Jakarta – 1miliarsantri.net : Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki banyak lembaga pendidikan yang khas dengan nuansa Islam. Dari sekian banyak lembaga pendidikan yang khas itu, pesantren adalah yang paling terkenal dan terdengar akrab di telinga kita. Sejarah panjang perjuangan lahirnya Indonesia pun, tidak bisa dilepaskan dari peran santri, sebutan bagi mereka yang tinggal di pesantren. Pesantren berarti pesantrian, yaitu tempat berdiamnya para santri yang bertujuan untuk melaksanakan proses pendidikan. Meski sangat familiar di lingkungan Umat Islam, Menurut C.C Berg, seorang Professor di Universiteit Leiden, istilah santri dan pesantren itu sendiri bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Sanskerta, “In the pesantren (seminaries), whence originated the Javanese Moslem Jurists, we may see a continuation of the old Javanese or Hindu-Javanese mandala’s (convents), and neither the life of santri’s (theological students), whose name is a deformation of the Indian Çastri,”who knows the (Hindu) holy books,” nor the social position of these theological schools had been considerably changed in Java by four centuries of Islam.” Artinya: “Di pesantren, tempat lahirnya para ahli hukum Islam di Jawa, kita dapat melihat kelanjutan dari mandala (biara) Jawa Kuno atau Hindu Jawa, dan juga kehidupan santri (para pelajar teologi), yang mana istilah ini adalah deformasi/perubahan bentuk dari kata Çastri (dibaca shastri-pen) yang berarti “yang mengetahui kitab suci (Hindu),” pun posisi sosial dari pesantren-pesantren ini telah banyak berubah pada empat abad Islam di Jawa. Selanjutnya, istilah pesantren adalah isim makan/the adverb of place/kata keterangan tempat dari santri. Asalanya adalah pe-santri-an. Dalam Brill Encyclopaedia of Islam pesantren didefinisikan sebagai berikut. “Javanese “santri-place”, the educational institution of Indonesia where students (santri) study classical Islamic subjects and pursue an orthoprax communal life. Pondok (“hut, cottage”; cf. Ar.funduk) is an alternative term, meaning “lodgings” and, by extension, “Islamic religious boarding school”. Pesantren is used most often in Indonesia (especially Java), whereas pondok is the preferred term in Malaysia and the Patani region of southern Thailand. Sometimes the two terms are combined in Indonesia, when the speaker means to make clear that a traditional Islamic boarding school, a “pondok pesantren”, and not merely a religious day school (such as the more modern madrasa), is meant. Artinya, “Tempat-santri di Jawa”, lembaga pendidikan di Indonesia dimana santrinya mengkaji warisan klasik dalam Islam (turats) dan mengejar kehidupan komunal yang ortopraks (tindakan/pekerjaan yang benar). Istilah alternatifnya adalah “pondok” (hut/cottage dalam Bahasa Inggris) yang berasal dari Bahasa Arab funduk yang berarti “penginapan” dan, dengan perluasan makna menajdi “pondok pesantren”. Istilah pesantren sangat sering digunakan di Indonesia, (khususnya di Jawa) sedangkan “pondok” adalah istilah yang lebih disukai di Malaysia dan Patani (sebuah wilayah di Thailand Selatan). terkadang kedua istilah ini digabungkan dalam Bahasa Indonesia untuk memperjelas pesantren tradisional, sebuah “pondok pesantren” tidak dimaksudkan sebagai hari pelajaran agama di sekolah, seperti misalnya di madrasah modern.” Dari kedua sumber tersebut, kita dapat melihat bahwa memang, pada dasarnya istilah santri dan pesantren itu bukan dari bahasa Arab atau bahasa Islam lainnya. Lalu mengapa bisa “menjadi milik” Umat Islam? Persoalan ini, sejatinya adalah buah dari proses Islamisasi. Menurut S.M.N. Al-Attas, proses Islamisasi bahasa adalah proses yang paling awal terjadi seiring diturunkannya Wahyu melalui Kitab al-Quran. Begitu pun di Kepulauan Melayu-Indonesia, proses Islamisasi sangat didasari oleh perubahan konsep dalam istilah-istilah kunci. Maka, kita mengenal banyak istilah dalam Bahasa Sanskerta, misalnya puasa lebih melekat kepada Umat Islam karena konsep dalam istilah ini telah berubah, yang awalnya adalah upawasa, sebuah ritual dalam ajaran Hindu yang menghindari makan dan minum untuk melaksanakan ajaran samsara (merasakan kesengsaraan) dirubah konsepnya menjadi shaum dalam syariat Islam. Disisi lain, Santri merupakan sebutan bagi pelajar yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yakni Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren. Selain Santri Mukim, ada juga istilah Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan kompleks pesantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang. Kata santri berasal ada berbagai macam versi, di antaranya dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik“, yang berarti seseorang yang mengikuti kyai di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Sementara, menurut DR. KH. M.A. Sahal Mahfudz mengatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “santaro“, yang mempunyai jama’ (plural) sanaatiir (beberapa santri). Di balik kata “santri” tersebut yang mempunyai empat huruf Arab (sin, nun, ta’, ra’). Adapun empat huruf tersebut yaitu : Sin, yang bermakna dari lafadz “satrul aurah” (menutup aurat) sebagaimana layaknya kaum santri yang mempunyai ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sin ini, yaitu menutup aurat. Namun pengertian menutup aurat di sini mempunyai dua pengertian yang keduanya saling ta’aluq atau berhubungan. Yaitu menutup aurat secara tampak oleh mata (dhahiri) dan yang tersirat atau tidak tampak (bathini). Hal yang terpenting di sini adalah bagaimana manusia menutupi dan mempunyai rasa malu dalam hal sifat dan perilaku secara dhahiri dan bathini. Sebagaimana disinggung dalam salah satu hadits Nabi SAW: “al-haya’u minal iman“, malu sebagian dari iman. Ash Shan’ani menjelaskan bahwa sifat haya dapat menggiring seseorang untuk menghindari dari perbuatan buruk, sebagaimana fungsi iman. Sebab haya tersusun dari kebagusan dan ke-iffah-an, oleh karenanya orang fasik tak mempunyai sifat haya’. Nun, yang bermakna dari lafadz “na’ibul ulama” (wakil dari ulama). Dalam koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadits bahwa : “al-ulama warasatul anbiya’ (ulama adalah pewaris nabi) yang menurut Ibnu Bathal hal tersebut berdasarkan pada QS. Al Fathir: 32: “Kemudian kami wariskan al kitab kepada orang-orang yang telah kami pilih”. Abu Zannad menerangkan bahwa mereka adalah orang yang mendengar ilmu tentang fardhu dan sunnah dari Rasulullah SAW, lantas masyarakat mengambil kemanfaatan darinya. Kaitannya dengan na’ibul ulama, seorang santri dituntut mampu aktif, merespon, sekaligus mengikuti perkembangan masyarakat yang diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang bijak. Ta’, yang bermakna dari lafadz “tarkul ma’ashi” (meninggalkan kemaksiatan). Kaitannya hal tersebut yaitu seberapa jauh kaum santri mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan dan sejauh mana pula ia memegang hubungan hablun minallah (hubungan vertikal dengan sang Khaliq) dan hablun minannas (hubungan horizontal dengan sosial masyarakat). Karena tarkul ma’ashi tidak hanya mencakup pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah ditetapkan-Nya, tetapi juga…