Aceh – 1miliarsantri.net : Suluk merupakan kegiatan berzikir yang dilakukan secara terus-menerus, meninggalkan pikiran serta perbuatan duniawi, menata bathin mengingat Allah dan hanya mengharap keridloan Allah. Tapi pernah kah kita melihat dari dekat, bagaimana pelaksanaan nya. Nah kami akan berbagi informasi ini kepada anda. Salah satu tempat yang kami singgahi adalah Pondok pesantren Cuco (cucu) Tgk Syech H Mudo Wali Al Chalidy Seuramoe Darussalam Desa Beuradeun, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, menjadi salah satu tempat yang menggelar aktivitas Suluk. Aktivitas zikir ini merupakan pengajian ilmu dari Tarekat Naqsyabandiyah yang diajarkan di dayah di kaki bukit Gampong Beuradeun, Aceh Besar. Semua jamaah yang mengikuti kegiatan ini menutupi wajah nya dengan sorban untuk jamaah laki-laki dan menutupi dengan mukena untuk jamaah wanita nya, sehingga tidak terlihat jelas wajah orang-orang ketika mengucapkan ayat-ayat Allah. Hal tersebut merupakan salah satu syarat bagi jemaah Suluk setiap bulan suci Ramadhan di pesantren cucu ulama kharismatik Aceh tersebut. Jamaah Suluk di Pesantren Seramoe Darussalam itu pada tahun-tahun sebelumnya hanya bagi laki-laki dewasa, bahkan juga terlihat beberapa orang tua. Namun, pada Ramadhan tahun 2021 diperbolehkan juga diikuti oleh jemaah perempuan yang mayoritasnya adalah kaum ibu-ibu. “Jumlah jamaah yang ikut Suluk di tempat kita bertambah dari tahun lalu, kebetulan dua tahun ini ada jamaah perempuan, yang tidak ada pada tahun-tahun sebelumnya,” kata pimpinan Dayah Cuco (cucu) Tgk Syech H Mudo Wali Al Chalidy Seuramoe Darussalam, Tgk Harwalis Harun Wali kepada 1miliarsantri.net. Jamaah Suluk ini bukan berasal dari masyarakat sekitar saja, melainkan ada juga jamaah yang berasal dari daerah lain. Mereka tidak dibenarkan untuk pulang atau keluar dari perkarangan pesantren sampai kegiatan selesai hingga waktu yang telah ditentukan. “Jadi mereka tidak pulang ke rumah, untuk istirahat nya sudah ada waktu-waku tertentu yang telah ditetapkan,” sambung Harwalis. Harwalis menambahkan, jamaah yang mengikuti Suluk tahun ini di pesantren yang ia pimpin sebanyak 75 orang, mulai dari perempuan hingga laki-laki. “Jumlah yang hadir tahun ini ada perempuan sebanyak 25 orang. Laki-laki sekitar 50 orang. Jadi jumlahnya di bawah seratus,” terangnya. Jika sudah mengikuti Suluk, para jamaah tidak bisa sembarangan mengonsumsi makanan, ada pantangan-pantangan tertentu yang harus diikuti. Di mana, kata Harwalis, pantangan jamaah Suluk itu adalah tidak bisa makan bahan makanan yang berdarah seperti daging, mengandung pengawet, dan barang yang bebas diperjualbelikan yang diragukan kemurnian dan kesuciannya untuk para ahli Suluk. “Kenapa dilarang, supaya dalam perjalanan Sulok nya, saat mengingat Allah, saat berzikir senantiasa jemaah lepas secara batin dan lahiriah nya. Pantangan ini wajib dijalani dan dipatuhi oleh para ahli Suluk,” kata Harwalis. Harwalis menjelaskan, kegiatan Suluk di Peaantren yang di pimpin nya ini sudah berjalan sejak 12 tahun lalu dan dilaksanskan setiap bulan Ramadhan, dan masih bertahan sampai sekarang, jamaahnya juga terus bertambah. Di Dayah Seuramoe Darussalam ini, Suluk dilaksanakan selama 10 hari. Namun sebenarnya juga bisa dilakukan 20 sampai 40 hari, itu tergantung dari hasil musyawarah para ahli Suluk setiap tahunnya. “Kita laksanakan 10 hari dalam bulan Ramadhan, tapi di tempat yang lain ada juga yang melaksanakannya sampai 20, 30 hari hingga 40 hari, bagaimana kesepakatan bersama,” imbuhnya. Harwalis menuturkan, kegiatan ibadah Suluk bulan Ramadhan ini sudah sangat dimaklumi dan diketahui oleh masyarakat umum di Aceh, bahwa paling afdhal atau sempurna dari yang lainnya. “Karena ada sembahyang, puasa Qiamul lail dan lainnya, Sulok ini merupakan kegiatan ibadah spesial, lebih dari pada hari-hari lain,” katanya. Karena Suluk dilaksanakan tiap Ramadhan, maka sudah hakikatnya dilaksanakan tawajuh. Ibadah tersebut masuk dalam salah satu pendidikan atau latihan para jamaah mengingat dan berzikir kepada Allah dalam arti yang spesial. “Tidak hanya dengan mengatakan atau mengucapkan kalimat-kalimat, nama-nama Allah, tidak sekadar ucap. Tetapi memang dilakukan secara lahir batin berzikir kepada Allah,” kata Harwalis. Ketika tawajuh hendak dimulai, terlihat enam pemimpin atau khalifah duduk berhadapan dengan para jemaah yang menghadap kiblat. Lalu, jemaah secara bersama terus memanjatkan doa sembari memutar tasbih. Saat tawajuh ini lah, para jamaah menutup semua kepala hingga wajah menggunakan sorban. Semua itu dilakukan agar para jemaah benar-benar kusyuk berdzikir dan mengingat Allah, tanpa terganggu pandangan dari luar. Tawajuh adalah ibadah menghadapkan diri dan membulatkan hati lahir bathin kepada Allah. Dilakukan beberapa kali sehari semalam usai melaksanakan shalat fardhu dan tarawih. “Jadi katakanlah bermula tarekat selalu mengingat Allah, tidak luput hatinya, lahiriah-nya, lisannya tidak luput, itu lah tujuan utamanya,” ujarnya. Kata Harwalis, tawajuh ini menjadi salah satu kelebihan dan keistimewaan dari Tarekat Naqsabandiyah di Aceh dan bahkan dari seluruh nusantara di Indonesia. Harwalis menyebutkan, selama melaksanakan ibadah Suluk di bulan Ramadhan, tawajuh dilakukan sebanyak empat kali dari 24 jam, di antaranya setelah shalat subuh, zuhur, asar dan terakhir usai shalat tarawih. Dari atas bangunan setinggi sekitar 3,5 meter itu, tampak jamaah Suluk masih larut dalam dzikir, hingga akhirnya Tgk Harwalis yang menjadi mursyid membacakan doa dan membacakan shalawat bersama para jemaah. Shalawat tersebut sebagai tanda bahwa Suluk siang itu berakhir, jamaah beristirahat, dan akan kembali dilaksanakan pada waktu shalat selanjutnya. Sebelum melangkahkan kaki dari atas mushala, para jamaah satu-satu maju untuk bersalaman dengan enam orang khalifah, kemudian mereka kembali ke tempat istirahat yang telah disediakan. (din)