Polemik Nasab Ba Alawi di Indonesia Dinilai Kebablasan

Jakarta — 1miliarsantri.net : Mengikuti polemik tersambung atau tidaknya nasab Ba Alawi yang menjadi muara garis keturunan para habib di Indonesia dengan Rasulullah SAW, memunculkan kesimpulan tentang hal-hal yang sudah kelewatan, dari kedua belah pihak.

Padahal, sudah sepatutnya, dalam tradisi keilmuan Islam, mesti disertai dengan adab, akhlak, dan amanah ilmiyah. Sebagian tokoh mencatat setidaknya ada lima hal yang sudah kelewatan dari pro kontra nasab habaib, yaitu sebagai berikut:

Pertama, hilangnya sikap adil dalam berpikir dan bersikap, sebagai ciri utama pengkaji ilmu. Kedua belah saling merasa dirinya benar. Satu hal yang sangat tidak dianjurkan dalam tradisi keilmuan Islam. Imam asy-Syafii pernah menuturkan demikian:

رأيى صواب يحتمل الخطأ، ورأى غيرى خطأ يحتمل الصواب

“Pendapatku benar namun mungkin saja salah, tetapi pendapat orang lain salah, dan bisa jadi benar.”

Kedua, terlalu berlebihan membanggakan nasab

Tak ada yang istimewa dari nasab. Nasab tidak akan menyelamatkan seseorang dari api neraka atau mengantarkannya dengan mudah menuju surga. Tak sedikit dari oknum habib yang merendahkan nasab orang lain sembari meninggikan dan mensucikan nasabnya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَفْتَخِرُونَ بِآبَائِهِمْ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْمُ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءَ بِأَنْفِهِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا بِالْآبَاءِ إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ النَّاسُ كُلُّهُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ خُلِقَ مِنْ تُرَابٍ

Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Hendaklah mereka segera berhenti dari membangga-banggakan nenek moyang mereka yang telah mati, -hanyasanya nenek moyang mereka adalah arang neraka Jahannam- atau mereka lebih hina di sisi Allah dari hewan yang mendorong kotoran dengan hidungnya, sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian seruan Jahiliyyah dan berbangga-bangga dengan nenek moyang, (yang ada) hanyalah mukmin yang bertakwa atau pendosa yang celaka, semua manusia adalah anak Adam, sedangkan Adam tercipta dari tanah.” (HR Tirmidzi).

Dalam Sunan al-kubra, Imam al-Bukhari menukilkan riwayat tengan nasihat Rasulullah SAW kepada putrinya Fatimah agar tidak membanggakan nasab.

مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا

Artinya: “Wahai golongan orang Quraisy! Peliharalah diri kalian karena aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Bani Abdi Manaf! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muthalib! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Shafiyah bibi Rasulullah! Aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah. Wahai Fatimah putri Muhammad! Mintalah kepadaku apa saja yang kamu mau (dari hartaku), sungguh aku tidak dapat sedikit pun di hadapan Allah.” (HR Bukhari dalam Sunan al-Kubra).

Ketiga, hilangnya adab dan munculnya saling membenci. Kedua belah pihak saling membenci satu sama lain. Kebencian ini bahkan melibatkan para muhibbin (pecinta) masing-masing. Fenomena ini sangat bahaya jika diteruskan, bisa merusak persaudaraan umat Muslim.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (لاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَتَنَاجَشُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخوَانَاً، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَكْذِبُهُ، وَلايَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا – وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ). رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah RA dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah kalian saling dengki, melakukan najasy, saling membenci, saling membelakangi dan sebagian dari kalian menjual apa yang dijual saudaranya. Jadilah kalian semua hamba–hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, sehingga dia tidak boleh menzhaliminya, menghinanya, mendustakannya dan merendahkannya. Takwa itu letaknya di sini –sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali– cukuplah seseorang itu dalam kejelekan selama dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram dan terjaga darah, harta dan kehormatannya.” (HR Muslim)

Keempat, generalisasi yang berbahaya

Di antara yang kelewatan dari polemik nasab habib di Indonesia adalah generalisasi yang berbahaya. Generalisasi berpikir dan generalisasi dalam bersikap.

Generalisasi bersikap itu misalnya menegasikan seluruhnya nasab habaib di Indonesia terputus sama sekali, dengan menafikan kemungkinan adanya pendapat lain yang menyatakan ketersambungannya.

Di saat yang sama, menafikan nasab walisongo tersambung dengan Rasulullah SAW secara keseluruhan.

Demikian juga dalam bersikap memandang dan memperlakukan orang lain. Di setiap kelompok pasti ada oknum. Misalnya, terdapat oknum habib yang melenceng, tetapi bukan berarti kita memvonis semua Habib atau semua kiai telah menyimpang dari agama.

Dalam kitabnya at-Tafkir al-Mudhui fi al-Islam, Fuad al-Banna menulis demikian:

إن التعميم لا يجوز في المنطق الإسلامي، حتى في الدعاء، فلم يثبت أن الرسول صلى الله عليه وسلم دعا على أي من الكفار لكفرهم، لكنه دعا على المعتدين منهم، وهنا لن تجد أي مجتمع يتصف بصفات الاعتداء برمته، فهناك دوما من يكرهون ذلك.

ولتقرير حقيقة المسؤولية الفردية وحرمة التعميم جاء في الحديث الشريف أن أبا هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ( قرصت نملة نبيا من الأنبياء فأمر بقرية النمل فأحرقت، فأوحى الله إليه أن قرصتك نملة أحرقت أمة من الأمم تسبح ) [1] . [ ص: 185 ]

وفي سياق تحريم التعميـم أورد القرآن أنه حـتى في إطـار الجمادات لا يصح هذا التعميم، فمخلوق مثل الحجارة الصماء، ليست بذلك السوء الذي يظنه المشاهد لها، لاشتمالها على صور من الخير، كما قال تعالى: ( وإن من الحجارة لما يتفجر منه الأنهار وإن منها لما يشقق فيخرج منه الماء وإن منها لما يهبط من خشية الله ) (البقرة:74) ، وقال: ( لو أنزلنا هذا القرآن على جبل لرأيته خاشعا متصدعا من خشية الله )

وبين لنا القرآن أن هناك استثناءات صالحة في دوائر الفساد نفسها، حيث لا وجود للشر المطلق والخير المحض، قال تعالى: ( والشعراء يتبعهم الغاوون * ألم تر أنهم في كل واد يهيمون * وأنهم يقولون ما لا يفعلون * إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات وذكروا الله كثيرا وانتصروا من بعد ما ظلموا وسيعلم الذين ظلموا أي منقلب ينقلبون ) (الشعراء:224-227).

“Generalisasi tak boleh dalam logika Islam. Sekalipun dalam doa misalnya, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi SAW mendoakan celaka orang kafir atas kekufuran mereka, tetapi beliau mendoakan orang-orang yang suka melakukan penyerangan di antara mereka, dan di sini tidak ada masyarakat yang memiliki ciri-ciri penyerangan sejak awal, pasti ada yang membencinya.

Untuk menetapkan fakta tanggung jawab individu dan larangan generalisasi, Abu Hurairah RA berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW, bersabda, “Ada semut yang menggigit seorang Nabi dari nabi-nabi terdahulu lalu Nabi itu memerintahkan agar membakar sarang semut-semut itu maka kemudian Allah mewahyukan kepadanya, firman-Nya: “Hanya karena gigitan sesekor semut makai kamu telah membakar suatu kaum yang bertasbih.”

Dalam konteks larangan generalisasi, Alquran memberikan contoh bahwa bahkan dalam konteks benda mati, generalisasi seperti itu tidak berlaku.

Makhluk seperti batu yang tuli tidak seburuk yang dipikirkan oleh orang yang melihatnya, karena mengandung bentuk-bentuk kebaikan, seperti yang difirmankan oleh Yang Mahakuasa:

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً ۚ وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 71). Dan firman-Nya:

لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Kalau sekiranya Kami turunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” (QS al-Hasyr: 21).

Kelima, bahaya provokasi masing-masing kubu untuk saling membenci dan menebar permusuhan, bahkan hingga ke level akar rumput. Rasulullah SAW telah memperingatkan bahayanya.

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنِ ابْنِ أَبِي الْحُسَيْنِ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ غَنْمٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِيَارُ عِبَادِ اللَّهِ الَّذِينَ إِذَا رُءُوا ذُكِرَ اللَّهُ وَشِرَارُ عِبَادِ اللَّهِ الْمَشَّاءُونَ بِالنَّمِيمَةِ الْمُفَرِّقُونَ بَيْنَ الْأَحِبَّةِ الْبَاغُونَ الْبُرَآءَ الْعَنَتَ

“Telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Ibnu Abul Husain] dari [Syahr bin Hausyab] dari [Abdurrahman bin Ghanm] dan sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sebaik-baik hamba Allah ialah hamba yang senantiasa mengingat Allah, dan seburuk-buruk hamba Allah ialah orang-orang yang suka mengadu domba, suka memecah belah antara orang-orang yang saling mengasihi, serta mereka yang suka berbuat zhalim, mencerai-beraikan manusia dan selalu menimbulkan kesusahan.” (HR Ahmad). Riwayat lain dengan redaksi berbeda juga dinukilkan Imam al-Bukhari dalam Kitabnya, al-Adab al-Mufrad.

قال ابن حجر الهيتمي في كتابه الزواجر: قال الحافظ المنذري أجمعت الأمة على تحريم النميمة، وأنها من أعظم الذنوب عند الله ـ عز وجل ـ

Ibnu Hajar al-Haitami, dalam kitabnya, az-Zawajir mengatakan, “al-Hafizh al-Mundziri menyatakan, “Ulama sepakat haramnya adu domba dan perbuatan ini termasuk sebesar-besarnya dosa di sisi Allah Ta’ala.”

Pro kontra nasab Ba Alawi yang menjadi muara nasab para Habaib di Indonesia kembali menjadi perbincangan di jagad maya.

Teranyar, perseteruan menguat antara legenda dangdut Indonesia, H Rhoma Irama, dengan Habib Bahar bin Smith.

Sang Raja Dangdut itu, Rhoma akhirnya bersuara dengan meragukan garis keturunan itu. Dia juga tidak sependapat jika Wali Songo yang menyebarkan Islam di Indonesia adalah dari kelompok habaib yang asalnya dari Yaman.

“Saya harus mengatakan ini, yang direkomendasikan mayoritas bangsa-bangsa di dunia seperti itu kan. Kemudian saya katakan tadi dalam konteks nasionalisme ini pun ada satu kekhawatiran khususnya yang muncul dari kelompok zuriah Wali Songo,” kata Rhoma dalam siniar dengan KH Anas Kurdi yang dikutip 1miliarsantri.net, Selasa (13/8/2024).

“Mereka mengeklaim bahwa Wali Songo itu adalah Ba’alawi, semua habib. konon mereka dibikin kuburan-kuburan palsu yang telah diketahui dan dibongkar. Informasi yang telah kita lihat di media-media sosial. Klaim-klaim ini dibantah keras oleh kelompok Wali Songo bahwa mereka bukan keturunan dari Yaman, bukan dari Arab Yaman,” ucap Rhoma menegaskan.

Rhoma menyampaikan, keluarga Wali Songo pun sudah membantah jika mereka bagian dari kelompok Ba’alawi. Mantan ketua umum DPP Partai Idaman tersebut juga menyentil sosialisasi secara masif yang dilakukan habaib juga keliru.

Dia menggugat anggapan jika tanpa ada habaib, Indonesia tidak merdeka pada 1945. Pun dia tidak percaya, Pangeran Diponegoro merupakan kalangan habaib.

“Wali Songo habaib dan bendera merah putih itu dari habaib, kemudian Garuda dari habaib. Ini artinya ada satu klaim yang jelas mereka mengkooptasi ini. Kalau itu sejarah adalah benar seperti itu, why not? Kalau memang sejarah benar seperti itu adanya mengapa tidak? Kita harus mengakui fakta, tapi ketika itu hanya klaim-klaim yang tidak berdasar, ini astaghfirullahaadzim,” tukas Rhoma tidak percaya sumbangsih habaib itu.

Menurut Rhoma, berbagai klaim yang dilakukan kelompok habaib itu akhirnya menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam.

Dia pun curiga, keturunan Ba’alawi di Indonesia tidak sekadar ingin mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad, tapi juga mau mengkooptasi bangsa Indonesia.

Hal itu karena ia mendapatkan informasi, ada habib yang mengeklai, kemerdekaan Indonesia berasal dari kaumnya.

“Seolah manafikan pejuang sesungguhnya, manafikan para wali Allah yang Wali Songo mengislamkan Indonesia jauh sebelum mereka datang ke Indonesia. Ini yang sebenarnya perlu diluruskan sehingga tidak ada lagi keresahan di kalangan umat dan bangsa. Sekali lagi saya berbicara dengan hati yang bersih tanpa kebencian,” tegas Rhoma.

Karena itu, Rhoma setuju perlu diadakan tes DNA kepada kelompok Ba’awali untuk membuktikan mereka benar-benar keturunan Nabi Muhammad. Sayangnya, sekelompok habaib menolak ide tes itu sehingga ia malah curiga dengan mereka.

“Ketika tes DNA mereka menolak, bahkan mengumumkan tes DNA ini haram. Ini kan lebih nambah lagi kecurigaan umat nih bahwa dia tidak mau tes DNA karena takut ketahuan aslinya. Sementara secara internasional telah terdeteksi bahwa Ba’alawi ini dari beberapa pemeriksaan di kalangan mereka yang dari Yaman dan dari sini telah terkonfirmasi kalau grupnya adalah G. Sementara keturunan nabi adalah haplu grupnya adalah J1,” papar Rhoma menjelaskan hasil tes DNA.

Polemik ini menguat berawal dari tesis KH Imaduddin Utsman al-Bantani. Tokoh asal Banten itumenggugat nasab tersebut dalam riset nya yang berjudul “Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia; Sebuah Penelitian Ilmiah.” Dalam penelitiannya tersebut, dia menyanggah Kesahihan nasab habaib di Indonesia sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.

Dia menulis dalam risetnya tersebut: “Berdasarkan data-data ilmiah yang penulis sebutkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sangat sukar sekali menurut takaran ilmiah untuk menyebut bahwa Ba Alawi adalah keturunan Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidi bin Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah bin Nabi Besar Muhammad SAW.”

Riset ini pun menuai pro kontra di media sosial bahkan sampai di akar rumput, hingga jajaran elite Pengurus Besar Nahdlatul harus angkat bicara.

Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar turut angkat bicara menyoal polemik nasab habib di Indonesia. Menurut Kiai Miftakhul, isu yang gaduh ini cuma dihembuskan segelintir orang.

Masalah ini sudah bukan soal dzurriyah Ba’alawi melawan dzurriyah Wali Songo, melainkan arahnya sudah ke jamaah NU.

“Gangguan sudah sudah nyata, bukan dzon lagi, tapi jelas dialamatkan kepada NU dan bertubi-tubi. Hati-hati, itu pola Wahabi,” terang Kiai Miftachul.

Kiai Miftakhul mengingatkan bahwa NU memuliakan orang bukan karena nasab atau garis keturunan, suku dan etnis, tetapi keilmuan, kebaikan dan ketakwaan seseorang.

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf yang akrab disapa Gus Yahya dalam channel Youtube TVNU Televisi Nahdlatul Ulama pada Juli 2023, mengatakan bahwa yang namanya catatan kalau dicari tidak mungkin lengkap.

Dalam diskusi dan bantah-bantahan yang terjadi, ada yang berpendapat tidak ada catatan 700 tahun. Ternyata setelah diteliti tidak ada catatan hanya 100 tahun dan seterusnya.

“Tapi yang namanya catatan tidak mungkin lengkap, tidak mungkin bisa betul-betul lengkap dan berurutan, pencatatan itu membutuhkan tradisi tersendiri dan tradisi mencatat di lingkungan Islam itu baru, apalagi di lingkungan Arab,” kata Gus Yahya.

Maksud Gus Yahya menjawab penjelasan Kiai Imaduddin bahwa tidak ada catatan yang menjelaskan habib atau Ba’alawi nasabnya sampai ke Nabi Muhammad SAW.

Gus Yahya menjelaskan, meski catatannya tidak ada, tapi riwayat secara lisan atau oral dari mulut ke mulut itu ada. Kalau merujuknya hanya ke catatan, nanti nasabnya Nabi Muhammad SAW sampai ke Nabi Ibrahim, sumbernya dari mana, nanti repot.

Kalau nutfah nubuwwah, dijelaskan Gus Yahya, dari laki-laki maupun perempuan martabatnya sama saja. Kalau yang pegang nasab dari laki-laki halus dimuliakan, maka nasab yang turun dari perempuan juga harus dimuliakan.

Gus Yahya mengatakan, sebaiknya husnuzan (berprasangka baik) saja. “Jadi soal nasab, menurut saya yang ribut-ribut itu kurang kerjaan,” ujar Gus Yahya.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Fahrur Rozi yang akrab disapa Gus Fahrur menyampaikan bahwa meyakini habib nasabnya tersambung kepada Nabi Muhammad SAW. Jadi percaya terhadap habib keturunan Nabi Muhammad SAW tentu tidak masalah.

Gus Fahrur mengatakan, kalau Kiai Imaduddin tidak percaya bahwa habib keturunan Nabi Muhammad SAW maka silakan, tapi jangan mengatasnamakan NU. (yan)

Baca juga :

Baca juga :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *