggal dunia di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Madinah. Hasil diagnosa menyebutkan almarhum meninggal dunia akibat septic shock, yakni infeksi di dalam tubuh. Sementara itu, Ibnu Sahid bin Dasir meninggal dunia di KKHI Madinah. Berdasarkan hasil diagnosis, ia meninggal karena menderita penyakit jantung. “Penyebabnya sebagian besar karena sakit jantung dan penyakit bawaan diabetes,” ujar Dr Desnita. Sebelumnya, jemaah haji bernama Achmad Suhada Riduwan, 53 tahun, meninggal dunia sesaat setelah tiba di Bandara Internasional Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMMA), Madinah, pada Sabtu (27/5). Ia tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 9 embarkasi Surabaya (SUB-09). Pria asal Gresik, Jawa Timur itu sempat mendapatkan perawatan medis di Klinik Bandara. Namun ia mengembuskan nafas terakhir saat dirujuk ke Rumah Sakit Arab Saudi (RSAS). Jenazah dimakamkan di Pemakaman Baqi, Madinah. Sehari sebelumnya, Suprapto Tarlim Kerto Wijoyo yang tergabung dalam kelompok terbang (kloter) 03 embarkasi Solo (SOC-03) meninggal dunia, Rabu (24/5). Suprapto tiba di Bandara Internasional Amir Muhammad Bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah pada pukul 20.40 waktu Arab Saudi. Belum sehari berada di Madinah, Suprapto yang sempat menginap di Hotel Abraj Taba Company, mengembuskan nafas pada pukul 04.00 pagi akibat serangan jantung. (zul)

Read More

Marak Isu Varian Kristen Muhammadiyah

Jakarta – 1miliarsantri.net : Viral mengenai adanya varian Kristen Muhammadiyah ramai di perbincangkan dan diperdebatkan di sosial media, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menanggapi maraknya perbicangan Kristen Muhammadiyah (KrisMuha) tersebut. Menurut Abdul Mu’ti, istilah KrisMuha sebenarnya mengemuka setelah buku “Kristen Muhammadiyah” yang ditulis dirinya bersama Fajar Riza Ul Haq diluncurkan dan dibedah pada Sabtu (27/5/2023). Abdul mu’ti menegaskan, KrisMuha adalah varian sosiologis, bukan teologis. Istilah ini merujuk pada kedekatan antara warga Kristen dengan gerakan Muhammadiyah, bukan penggabungan akidah Muhammadiyah dengan Kristen. “Kristen Muhammadiyah merupakan varian sosiologis yang menggambarkan para pemeluk Agama Kristen/Katolik yang bersimpati dan memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah,” ucap Mu’ti dikutip dari laman resmi PP Muhammadiyah, Senin (29/5/2023). Menurut Mu’ti, kedekatan dan simpati kepada Muhammadiyah karena pengalaman berinteraksi dengan warga dan pemahaman atas Muhammadiyah selama belajar di sekolah/lembaga pendidikan Muhammadiyah. Mu’ti menjelaskan bahwa KrisMuha bukanlah anggota resmi Muhammadiyah. Mereka tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan keyakinan Kristen. Dengan demikian, varian KrisMuha sesungguhnya bukanlah penggabungan teologis antara Muhammadiyah dan Kristen, melainkan simpatisan Muhammadiyah yang beragama Kristen. “Mereka bukan anggota Muhammadiyah. Mereka tetap sebagai pemeluk Agama Kristen/Katolik yang teguh menjalankan ajaran agamanya. Kristen Muhammadiyah bukanlah sinkretisme agama dimana seseorang mencampuradukkan ajaran Kristen/Katolik dengan Islam (Muhammadiyah),” tutup Mu’ti. (sam)

Read More

Prof Quraish : Hadirkan Allah ke Hatimu Jika Belum Bisa Berhaji

Jakarta – 1miliarsantri.net : Sebagian umat muslim sudah mengetahui ibadah haji adalah syariat yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya. Lebih dari itu, ibadah Haji juga masuk katagori rukun Islam yang di fardhukan kepada setiap muslim yang memiliki kemampuan untuk menunaikannya baik secara fisik maupun materi. Rupanya, ibadah haji telah ada sejak zaman Nabi Ibrahim. Karena itu, tak heran jika perjalanan ibadah haji disebut juga dengan perjalanan napak tilas Nabi Ibrahim, hingga akhirnya, seruan Ibrahim itu diteruskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Menurut para ulama, haji diwajibkan pada bulan ke 9 Hijriah. Dan, saat itu, untuk pertama kalinya sahabat Rasulullah SAW yang menunaikan ibadah haji adalah Abu Bakar Siddiq yang sekaligus sebagai ketua rombongannya. Baru kemudian di tahun berikutnya Rasulullah SAW melakukan ibadah haji. Pertanyaannya adalah bagaimana jika orang yang ingin menunaikan haji tapi tidak bisa haji? Prof Quraish Shihab, Lc, MA mengatakan, jika ditanya, siapapun pasti akan menjawab berkeinginan berangkat haji. Namun apa boleh buat jika fisik dan materi tak mendukung. Sebuah ungkapan sufi menyatakan : “berkunjung ke Mekah itu adalah berkunjung ke rumah Tuhan. Sungguh rugi orang yang berkunjung ke rumah kekasih tetapi tidak disambut oleh kekasih. Rugi orang yang berkunjung ke rumah kekasih lantas tidak menemui kekasih. Kalau kamu tidak mampu berkunjung kerumah kekasih undanglah kekasih ke rumah kamu.” “Dari sini sudah jelas, sekiranya kita tak bisa pergi naik haji, maka undanglah Tuhan ke rumah hati anda (kalbu). Hampir senada dengan pernyataan sufi, apa yang di ungkapkan oleh al-Ghazali dalam kitab Ya Waladi (wahai anakku): “Nak seandainya sultan mau datang ke rumah kamu apa yang akan kamu lakukan? Kata Al-Ghazali, Saya yakin kamu akan membersihkan rumahmu, dan menyiapkan segala sesuatu supaya terlihat indah,” terang Prof Quraish kepada 1miliarsantri.net, Kamis (1/6/2023). Sebenarnya jika mau diperinci, hampir semua kegiatan haji, baik yang wajib atau yang sunnah, itu berkaitan dengan Nabi Ibrahim dan keluarganya yaitu, tawaf, sa’i, arafah, melontar jumrah dan lainnya. Semuanya mengikuti jejak Nabi Ibarahim. “Tentu saja bukan tanpa alasan kenapa kita harus mengikuti jejak Nabi Ibrahim, sebenarnya ada tiga keistimewaan Nabi Ibrahim yang paling menonjol yang mestinya harus dihayati oleh mereka yang pergi haji dan dihayati oleh orang yang mau haji tapi tidak haji,” imbuhnya. Pertama, Nabi Ibrahim menemukan Allah melalui pengalaman rohani. Sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an surah Al-An’am [6]: 76-79: “Ketika malam-malam telah menjadi gelap gulita, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam. Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “sungguh, jika Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” “Kemudian ketika dia melihat matahari terbit dia berkata, “inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” Jika Nabi-Nabi sebelumnya memperkenalkan Tuhan kepada umatnya sebagai Tuhan kamu, Tuhan suku, Tuhan bangsa, berbeda dengan Ibrahim yang mengumandangkan bahwa Tuhan itu adalah Tuhan seru sekalian alam. Tuhan segala sesuatu yang menyertai manusia, baik dalam keadaan sadar maupun tidur. Itu sebabnya, Nabi mengajarkan pada saat kita mau tidur harus membaca doa. Kedua, soal kepercayaannya kepada hari kemudian (kiamat). Memang, tak ditemukan dalam al-Qur’an seorangpun yang meminta kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya bagaimana Allah menghidupkan yang mati. Tidak ada. Satu-satunya Nabi yang berani meminta kepada Allah untuk membuktikannya adalah Nabi Ibrahim. Allah berfirman: وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ أَرِنِى كَيْفَ تُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِى ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ ٱلطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ ٱجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ٱدْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَٱعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu, kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketauhilah bahwa Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Ketiga, pada masa Nabi Ibrahim (bahkan sebelum dan sesudahnya), orang percaya pada dewa, Tuhan, dan sebagainya. Lalu mereka mempersembahkan sesajen (kurban) pada Tuhan. Tetapi, sebagian dari mereka mempersembahkan sesaji dalam bentuk manusia. Misalnya, di Babilonia banyak bayi yang dipersembahkan bahkan tak segan-segan menyembelihnya demi berkurban. Begitu pun di Mexico. Dalam sejarah dikatakan suku Aztec mempersembahkan pemuka agamanya kepada dewa perang (yang paing hebat diserahkan). Di Mesir juga sama (bahkan sesudah masa Nabi). Mereka tetap mempertontonkan perbuatan kejinya. Dalam hal ini, di Mesir, yang dicari dan dibuat persembahan adalah gadis-gadis cantik. Baru kemudian berakhir pada masa Sayyidina Umar dengan ditulisnya surat untuk sungai Nil. “Hai Nil, kalau kamu melimpah karena gadis tidak perlu. Tapi kalau kamu melipmpah karena atas izin Allah dan karunianya berhentilah engkau meminta kurban.” Tapi yang jelas, kenyataan ini sudah menunjukkan bahwa, masa Ibrahim dan sesudahnya ada orang yang mempersembahkan manusia sebagai kurban. “Sejak masa Nabi Ibrahim juga sudah timbul pendapat, kesadaran, bahwa sebenarnya manusia terlalu mahal untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Itu artinya, jangan jadikan manusia sebagai sesaji, dan jangan kurbankan manusia untuk Tuhan,” tambah Prof Quraish. Melalui Nabi Ibrahim, Allah memberi pelajaran pertama, “Hai Ibrahim, keliru orang-orang yang berkata bahwa manusia terlalu mahal untuk dipersembahkan pada Tuhan. Tidak! Kalau Tuhan minta, apapun harus kamu serahkan.” Hingga akhirnya, Nabi Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya (Nabi Ismail). Sebagai manusia biasa, bisa dibayangkan, dari penantian lama menunggu hingga berusia 90 tahun Ismail baru lahir. Anak yang menjadi harapan dan sangat ia banggakan tiba-tiba disuruh sembelih dengan tangan sendiri. Sedikitpun Nabi Ibrahim tidak menawar perintah itu. Hingga kemudian Ismail dipanggil dan Nabi Ibrahim berkata: “Hai anakku! Saya mimpi menyembelih kamu”. Dengan patuhnya Ismail berkata: “Silahkan laksanakan.” Ini membuktikan bahwa, tidak ada yang mahal jika Tuhan memintanya. Dan, untuk menunjukkan bahwa manusia tidak boleh dijadikan sebagai sesaji, Nabi Ismail kemudian diganti dengan seekor domba. Bukan karena terlalu mahal, melainkan karena Allah sangat mencintai manusia. “Dari sini…

Read More

Sejarah Baru Jamaah Calhaj Diberangkatkan Naik Kereta Api

Medan – 1miliarsantri.net : Hampir semua calon jamaah haji ketika akan berangkat dari daerah asal menuju ke asrama haji masing-masing menggunakan armada bus, namun berbeda dengan 332 calon jamaah haji asal Labuhanbatu ini diantar menggunakan moda kereta api ke Stasiun Medan. Vice President PT KAI Divre I Sumut Arie Fathurrochman mengatakan, PT KAI Divisi Regional I Sumut telah mencatatkan sejarah perkeretaapian Indonesia, setelah membantu pengangkutan 332 calon haji asal Labuhanbatu dari Stasiun Rantauprapat ke Stasiun Medan, Sumatra Utara, Rabu (31/5/2023), dengan kereta api luar biasa (KLB). “Keberangkatan rombongan haji dengan menggunakan kereta api ini perdana dilakukan dan merupakan yang pertama kali dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia,” terang Arie Fathurrochman dalam keterangan tertulis kepada media. Arie menambahkan, KLB untuk para calon haji dari Kabupaten Labuhanbatu terdiri dari delapan kereta eksekutif dengan total kapasitas 400 penumpang. Kereta api tersebut berangkat dari Stasiun Rantauprapat pada pukul 07.15 WIB dan sampai di Stasiun Medan pukul 12.30 WIB. Para calon haji yang berstatus VVIP tersebut mendapatkan layanan maksimal di KLB. Mereka berhak menikmati sarapan, makan siang, kudapan, buah, dan menerima souvenir. Terkait KLB itu, Arie menjelaskan, masyarakat Sumatra Utara dapat menumpanginya dengan beberapa syarat yang wajib dipenuhi. Pertama, menghubungi pusat kontak KAI melalui nomor telepon 121 atau mengirimkan pesan ke WhatsAppUnit Angkutan Penumpang Divre I SU di nomor 081120210011. Kemudian, pelanggan mengajukan surat permohonan angkutan rombongan yang berisi jumlah penumpang, relasi (tujuan) dan jadwal perjalanan. KAI selanjutnya akan mengecek ketersediaan rangkaian dan membuat penawaran tarif. Jika kedua pihak setuju, akan ada berita acara kesepakatan. Pada berita acara kesepakatan tersebut ada uang muka yang harus dibayar. Setelah lunas KAI akan menyiapkan sarana kereta apinya. Adapun calon pelanggan KLB mesti melakukan pendaftaran minimal H-7 sebelum keberangkatan. Karena KAI perlu menyiapkan segala aspek demi mengoptimalkan pelayanan. “Dengan layanan KLB ini, kami berharap masyarakat dapat menikmati perjalanan kereta api yang lebih eksklusif, aman, nyaman. dan sehat. KAI berkomitmen untuk selalu memberikan layanan terbaik bagi masyarakat,” pungkasnya. (tri)

Read More

Buya Yahya Soroti Perihal Hadiah Berupa Voucher Haji atau Umrah

Jakarta – 1miliarsantri.net : Ramai nya kabar adanya pemberian hadiah dalam bentuk voucher haji atau umrah yang menjadi perhatian banyak orang, karena masih diragukan bagaimana hukum serta pandangan dalam Islam. Pengasuh Pondok Pesantren Al Bahja, Prof Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) ikut angkat bicara. Menurut nya Hukum mengenai pemberian hadiah dalam bentuk voucher haji dan umrah tergantung pada keadaan dan kondisi yang melingkupinya. Buya Yahya menegaskan, jika seseorang membeli suatu produk atau layanan yang kemudian mendapatkan hadiah berupa voucher haji atau umrah, maka hukumnya adalah mubah, atau diperbolehkan. “Hukumnya dari sesuatu yang mubah, kita beli sesuatu dapat hadiah beli voucher, dapat hadiah Haji ada umroh, karena hadiah, hajinya sah,” terang Buya Yahya kepada 1miliarsantri.net, Rabu (31/5/2023). Buya Yahya menekankan, hadiah haji atau umrah tersebut hanya sah apabila penerima hadiah tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam agama Islam. Misalnya, seseorang harus sudah merdeka dan telah memenuhi kewajiban haji sebelumnya. Dalam hal ini, voucher tersebut dapat digunakan untuk menggugurkan kewajiban haji. “Dia sudah memenuhi syarat, bahwasanya dia merdeka dan akan menggugurkan kewajiban haji,” ungkap Buya Yahya. Namun, Buya Yahya menyoroti permasalahan yang muncul terkait penerimaan hadiah tersebut. Tidak semua hadiah harus diterima secara langsung, terutama jika hadiah tersebut diberikan dengan maksud merendahkan atau menyakitkan hati penerima. “Hadiah yang bertujuan memuliakan seseorang seharusnya diterima dengan senang hati. Namun, jika hadiah tersebut disertai dengan penghinaan terhadap haji atau umrah, maka penerima tidak wajib menerimanya,” terang nya. Lebih lanjut, Buya Yahya mengingatkan, meskipun hadiah tersebut dapat menggugurkan kewajiban haji, namun tetap harus diperhatikan sumber dana yang digunakan. Hadiah tersebut harus berasal dari sumber yang halal dan tidak melanggar prinsip-prinsip agama. “Misalnya, menggunakan uang hasil perjudian atau minuman keras adalah haram dan tidak boleh digunakan sebagai sumber dana untuk hadiah haji atau umrah,” tutup Buya Yahya.(wink)

Read More

The Utsmani Leadership School Bekasi, Sekolah Idaman Orang Tua

Bekasi – 1miliarsantri.net : Memberikan pendidikan kepada buah hati merupakan kewajiban bagi orang tua, dan sudah tentu orang tua pasti akan memberikan yang terbaik untuk anak-anak nya, terlebih di era perkembangan teknologi saat ini, orang tua dituntut harus pandai memilih dan menempatkan putra putri nya ke lembaga pendidikan yang benar-benar bisa membawa pengaruh positif kepada sang buah hati. Perkembangan jaman, perkembangan arus teknologi harus di imbangi dengan tatanan keimanan yang kuat terutama kepada anak-anak kita, karena jika tidak, maka buah hati akan tergelincir mengikuti arus dan pengaruh negatif dengan marak nya media sosial yang bisa merubah kepribadian seseorang. Di kawasan Cibitung, tepat nya Perumahan Pesona Alam Wanajaya Blok P15 – No.19, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi, terdapat sebuah lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan kepada siswa-siswi nya untuk belajar menjadi Pemimpin. Menjadi lebih dari sekedar siswa, Menjadi Satu Keluarga Hingga ke Surga merupakan semboyan atau jargon yang dipergunakan the Utsmani leadership School. Dengan mengedepankan konsep Lembaga Pendidikan Islami Unggul, membentuk generasi Qur’ani, Cerdas dan berprestasi, sekolah yang setiap hari nya mewajibkan murid nya untuk hafalan Al Qur’an 1 juz per hari nya ini ingin memberikan nuansa yang berbeda. Dedi Kuswanda S, SE, S.Fe selaku Ketua Yayasan The Utsmani Leadership School Bekasi menyampaikan, bahwa lembaga pendidikan yang di pimpin nya bukan hanya sekedar menjadi sekolah lanjutan, tapi sistem pendidikan dan pengajaran nya hampir sama dengan Pesantren. “Setiap hari nya kami mengajak dan mengajarkan Murojaah Minimal 1 Juz per hari, melaksanakan sholat Dhuha, Sholat tepat waktu, setoran hafalan harian dan yang lebih penting mengajarkan adab atau berbuat baik serta berbakti kepada kedua orang tua” jelas Ustad Dedi kepada 1miliarsantri.net. Ustad Dedi menambahkan, The Utsmani Leadership School ini juga memberikan bimbingan dan keterampilan seperti Public Speaking, bertanam, beternak ikan, memberikan keterampilan lain dan sering juga mengajak anak didik nya untuk menyatu dengan alam lewat kegiatan outdoor berupa kemping, jelajah rimba serta kunjungan ke berbagai tempat lain nya. “Kami memang ingin menciptakan dan memberikan bekal kemandirian siswa, keberanian dalam bersosialisasi, mengajarkan cara bersosialisasi, menghormati orang yang lebih tua usia nya, diberikan juga pembelajaran pengurusan jenazah dan banyak kegiatan yang sering kami lakukan, bisa satu bulan sekali,” imbuh Ustad Dedi. Pria yang selalu berupaya keras menjadikan anak didik nya bisa membawa dan mendatangkan manfaat bagi masyarakat ini selalu membuat banyak inovasi, salah satu nya menciptakan sabun cuci organik dan saat ini diadakan program Gold Enterpreneur, dimana mengajak siswa-siswi nya untuk nabung logam emas. “Emas itu kedepan nya akan menjadi harga mahal dan bisa jadi akan menggantikan nilai mata uang yang berlaku saat ini,” pungkas Ustad Dedi. (fq)

Read More

Tasawuf Imam Ghazali Dengan Kemapanan

Yogyakarta – 1miliarsantri.net : Sekitar paruh awal abad ketiga Hijriyah, tasawuf sudah mulai menampakkan jati dirinya sebagai sebuah ilmu. Perlahan namun pasti, paradigma keilmuan tasawuf pun menjadi kian mapan. Proses yang dilalui tasawuf untuk mencapai titik itu tidaklah mudah. Pelbagai rintangan dihadapi, semisal tuduhan sesat, bidah, dan bahkan kafir yang disematkan pihak-pihak anti-tasawuf pada para pelaku dan pengikutnya. Sejarah mencatat pelbagai penolakan terhadap suatu laku beragama ini. Bagaimanapun, tidak jarang pula tasawuf terlahir kembali dengan kekuatan yang lebih besar daripada sebelumnnya. Tasawuf sebagai ilmu mencapai kemapanannya terjadi di tangan Imam al- Ghazali. Abdul Kadir Riyadi dalam buku Arkeologi Tasawuf menjelaskan, sosok yang bergelar Hujjatul Islam berhasil menciptakan sayap bagi ilmu ini sehingga mampu terbang lebih tinggi. “Sayap” yang dibuat al-Ghazali untuk tasawuf ada sepasang, yakni terdiri atas fikih dan filsafat. Adapun “raga”-nya adalah tarekat. “Indra penglihatan”-nya adalah wahyu Illahi. “Kedua telinga”-nya adalah logika penalaran. “Kaki-kakinya yang kokoh” adalah syariat. Al-Ghazali menapaki jejak intelektual yang panjang. Mulanya, dia sendiri asyik berfilsafat. Namun, ketika masuk lebih dalam, dia menemukan ada kerancuan di dalam bidang itu sehingga mengoreksi pendapat sejumlah filsuf dalam beberapa poin. Beberapa di antaranya adalah pendapat para filsuf tentang “keabadian alam”. Dalam Tahafutul Falasifa, al-Ghazali mengoreksi argumentasi ini dengan mengingatkan bahwa derajat Allah selalu yang tertinggi. Bahwa tidak ada yang abadi selain Zat Yang Mahatinggi. Allah sudah ada sejak alam belum diciptakan. Jadi, tidak benar jika ada yang berpendapat bahwa alam muncul dengan sendirinya. Dari filsafat, sang Hujjatul Islam kemudian memasuki ranah tasawuf. Ini diceritakannya panjang lebar dalam bukunya yang semi-autobiografi, Al-Munqidz minad Dhalal. Dalam kitab itu, tergambar betapa tingginya rasa ingin tahu sang imam. Dia tak puas hanya dengan mendengar tasawuf dari mulut ke mulut. Kehidupan mapan yang sudah dijalani ditinggalkannya. Dia tanggalkan jabatan sebagai kepala Madrasah Nizamul Muluk Baghdad yang sangat terkenal di zamannya. Dari situlah pengembaraan spiritualnya bermula. Mata batinnya semakin tajam melihat realita sehingga menyingkap perasaan batin dan sisi terdalam manusia yang selama ini tidak diketahui banyak orang. Dari al-Ghazali, tradisi tasawuf kemudian tumbuh dan kemudian dikembangkan oleh banyak ulama berikutnya. Sedangkan tradisi falsafah menepi ke Andalusia dan wilayah Persia. Sang Hujjatul Islam juga dinilai mampu meyadarkan para sufi akan pentingnya tarekat sebagai penyangga paling penting bagi tasawuf. Tradisi olah batin ini tanpa tarekat adalah ibarat jiwa tanpa badan. Menurut Abdul Kadir, al-Ghazali telah menegaskan, nutrisi tasawuf hanya didapat melalui tarekat. Karena itu, mendirikan tarekat adalah jalan paling strategis untuk membesarkan dan merawat ilmu ini. Ajakan ini disambut oleh para sufi, termasuk Abu Hasan Ali as-Syadzili, Abdul Qadir al-Jilani, dan Abu Najid Suhrawardi. Mereka kemudian segera mendirikan tarekat. Setelah 50 tahun sejak wafatnya al-Ghazali, tarekat sudah berkembang di hampir seluruh belahan dunia Islam. Sayangnya, dalam perkembangnya tasawuf kemudian lebih sering diidentikkan dengan tarekat. Bila sudah demikian, nuansa ilmiahnya cenderung tidak tampak atau bahkan hilang. Padahal, tasawuf dan tarekat itu berbeda walau terkesan menyatu. Agama terdiri atas tiga unsur penting, yakni Islam, iman, dan ihsan. Hal itu dijelaskan dalam sebuah hadis sahih yang populer. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW didatangi seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan padanya. Tambahan pula, tidak seorang pun dari para sahabat Nabi SAW yang mengenalnya. Kemudian, pria misterius itu langsung duduk menghadap Rasulullah SAW. Tiap kali dirinya bertanya perihal Islam, iman dan ihsan, Nabi SAW menjawabnya dengan lugas. Yang mengherankan para sahabat, tiap beliau selesai menjawab, maka orang itu menyatakan, “Engkau benar.” Lantas, Rasulullah SAW bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” jawab Umar. “Itulah Jibril, datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” Pokok mengenai ihsan dapat ditemukan dalam ilmu tasawuf. Sebab, sasarannya adalah akhlak, budi pekerti, batin yang bersih, bagaimana menghadapi serta menjadi dekat (muraqabah) dengan Tuhan. Di samping itu, tasawuf berfokus pada membuang kotoran yang terdapat dalam hati yang mendinding (menjadi hijab) antara hamba dan Rabbnya. Sebab, sebagaimana sabda Rasul SAW, ihsan didefinisikan sebagai “beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Walaupun seorang hamba tidak melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihat.” (fir)

Read More