Melihat Sisi Dekat Sejarah Masyarakat di Pulau Bawean

Gresik – 1miliarsantri.net : Anda tentu pernah mendengar nama Pulau Bawean. Suatu wilayah yang terletak di Laut Jawa, merupakan pulau yang berlokasi sekitar 120 km di utara Kabupaten Gresik. Pulau Bawean terdiri dari dua kecamatan, yaitu Sangkapura dan Tambak.

Untuk mencapai pulau ini, terdapat opsi perjalanan dengan kapal cepat selama tiga hingga empat jam, atau menggunakan pesawat perintis yang membutuhkan sekitar satu jam.

Pulau Bawean sebelumnya dikenal sebagai Pulau Melati atau Pulau Majdi, nama “Majdi” berasal dari bahasa Arab yang berarti uang logam. Nama “Majdi” dipilih karena pulau ini memiliki bentuk yang bulat sempurna, menyerupai uang logam.

Perubahan nama pulau dari Majdi menjadi Bawean erat kaitannya dengan kerajaan Majapahit, dimana masyarakat sekitar disebut juga masyarakat Suku Bawean.

Menurut legenda, kata “Bawean” memiliki arti matahari. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, suku ini sering melakukan perantauan dalam mencari pekerjaan.

Mereka sering merantau ke berbagai daerah dan bahkan ke negara lain seperti Singapura dan Malaysia.

Kebiasaan merantau dari suku ini telah menjadi bagian dari budaya sehari-hari mereka, yang telah diajarkan sejak masa kanak-kanak. Budaya merantau telah menjadi tradisi kaum pria suku Bawean sejak abad ke-19.

Selain itu, suku ini memiliki rumah adat unik yang disebut rumah Dhurung. Dhurung adalah bangunan tambahan yang digunakan untuk menyambut tamu. Luas Dhurung sekitar 2×3 meter.

Pada masa lampau, bagian atas bangunan ini biasanya digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian dan barang-barang lainnya.

Pulau Bawean terkenal dengan keindahan alamnya, termasuk keberadaan rusa liar dan wisata kampung bahari.

Suku ini juga memiliki tradisi Maulud yang dirayakan oleh masyarakat di Kampung Sungai Datuk, Kecamatan Bitan Timur.

Suku Bawean terbentuk karena terjadi percampuran antara orang Madura, Melayu, Jawa, Banjar, Bugis dan Makassar selama ratusan tahun di pulau Bawean, Gresik. Dengan adanya akulturasi budaya, beberapa bahasa Bawean pun memiliki kemiripan dengan bahasa berbagai suku tersebut.

Sementara, dalam buku “Bawean dan Islam”, Jacob Vredenbregt menjelaskan, Pulau Bawean dihuni oleh penduduk yang berasal dari Madura, akan tetapi kapan proses ini dimulai tidak dapat dipastikan. Lekkerkerker (1935:47) berpendapat bahwa hal ini diperkirakan terjadi sesudah 1350 M.

Sampai 1743 M, pulau ini berada di bawah kekuasaan Madura; raja Madura terakhir adalah Tjangraningrat IV dari Bangkalan. Pada tahun itu, VOC menduduki pulau ini dan memerintahnya lewat seorang prefect.

Walaupun di sini penduduknya berasal dari Madura, lama-lama terbentuk lah kebudayaan baru yang terpisah dari Madura. Penduduk Pulau Bawean kemudian makin banyak berorientasi ke daerah perantauan, khususnya Singapura dan pesisir barat Melayu, sehingga unsur-unsur kebudayaan Melayu mulai berpengaruh dalam kebudayaan Madura yang asli.

Kelompok penduduk lain yang sejak dulu ikut menghuni Pulau Bawean adalah penduduk dari Sulawesi Selatan. Saat itu, nelayan Bugis yang menemukan tempat nafkahnya di perairan yang kaya akan ikan di sekeliling pulau, kemudian mendapatkan istrinya yagn kedua di Bawean.

Sedangkan penghuni Bawean yang berasal dari Jawa berada di Bawean Utara, tepatnya Desa Ponggo. Bahasa Jawa, meskipun sudah dalam bentuk yang sangat berubah, sampai sekarang masih dipakai oleh masyarakat Desa Ponggo.

Selanjutnya, kelompok yang datang di pulau ini adalah pedagang Palembang yang di Bawean disebut “Kemas”. Menurut Jacob, kelompok penduduk ini telah memberi warnanya kepada pulau ini. Lagi pula, hasrat merantau orang Bawean juga telah membawa pengaruhnya terhadap komposisi rasial di pulau ini.

Jacob mengungkapkan, orang Bawean di Singapura juga sering mengambil anak-anak Cina sebagai anak angkatnya dan membawa mereka kembali ke pulau Bawean, sehingga mereka berbaur dengan penduduk Bawean.

Selain itu, menurut Jacob, beberapa orang Bawean yang bermukim di Makkah untuk waktu yang lama juga ada yang menikah dengan wanita Arab dan kadang-kadang mereka membawa kembali keturunannya ke pulau ini.

Namun, berapa besar jumlah dari berbagai kelompo etnis tersebut yang pernah menghuni dahulu dan sekarang, tidak dapat dipastikan. (ani)


Discover more from 1miliarsantri.net

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Berikan Komentar Anda

Discover more from 1miliarsantri.net

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading