Ini Adab Mengkritik Dalam Ajaran Islam

Surabaya — 1miliarsantri.net : Dalam Islam mengajarkan sebuah prinsip kritis yang penuh adab. Kritik di dalam Islam dianggap sebagai instrumen perbaikan, namun dengan syarat-syarat tertentu. Adab mengkritik menjadi landasan utama, di mana setiap kritik haruslah dilakukan dengan keahlian dan tanpa meninggalkan jejak penghinaan. Islam mengajarkan bahwa kritik yang konstruktif adalah jalan untuk mencapai perbaikan, sementara penghinaan hanya akan merusak esensi dari pesan yang ingin disampaikan.

Para ulama terdahulu memberikan petunjuk mengenai pedoman dalam memberikan kritik. Mereka menggunakan penilaian yang adil, memiliki standar yang jelas dalam mengkritik orang dan pernyataan.

Contohnya, ulama hadits pada masa lampau sangat ketat dalam menilai sebuah riwayat hadits. Namun, mereka juga memahami bahwa tidak selalu diperlukan untuk mengevaluasi lawan atau lawan bicara dalam setiap kondisi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat mengungkapkan kritik.

Ada beberapa adab yang harus diperhatikan jika ingin melakukan kritik:

  1. Mengkritik dengan Niat Ikhlas
    Niat merupakan landasan utama seorang muslim dalam beramal shalih. Dari Umar bin Khattab RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan seseorang mendapatkan ganjaran sesuai niatnya.” (HR. Bukhari no. 6953).

  1. Menggunakan Kata-kata yang Baik
    Dalam menyampaikan nasehat hendaknya menggunakan kata-kata yang baik, yaitu kata-kata yang penuh kelembutan dan hikmah. Perhatikan bagaimana Allah Ta’ala perintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam ketika akan memberi nasehat kepada Fir’aun, Allah berfirman:

“Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat atau takut kepada Allah” (QS. Thaha: 44).

  1. Tabayun
    Hendaknya ketika memberikan nasehat kepada orang lain, tidak bertopang pada kabar yang tidak jelas dan simpang-siur. Karena kabar yang tidak jelas atau simpang siur, bukanlah ilmu dan bukanlah informasi sama sekali.

Orang yang menyampaikannya disebut orang yang melakukan kebodohan. Allah ta’ala berfirman:

“Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian” (QS. Al-Hujurat: 6).

  1. Tidak Memancing Pertengkaran
    Hendaknya jauhi tahrisy ketika berusaha memberikan nasehat. Apa itu tahrisy? Ibnu Atsir rahimahullah mengatakan:

“Tahrisy adalah memancing pertengkaran antara orang-orang satu sama lain” (Jami’ Al Ushul, 2/754).

Dengan kata lain, tahrisy adalah provokasi. Tahrisy adalah perbuatan langkah setan untuk memecah belah kaum Muslimin. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Sesungguhnya setan telah putus asa membuat orang-orang yang shalat menyembahnya di Jazirah Arab. Namun setan masih bisa melakukan tahrisy di antara mereka” (HR. Muslim no. 2812).

Melakukan provokasi atau tahrisy ini termasuk namimah (adu domba). Al Imam Ibnu Katsir mengatakan:

“Namimah ada dua macam: terkadang berupa tahrisy (provokasi) antara orang-orang dan mencerai-beraikan hati kaum Mu’minin. Maka ini hukumnya haram secara sepakat ulama” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371, Asy Syamilah).

  1. Tinggalkan Jika tidak Paham
    Tinggalkan bidang yang tidak dipahami atau tidak menjadi fokusnya, sebab lebih baik menyerahkan urusan tersebut kepada orang yang memang ahlinya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, beliau mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW sedang berkumpul berdiskusi suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui dan bertanya, “Kapankah hari kiamat tiba?”

Namun Nabi SAW tetap melanjutkan pembicaraannya. Beberapa orang berkata, “Dia mendengar kata-katanya, tetapi dia tidak menyukai apa yang dia katakan.” Dan ada pula yang berkata, “Dia tidak mendengarkan perkataannya.”

Hingga akhirnya Nabi SAW menyudahi pembicaraannya sambil bersabda, “Di manakah orang-orang yang bertanya tentang hari kiamat?” Orang (yang bertanya) menjawab, “Saya ya Rasulullah!”

Maka Nabi SAW bersabda, “Bila kamu sudah kehilangan kepercayaan, maka tunggulah hari kiamat.” Orang itu bertanya, “Bagaimana kepercayaan itu bisa hilang?” Nabi SAW bersabda, “Jika urusan itu tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.” (HR.Bukhari)

  1. Tidak Berpura-pura Paham
    Tidak menjadi orang yang memalsukan diri menjadi sosok yang paham pada apa yang dibicarakan. Juga tidak menyampaikan kritik palsu karena ketidaktahuannya atas kebenaran atau karena ketidakmampuannya membela kebenaran.
  2. Menyadari Ketidaktahuan Diri
    Perlu ada kesadaran bahwa tidak semua orang memenuhi syarat untuk melakukan dialog yang sehat dan tepat, yang menghasilkan sesuatu yang baik dan matang. Orang yang tidak tahu itu tidak sama dengan orang yang mengetahuinya. Maka, orang yang tidak tahu sebaiknya tidak mengkritik orang yang tahu.

Kisah Nabi Ibrahim dan ayahnya dapat menjadi contoh, yang diabadikan dalam Surat Maryam ayat 43:

“Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (yat)

Baca juga :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *