Ir Soekarno dan Pergerakan Islam

Jakarta — 1miliarsantri.net : Ir Sukarno (1901-1970) adalah salah satu figur sentral dalam sejarah negara Republik Indonesia. Sosok berjulukan “Penyambung Lidah Rakyat” ini merupakan seorang Proklamator RI pada 17 Agustus 1945. Menjelang peringatan HUT ke-79 RI, tak lengkap rasanya bila tidak mengenang kembali ketokohan Bung Karno.

Ahmad Syafi’i Ma’arif memperlihatkan sebuah dokumen yang belum pernah dipublikasikan. Dokumen itu adalah sebuah surat yang ditandatangani Sukarno selaku konsul Dewan Pengadjaran Moehammadijah Daerah Bengkoeloe. Surat bertanggal 9 Januari 1940 itu merupakan balasan terhadap surat Tuan Guru Hasan Basri di Muara Aman.

Isinya tentang penugasan Hasan Basri. Saat itu, Sukarno sedang dalam tahanan Belanda di daerah Bengkulu.

Sebetulnya, jauh sebelum itu, Sukarno juga terlibat dalam pergerakan Islam, yakni Sarekat Islam, kala ia indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Inilah masa ketika dirinya masih bersekolah di HBS yang menghabiskan masa lima tahun.

Adapun yang bertalian dengan pemikiran Islam, Sukarno juga bersentuhan saat ia ditahan di Ende, Flores. Ia berkorespondensi soal Islam dengan Ustaz A Hassan dari Persatuan Islam (Persis), Bandung.

Bung Karno juga pernah berpolemik dengan Mohammad Natsir di surat kabar. Polemik keduanya berlangsung sangat sehat. Buktinya, tulisan Bung Karno tersebut dimuat dalam majalah Pedoman Masyarakat Medan pada 1938 yang diasuh orang-orang Masyumi.

Selain itu, tulisan Bung Karno yang berjudul “Islam Sontolojo” yang dimuat di Pandji Islam 1940 adalah bukti kepedulian tokoh nasionalis ini pada Islam. Di situ, ia sangat marah terhadap seorang kiai yang menurutnya telah mengelabui mata Tuhan. Ini merujuk pemberitaan di sebuah surat kabar tentang kiai cabul.

Tak hanya berhenti di situ. Dalam hal kehidupan pribadi pun, ada persentuhan dengan orang pergerakan Islam.

Ahmad Syafi’i Ma’arif menambahkan, saat di Bengkulu, Bung Karno tertarik dengan seorang murid Muhammadiyah, Fatmawati. AR Sutan Mansyur ikut menentukan kemulusan hubungan mereka.

Namun, di periode akhir hidupnya, Sukarno berseberangan politik dengan sebagian kekuatan politik Islam, yakni Masyumi. Saat Demokrasi Terpimpin, ini tak berarti hubungan dirinya dengan Islam-politik terputus.

Sebab, dalam periode ini ia menggandeng Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga merekrut secara perorangan tokoh-tokoh Masyumi, yang bukan mainstream, seperti Mulyadi Djojomartono, Farid Ma’ruf, dan Marzuki Yatim dalam Kabinet 100 Menteri.

Ada beberapa tonggak untuk melihat retaknya hubungan ini. Dahlan Ranuwihardjo, misalnya, melihat usai Pemilu 1955–tepatnya saat pembentukan Kabinet Ali Sastroamidjojo II–merupakan awal.

Seiring dengan pergolakan di daerah, cabang-cabang Maysumi di daerah menuntut agar Masyumi mundur dari kabinet. Hal ini diperkuat dengan Konferensi Akbar Daerah 1957 di Bandung, Jawa Barat.

Akhirnya, Masyumi mundur dari kabinet. Hal ini menyebabkan kegusaran Bung Karno sehingga ia menunjuk dirinya sendiri “sebagai warga negara” untuk menjadi formatur dan membentuk kabinet.

Sjafi’i Ma’arif menerangkan, ada sebab lain mengapa Masyumi keluar. Ini tak lain karena Bung Karno meminta Ali membentuk “kabinet berkaki empat” dengan memasukkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Partai Nasional Indonesia (PNI) masih bisa menerima usulan ini, tetapi tidak demikian halnya dengan Masyumi.

Sebab berikutnya, saat terlibatnya beberapa petinggi Masyumi, seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tidak adanya tindakan organisatoris membuat Bung Karno pada 1960 mengirim surat pada ketua DPP Masyumi, Prawoto, untuk membubarkan partai.

Puncaknya saat penangkapan pada tokoh-tokoh Masyumi pada 1962. Menurut Dahlan, ini adalah kesalahan besar Bung Karno karena perintah tersebut atas informasi keliru.

Pasalnya, dasar perintah adalah tuduhan perencanaan makar saat mereka berkumpul di Bali. Padahal, saat itu mereka hanyalah menghadiri upacara ngaben raja Bali Sukawati, ayah Anak Agung yang menjadi sahabat tokoh Masyumi dan PNI.

Namun, di masa itulah luka-luka terjadi: Masyumi dibubarkan dengan alasan memberontak, tokoh-tokoh Islam ditangkap dan dipenjarakan tanpa alasan yang jelas, dan seterusnya.

Bahkan, akibat pembubaran Masyumi tersebut, dampaknya masih terlihat sampai masa-masa jauh berikutnya. Saat Pemilu 1999, misalnya, banyak yang memperbandingkannya dengan Pemilu 1955.

Dari empat besar (PNI, Masyumi, NU, dan PKI) pada Pemilu 1955–dengan mengecualikan PKI yang tak lagi berpartai sampai kini–maka metamorfosis Masyumi pada Pemilu 1999 tak jelas sosoknya. Berbeda dengan NU yang ke PKB ataupun PNI yang ke PDI Perjuangan.

PDI yang kemudian menjadi PDI Perjuangan pun lebih banyak berseberangan dengan aspirasi Islam. Puncaknya adalah pada Pemilu 1999 itu.

Caleg PDI Perjuangan penuh diwarnai tokoh-tokoh yang berpandangan berseberangan dengan Islam-politik. Akibatnya, saat Sidang Umum MPR, Megawati gagal menjadi presiden, padahal partainya pemenang pemilu. Setelah itu, kedua belah pihak saling mengoreksi untuk memperbaiki diri. Kini, hubungan itu menjadi lebih cair.

Dahlan maupun Syafi’i sepakat bahwa sebelum Demokrasi Terpimpin, hubungan Sukarno dan umat Islam relatif baik. Bahkan, pernah membentuk kabinet dengan aliansi PNI-Masyumi-NU.

“Ini menguasai mayoritas mutlak di parlemen,” kata Syafi’i menyebut kabinet yang dipimpin Ali Sastroamijoyo tersebut.

Namun, luka pada dekade 1960-an coba terus ditiupkan. Sehingga bagi generasi sekarang, seakan pintu para “pewaris” jika ada, untuk terbuka bergandeng tangan sudah tertutup. Istilah kaum nasionalis dan umat Islam sering diperhadapkan untuk berselisih.

“Semuanya nasionalis,” kata Dahlan Ranuwihardjo menepis mitos itu.

Dahlan adalah orang yang berada di perbatasan. Keponakan Mr Mohamad Roem–tokoh penting Masyumi–ini bercerita.

Suatu kali, datang aktivis Masyumi dari Sumatra ke Jakarta, ke rumah Roem. Dahlan yang tinggal di rumah pamannya pun dikenalkan ke tamunya.

Sang tamu terkejut bahwa Dahlan tinggal di rumah Roem dan juga keponakannya. Tamu ini mengenal Dahlan sebagai seorang yang banyak membela Sukarno. Namun, Roem adalah seorang yang moderat dan demokrat. Semua itu tak menjadi soal.

Paman Adi Sasono ini memang seorang pengagum Sukarno. Bahkan, di saat PKI berkampanye untuk membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Dahlan memiliki peran yang tak kecil untuk mencegahnya. Padahal, saat itu PKI banyak diberi angin oleh Sukarno. Memang ada peran kepala staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu, Ahmad Yani.

Dahlan Ranuwihardjo dan Ahmad Syafi’i Ma’arif sepakat hubungan Sukarno dengan Islam politik tidak memiliki pola tertentu, tidak stabil, dan tergantung pada situasi. Mengapa?

Mungkin, kita perlu merujuk pada Bernard Dahm. Penulis biografi Sukarno ini menyebutkan, sebagaimana Sukarno memanfaatkan marxisme untuk revolusi atau pemikir antikolonial untuk melawan kolonialisme, Bung Karno juga “mendekati” Islam karena agama ini dipeluk oleh mayoritas yang tentu tak bisa diabaikan.

Islam ataupun marxisme, kata Dahm, hanyalah untuk membenarkan pendapat pribadinya. Tentu, tak harus sesinis itu. Sebab, menurut Syafi’i, Sukarno berjasa terhadap Islam karena ia mengajak umat untuk melakukan pembaruan lewat jargon rethinking ataupun reinterpretasi. Ia juga terkenal dengan istilah “api Islam” atau “memudakan pemahaman Islam.”

Bung Karno berjasa di tingkat penawaran untuk berwacana. Selain itu, Sukarno adalah orang yang berhasil meyakinkan AA Maramis dan Latuharhari untuk menerima Piagam Jakarta.

“Namun, traktat itu hanya berusia 57 hari setelah ada tekanan dari Mohamad Hatta. Saya kira ada hikmahnya juga, kalau Piagam Jakarta diberlakukan, kita tidak terbayang apakah umat Islam siap?” lanjut Syafi’i.

Syafi’i bercerita, di Zaman Revolusi, hubungan Natsir dan Sukarno demikian rapat. Tak ada lagi bekas luka ketika mereka berpolemik sebelum proklamasi.

“Pidato 17 Agustus tanpa Natsir, Sukarno tak mau,” katanya.

Sehingga suatu kali Natsir sedang ke daerah dan harus pulang secepatnya hanya untuk menyiapkan bahan pidato. Maka, mereka bertemu di suatu ruang untuk membuat garis besar pidato. Tak heran jika Sukarno menunjuk Natsir tiga kali menjadi menteri penerangan.

Natsir juga ditunjuk menjadi perdana menteri dengan mengabaikan PNI. Namun, masalah selalu datang tanpa direncanakan.

Muncul kasus Irian Barat. Sukarno sudah bertekad akan mengembalikan Irian Barat sebelum ayam berkokok, dengan cara apa pun termasuk perang.

Selaku PM, Natsir berpegang pada perjanjian internasional Konferensi Meja Bundar sehingga lebih menempuh cara diplomasi. Mereka berseberangan pendapat, yang masing-masing berpatokan pada titik pijak yang berbeda.

Akhirnya, kabinet melakukan voting. Ternyata, dari 17 anggota kabinet, 12 orang setuju cara Natsir dan lima orang ikut cara Sukarno.

“Sejak saat itulah, patah arang,” tutup Syafi’i. Walau sebelum itu, berkali-kali Sukarno membuat kabinet koalisi PNI-Masyumi. (jeha)

Baca juga :


Discover more from 1miliarsantri.net

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Berikan Komentar Anda

Discover more from 1miliarsantri.net

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading