Tradisi Malam Satu Suro dalam Warisan Jawa yang Dibalut Aura Keheningan

Bondowoso – 1miliarsantri.net : Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, masih ada satu malam yang membuat sebagian besar masyarakat Jawa menahan napas, melambatkan langkah, dan memaknai waktu dengan lebih dalam. Malam itu dikenal dengan Tradisi Malam Satu Suro.

Peringatan malam satu Suro adalah hasil akulturasi antara budaya Jawa dan penanggalan Islam, yang dimaknai secara spiritual oleh masyarakat Jawa. Meski tidak memiliki dasar syar’i secara eksplisit, peringatan ini masih dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya dan warisan leluhur.

Tidak seperti perayaan tahun baru yang diwarnai gegap gempita, malam ini justru dibalut dalam keheningan, kesakralan, dan renungan. Tradisi ini diwariskan secara turun-temurun, menyimpan makna spiritual yang tak lekang oleh zaman.

Untuk memahami dasar peringatan malam satu Suro, kita perlu menengok sejarah kalender Jawa. Penanggalan ini diciptakan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram Islam pada abad ke-17. Sultan Agung menyatukan dua sistem penanggalan: kalender Saka (Hindu-Buddha) dan kalender Hijriyah (Islam), dalam rangka islamisasi budaya Jawa.

Satu Suro dalam kalender Jawa diselaraskan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah, yang menandai Tahun Baru Islam. Maka, malam satu Suro merupakan malam pergantian tahun menurut kalender Jawa-Islam. Lalu, apa sebenarnya yang membuat Tradisi Malam Satu Suro begitu dihormati? Mari kita simak perjalanan sejarahnya di bawah ini.

1. Kirab Pusaka

Salah satu prosesi utama dalam Tradisi Malam Satu Suro adalah Kirab Pusaka. Biasanya digelar di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, iring-iringan benda pusaka seperti keris, tombak, hingga gamelan dilakukan dengan penuh kehormatan. Tak sekadar benda, pusaka-pusaka ini dianggap menyimpan kekuatan spiritual dan nilai sejarah yang tinggi.

Tradisi Malam Satu Suro menjadikan momen ini sebagai simbol pembersihan energi negatif, baik dari benda pusaka maupun diri sendiri. Dalam suasana hening dan khidmat, para abdi dalem membawa pusaka-pusaka tersebut mengelilingi keraton tanpa suara, tanpa senyum, hanya aura kebesaran leluhur yang terasa begitu kuat.

2. Tapa Bisu Mubeng Beteng

Tradisi Malam Satu Suro tidak bisa dilepaskan dari ritual Tapa Bisu Mubeng Beteng. Ritual ini adalah perjalanan kaki mengelilingi benteng keraton, tanpa bicara, tanpa alas kaki, dan tanpa suara. Tidak banyak orang mampu melakukannya, karena dibutuhkan ketenangan batin dan tekad kuat. Tapa Bisu adalah lambang dari introspeksi diri yang mendalam. Dalam diam, setiap langkah menjadi doa, dan setiap tetes keringat adalah bentuk permohonan keselamatan untuk diri dan keluarga di tahun yang akan datang.

3. Mandi Suro

Tak sedikit masyarakat Jawa yang menjalani Mandi Suro pada malam ini. Biasanya dilakukan di sumber mata air atau sungai yang dianggap suci. Tradisi ini dipercaya mampu membersihkan tubuh dan jiwa dari energi buruk yang mungkin menempel sepanjang tahun.

Air menjadi media penyucian, sementara doa dan harapan dilantunkan dalam hati. Dalam Tradisi Malam Satu Suro, air bukan hanya elemen alam, tapi jembatan spiritual menuju ketenangan dan pembaruan diri.

4. Selamatan dan Tirakatan

Malam Satu Suro juga identik dengan selamatan dan tirakatan. Selamatan adalah doa bersama yang dilanjutkan dengan makan bersama. Ini menjadi simbol kebersamaan dan ungkapan syukur atas segala nikmat yang telah diterima.

Sedangkan tirakatan adalah bentuk ibadah pribadi, seseorang mendekatkan diri kepada Tuhan melalui doa, dzikir, dan perenungan. Tradisi Malam Satu Suro memberi ruang bagi tiap individu untuk menyendiri dan berdialog dengan Sang Pencipta.

5. Bubur Suro

Satu lagi elemen khas yang tak pernah absen dalam Tradisi Malam Satu Suro adalah Bubur Suro. Hidangan ini biasanya terdiri dari nasi gurih yang disajikan dengan berbagai lauk dan tujuh jenis kacang.

Angka tujuh melambangkan keseimbangan dan keberkahan. Bubur Suro tidak sekadar makanan, tapi lambang harapan akan tahun yang baru yang lebih baik, seimbang, dan penuh rezeki. Setiap suapan menjadi bagian dari rasa syukur dan doa.

Makna dan Simbolisme Tradisi Malam Satu Suro

Tradisi Malam Satu Suro bukan hanya warisan budaya, melainkan juga simbol spiritual yang dalam. Malam ini menandai awal tahun baru dalam kalender Jawa, yang merupakan gabungan antara sistem kalender Hindu Saka, Islam Hijriah, dan pengaruh Julian dari Barat. Ini mencerminkan kearifan lokal yang menyatu dengan nilai-nilai religi dan kosmologis.

Malam ini juga menjadi momen refleksi, untuk meninjau kembali langkah-langkah yang telah ditempuh setahun terakhir, dan merancang jalan baru dengan lebih berhati-hati. Dalam Tradisi Malam Satu Suro, pembersihan diri baik melalui mandi, tirakatan, maupun kirab pusaka adalah wujud nyata dari keinginan menjadi manusia yang lebih baik di tahun mendatang.

Tak kalah penting, malam ini adalah bentuk penghormatan kepada leluhur. Semua ritual dan pantangan dijalankan sebagai bagian dari menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pendahulu.

Pantangan dalam Malam Satu Suro

Agar kesakralan malam ini tetap terjaga, masyarakat Jawa meyakini beberapa pantangan. Dalam Tradisi Malam Satu Suro, dianjurkan untuk tidak menggelar hajatan, bepergian jauh, atau melakukan kegiatan yang menimbulkan kegaduhan.

Selain itu, masyarakat diimbau untuk menghindari pertengkaran, menjaga ucapan, dan menciptakan suasana tenang. Semua ini adalah bentuk penghormatan terhadap malam yang dianggap sakral, penuh makna, dan tak layak dicemari oleh hal-hal negatif.

Tradisi Malam Satu Suro bukan sekadar kebiasaan turun-temurun. Ia adalah cerminan dari kedalaman spiritual masyarakat Jawa, yang dalam diamnya menyuarakan doa, dalam langkahnya memohon keselamatan, dan dalam pusakanya menyimpan sejarah.

Di tengah arus modernisasi, Tradisi Malam Satu Suro tetap hidup sebagai pelita budaya dan simbol keheningan yang bermakna. Menjaga tradisi ini adalah menjaga jati diri, merawat warisan, dan menyatu dengan semesta dalam doa dan renungan.

Perspektif Islam terhadap Malam Satu Suro

Dari sisi keislaman, 1 Muharram memang memiliki nilai penting sebagai awal tahun Hijriyah dan pengingat peristiwa hijrahnya Rasulullah ﷺ. Namun, Islam tidak mengenal ritual khusus untuk malam 1 Muharram, apalagi yang bernuansa mistis atau mengandung unsur khurafat (kepercayaan yang tidak berdasar syariat).

Islam mengajarkan agar setiap momen digunakan untuk introspeksi, memperbanyak ibadah, dan menjauhi syirik serta takhayul. Maka, selama peringatan malam satu Suro dilakukan tanpa bertentangan dengan prinsip tauhid, sebagian ulama membolehkannya sebagai budaya yang mengandung nilai positif seperti ketenangan, doa, dan refleksi diri.

Penulis : Ainun Maghfiroh

Editor : Toto Budiman


Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Berikan Komentar Anda

Eksplorasi konten lain dari 1miliarsantri.net

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca