Jakarta – 1miliarsantri.net : Faktor-faktor yang mempengaruhi umat Islam mengalami kemunduran adalah kebodohan, tanggung dalam menguasai ilmu pengetahuan, bobroknya akhlak, dan sifat pengecut. Benar kah demikian adanya? Apa sebenarnya kemajuan Islam yang dinginkan Syakib Arslan? Pertanyaan mengapa umat Islam mundur sedangkan non-Islam maju muncul di masa kolonial (1929) dari salah seorang Alim Ulama Indonesia, Syekh Basyuni Imran, dalam tafsir Al-Manar, karangan Syekh Muhammad Rasyid Rida. Siapakah Syekh Basyuni? Beliau pernah kuliah di Madrasah Dar-Al Da’wah wa Al-Irsyad Mesir asuhan Rasyid Rida. Pertanyaan tersebut oleh Rasyid Rida diserahkan kepada kawannya, Amir Syakib Arslan untuk menjawabnya. Berikut isi pertanyaannya: ١. ما أسباب صار إليه المسلمون (ولا سيما نحن مسلمو جاوة وملايو) “من الضعف والإنحطاط في الأمور الدنيوية والدينية معا, وصرنا أذلاء لاحول لنا ولا قوة, وقد قال الله تعالى في كتاب العزيز: ” ولله العزة ولرسوله وللمؤمنين”. فأين عزة المؤمن الآن؟ وهل يصح المؤمن أن يدعي أنه عزيز وإن كان ذليلا مهانا ليس عنده شيء من أسباب العزة إلا لأن لله تعالى قال: ولله العزة و لرسوله وللمؤمنين. ٢. ما الأسباب التي ارتقى بها الأوروبيون والأمريكانون واليبانيون ارتقاء هائلا؟ وهل يمكن أن يصير المسلمون أمثالهم في هذا الإرتقاء إذا اتبعوهم في أسبابه مع المحافظة على دينهم الإسلام أم لا؟ Syekh Syakib Arslan (1869-1946) adalah seorang pemimpin (amir) Druz, sebuah sekte Syiah Isma’iliyyah Fathimiyyah, Lebanon yang karena kepiawaian penanya dia diberi gelar “Amir Al-Bayan”. Dia sangat terinspirasi oleh Jalaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta bersahabat erat dengan Rasyid Rida. Beliau juga salah seorang pendukung kebijakan-kebijakan Pan-Islamik Sultan Abdul Hamid II dan mendukung gagasan bahwa keberlangsungan Imperium Usmani adalah satu-satunya jaminan untuk menyatukan umat Islam yang terpecah belah dan berada di bawah penjajahan Eropa. Arslan menjawab pertanyaan-pertanyaan Basyuni Imran dalam beberapa bagian di kitab tafsir Al-Manar, yang kemudian diterbitkan olehnya sendiri sebagai sebuah karya buku dengan judul “Limadzaa taakhara Al-Muslimun wa taqaddama ghayruhum?” Pemikiran Syekh Syakib Arslan ini juga harus dipahami dalam konteks waktunya, yang terjadi di masa kolonialisasi dunia Islam oleh Barat dan masa antara dua Perang Dunia I dan II. Arslan gregetan melihat kemerosotannya semangat kaum muslim untuk meraih kejayaannya kembali, terutama keluar dari penjajahan dan ketergantungan dari Barat, lalu membangun peradaban atas prinsip spirit Islam. Dengan cermatnya Arslan mengidentifikasi sebab-sebab Islam bisa meraih kejayaan di masanya serta kemajuan yang sangat pesat, sebelum dia menganalisis sebab-sebab keruntuhannya. Pertama, Arslan percaya kalau sumber kemajuan Islam ialah “ada di dalam Islam itu sendiri” dengan mempertahankan identitas serta keautentikannya. Ini terbukti dari sejarah kemunculan Islam di semenanjung Arabia yang mampu menyatukan berbagai etnik dan ras yang ada di Arab, dan membawa mereka dari barbarisme menuju peradaban, dari kekejaman menuju cinta kasih dan sayang, serta menghapus politeisme dan merestorasi peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itu tidak ada kekuatan yang dapat mencegah perkembangan Islam ke segenap penjuru dunia, kecuali perpecahan dan perang saudara di antara mereka sendiri, seperti yang terjadi di akhir periode Utsman bin Affan dan periode Ali bin Abi Thalib. Dan Islam pun mampu membangun peradaban dunia di Abad pertengahan–tepatnya pada masa dinasti Abbasiyah- dengan gemilang. Menurutnya, sebagian besar bagian dari kekuatan inspirasi yang mengantarkan pada kemenangan dan capaian-capaian mereka itu pada masa dia telah hilang, walau jejaknya mungkin masih bisa dilacak. Dengan melihat dari segi geopolitik yang dulu negeri asing mulai memasuki Arab, seperti Persia yang menduduki Yaman, Romawi di ujung negeri Hijaz dan bagian timur Syam. Kemerdekaan mereka semua tidak lepas dari spirit serta inspirasi yang disalurkan oleh umat Islam. Namun setelah itu, justru ada pada orang lain, terutama, saat itu Eropa, Amerika, dan Jepang. Padahal Allah SWT telah menjanjikan kepada umat Islam di dalam Firman-Nya: و لله العزة ولرسوله وللمؤمنين ”Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin.” (Al-Munafiqun: 8) وكان حقا علينا نصرالمؤمني ”Dan merupakan hak Kami(Allah) untuk menolong orang-orang beriman.” (Ar-Rum: 47) Tentu beberapa kemunduran yang dialami oleh umat Islam tersebut bukan berarti Allah SWT tidak menepati janji sesuai dengan Firman-Nya. Al-Qur’an tidak akan ingkar dan bohong, akan tetapi umat Islam itu sendiri yang harus merevolusi itu semua, hal ini telah diperingatkan oleh Allah SWT: إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسه ”Sesungguhnya Allah SWT tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11) Kemudian muncul beberapa pertanyaan dalam mengomentari ayat tersebut. Mengapa justru Allah SWT tidak menggantikan semua kegagalan dan kemunduran umat Islam dengan mengangkat derajatnya kepada kemuliaan? kan itu mudah sekali bagi Allah? Bukankah hal semacam itu terhitung akan tidak adilnya Allah SWT kepada umat Islam?, Syekh Amir Syakib Arslan tanpa berpikir panjang langsung menanggapi: وما قولك في عزة دون استحقاق, وفي غلة دون حرث ولا زرع, وفي فوز دون سعي ولا كسب, وفي التأييد دون أدنى سبب يوجب التأييد؟ “Segala yang anda katakan mengenai kemuliaan atau kekuatan (tidak mengerti teorinya) itu tidak sepantasnya, apa jadinya hsil panen tanpa ada yang ditanam, apa jadinya kesuksesan tanpa disertai dengan adanya usaha dan kerja keras, apa jadinya sebuah tekad yang bulat tanpa disertai dengan adanya sebab untuk mewujudkannya?” Tidak heran bahwa ucapan seperti itu terlontar dari lisan Syakib Arslan dengan melihat kondisi umat Islam pada saat itu yang semakin malas, suka mengesampingkan amal ibadah, menyelisihi syariat yang telah Allah SWT tetapkan berupa yang haq dan batil, antara yang muḍarat dan manfaat, hingga yang positif dan negatif. Menurut Arslan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemunduran umat Islam. Pertama adalah kebodohan, tidak tanggung-tanggungnya kebodohan mereka hingga tidak bisa membedakan antara khamr dan cuka. Seakan-akan zaman jahiliyah kembali menghantui keberadaan umat Islam dan menjadi sandra yan paten yang tidak bisa ditolak. Kedua yaitu ilmu yang tanggung, kejadian seperti ini merupakan hal yang lebih bahaya daripada kebodohan. Karena suatu kebodohan jika Allah SWT telah menunjukkannya kepada seorang mursyid yang alim maka dia akan taat dan tidak membangkang pada sang mursyid, sedangkan orang yang memiliki ilmu setengah-setengah dia akan menjadi orang yang merasa paling benar bahkan tidak menyadari bahwa sebenarnya dia tidak tahu dan merasa tidak puas atas ketidaktahuannya, seperti yang dikatakan oleh suatu maqalah Arab: إبتلائكم بمجنون خير من إبتلائكم بنصف مجنون “Bencana yang menimpamu berupa orang gila itu lebih baik daripada bencana yang menimpamu berupa orang setengah…